10 September 2015

Teater Rakyat

Oleh : Bre Redana

Beruntung, saya berkesempatan menonton La Bohème di London bulan lalu. Sekarang di Eropa makin jarang diproduksi opera klasik. Dia surut dilibas gebyar musikal, tontonan ringan nyanyi-nyanyi yang memenuhi West End, kawasan gedung-gedung pertunjukan di London. Yang sedang top sekarang musikal berjudul Thriller, tentang kehidupan Michael Jackson.

La Bohème, opera empat babak karya Puccini, digelar di Royal Albert Hall, gedung opera kuno, terletak di South Kensington, di depan kastel Putri Diana dulu yang kini ditempati putranya, Pangeran William, dan istrinya yang cantik, Kate Middleton.

Diakrabi terutama oleh masyarakat Eropa sejak akhir tahun 1800-an, La Bohème biasanya dipentaskan di panggung prosenium. Begitu layar dibuka, orang akan dibuat kagum dengan dekorasi menakjubkan, menggambarkan tempat tinggal kaum bohemian di Perancis pada zamannya, ataupun pesona pusat keramaian Paris, Latin Quarter.

Keistimewaan kali ini, La Bohème dipentaskan di panggung melingkar atau arena. Seperti teater rakyat, sederhana dan dekat penonton. Seperti teater rakyat pula, setiap menjelang pergantian babak, kita melihat para pemain ikut berbenah menata set dan dekorasi panggung. Begitu panggung beres, pelan-pelan mereka masuk lagi ke tokoh yang diperaninya.

Wajar dan menghanyutkan. Cerita yang telah diakrabi sebagian orang ini tetap menyentuh. Saya pribadi, selain tersentuh oleh hubungan cinta kasih tokoh utama Mimi dan Rodolfo, terpesona dengan tokoh Musetta, yang diperankan secara luar biasa oleh Zulimar Lopez-Hernandez. Ketengilan cewek ini mengingatkan pada salah satu teman di Jakarta. Tahu begini, saya ajak dia ke London.

Pertunjukan klasik di manapun selalu melandasi dirinya dengan nilai-nilai yang mutlak. Tentang cinta dalam Le Bohème, misalnya, ia adalah cinta tanpa reserve. Pokoknya cinta sampai mati.

Bentuk pertunjukan yang sewajarnya, nilai-nilai sederhana, hitam adalah hitam, putih adalah putih, menjadikan saya menikmati tontonan ini seakrab saya menikmati wayang, ketoprak, sandiwara keliling, dan lain-lain teater rakyat yang bersama tradisinya saya ikut bertumbuh. Dalam tontonan seperti itu, sebagaimana cerita silat ataupun koboi, tidak ada wilayah abu-abu. Model film koboi yang dengan pistol berisi enam peluru membuat 20 penjahat tersungkur, saya yakin masih banyak penggemarnya.

Soalnya, bawah sadar banyak orang dipastikan masih menyimpan nilai-nilai hitam putih itu. Pokoknya yang benar menang yang salah kalah. Alam bawah sadar ini tidak bisa seketika ditumpas dengan dalih dakik-dakik, bahwa konon sekarang zaman makin kompleks, alternatif tak lagi mudah dicari, pilihan kian sulit.

Seorang peneliti asing belum lama ini bertanya kepada saya, apa perbedaan signifikan kerja kewartawanan sekitar 25 tahun lalu dan sekarang. Saya jawab seadanya. Dulu, kami bertemu narasumber di rumahnya. Karena terpincut primadona ketoprak, saya uber dia sampai rumahnya di desa dekat hutan jati di Blora. Malam-malam pula. Kami terbiasa mengenali orang dalam  gestalt-nya. Kini, kami bertemu narasumber di mal. Sosok itu berada di lingkungan artifisial.

Yang kedua, dulu kami menulis pakai mesin ketik. Kalau petang kantor bergemeretak suara tuts, apalagi beberapa orang punya kebiasaan menekan tuts keras-keras. Ada teman, yang sekarang telah almarhum, kadang mengetik dengan membuka baju, hanya mengenakan singlet. Wartawan-wartawan yang lain tahu kalau dia mengetik dengan bersinglet, tandanya besok tulisannya akan jadi headline.

Saya tambahi jawaban agar kelihatan bermutu, kekuatan ujung jari dalam melakukan gerak motorik menjadikan tubuh sebenarnya juga melakukan krida seiring kerja otak. Orang yang berlatih kanuragan paham hal itu.

Ini beda dengan kerja menggunakan komputer. Komputer berkemampuan memanipulasi otak kita. Memori di otak dan memori artifisial di komputer campur baur, kadang sampai gawat, membuat orang tak lagi paham mana menjiplak mana tidak.

Anda tahu, tanya saya.

Peneliti itu manggut-manggut, tak jelas paham atau bingung. [ ]

No comments: