29 September 2015

Kelas Resensi Pekan ke-1

Sabtu depan, tepatnya tanggal 5 September 2015, Kelas Resensi Buku Komunitas Aleut akan memasuki pekan ke-10. Telah puluhan buku yang berhasil dibaca dan diceritakan ulang secara lisan. Ya, “berhasil”, sebab tak semua orang punya waktu dan minat yang cukup, untuk mengkhatamkan satu buku dalam waktu satu minggu.


Pada pekan ke-1, peserta kelas resensi buku hanya berjumlah enam orang. Awal yang kecil memang. Namun dari sini pula, ke depan, semangat yang telah ditabur oleh beberapa orang itu, bisa menular ke kawan-kawan yang lain. Adapun buku yang dibaca, meskipun Aleut adalah komunitas yang amat kental irisannya dengan sejarah, namun dalam kelas resensi ini, keragaman tema dan genre buku justru yang coba diangsurkan.
Ya, buku yang dibaca dan diceritakan ulang, tidak melulu tentang sejarah, namun ada pula buku tentang sastra, filsafat, budaya, dan lain-lain. Inilah catatan pendek dari beberapa buku yang dibaca pada pekan ke-1 itu :
  1. “Jalan Lain ke Tulehu” (Zen RS)
Kisah yang berlatar kerusuhan berbau agama di Timur Indonesia ini, bercerita tentang sepakbola dan kenangan yang berarak di tempurung kepala, serta ingatan yang mengejar. Gentur, seorang wartawan dari tanah Jawa terperangkap dalam kerusuhan yang pelik. Ia kemudian terdampar di sebuah perkampungan Muslim yang terlibat konflik tersebut. Dalam kondisi yang serba berbahaya, beberapa kali nyawanya sempat terancam. Namun pada akhirnya sepakbola berhasil membuka “jalan”. Sepakbola beberapakali meredakan ketegangan antar yang bertikai, juga Gentur dengan kenangannya.
  1. “Ayah” (Andrea Hirata)
Novel terbaru dari pengarang “Laskar Pelangi” ini bercerita tentang hubungan ayah-anak yang begitu karib. Namun karena hubungan ayah dan ibunya tidak mulus, terpaksa keduanya berpisah. Dengan gaya bertutur yang khas, penulis kembali menampilkan tokoh die hard yang begitu komikal. Namun justru di tokoh seperti itulah dia menyematkan pesan-pesannya.

  1. “Jugun Ianfu; Jangan Panggil Aku Miyako” (Rokajat Asura)
Kasus perbudakan seks di zaman Jepang, setidaknya di Indonesia, tidak terlalu banyak yang mengangkatnya ke dalam teks-teks fiksi. Novel berlatar sejarah ini mencoba mengetengahkan Jugun Ianfu dengan balutan kisah romantisme cinta segitiga di tengah kecamuk revolusi.


  1. Zaman Perang (Hendi Jo)
Narasi sejarah yang ditulis secara resmi oleh negara, jarang mengemukakan kisah tentang orang-orang kecil. Jutaan rakyat yang ikut berdenyut dalam pusaran sejarah, seolah hanya tokoh pinggiran yang kiprahnya tidak penting untuk diabadikan dalam catatan ingatan kolektif bangsa. Di titik ini, kumpulan kisah yang terbuhul dalam buku karya Hendi Jo, adalah sebuah ikhtiar untuk menimbang ulang; bahwa rupa sejarah bangsa, juga diwarnai oleh beragam kisah heroik orang-orang kecil. Mereka yang terpinggirkan dalam teks resmi itu, adalah–seperti kata penulisnya; “Orang biasa dalam sejarah luar biasa”.
  1. Burung Kecil Biru di Naha (Linda Chrystanti)
Kumpulan esai dan reportase berbentuk jurnalisme sastrawi ini mempunyai benang merah tentang kekerasan, konflik, dan tentu saja luka. Linda yang telah lama bergelut di dunia ini, lihai meramu fakta-fakta baru lalu menyajikannya dengan ketajaman dan kepekaan kemanusiaan. Dalam tulisannya, selain membibit semangat rekonlisiliasi, Linda juga menegaskan bahwa ketidakadilan bisa hadir dengan mengatasnamakan apa saja; suku, ras, agama, maupun ideologi. Bagi Linda semua isme hanyalah gagasan, yang bisa dinilai adalah praktek para pelakunya; apakah berguna bagi kemanusiaan atau malah sebaliknya.
  1. Dracula (Bram Stocker)
Inilah kisah vampir legendaris dari Rumania. Buku yang mula-mula terbit di tahun 1897 ini adalah cikal bakal bagi cerita-cerita drakula yang ditulis setelahnya. Drakula, sosok yang lemah di hadapan bawang putih, salib, dan roti sakramen ini hadir dalam beberapa fragmen kisah cinta manusia. “Dracula”, bisa jadi, adalah magnum opus-nya penulis yang meninggal di usia 64 tahun tersebut. [ ]

No comments: