23 September 2015

Noor Huda Ismail dan Usaha Rekonsiliasi Para Mantan Napi Teroris

Di Indonesia, label teroris kadung dilekatkan kepada gerakan Islam radikal. Ketika bom-bom meledak, dan aparat keamanan kemudian menyeret para tersangkanya, dunia pesantren dan Islam menjadi tertuduh. Satu nama pesantren yang mencuat ke publik adalah pesantren Al Mukmin, Ngruki-Sukoharjo. Beberapa alumni dari pesantren ini menjadi tersangka kasus-kasus teror bom di Nusantara.
Noor Huda Ismail, salah satu lulusan Al Mukmin-Ngruki kaget ketika kawannya selama nyantri dulu, Fadlullah Hasan, berada di balik terali besi karena terlibat kasus bom Bali 1. Pada sebuah acara bedah buku yang ia tulis, mantan jurnalis Washington Post itu mengungkapkan ketidakpercayaannya.
Setelah berhasil menemui kawannya dan terlibat pembicaraan yang intens, Huda kemudian menuliskannya menjadi sebuah buku dan terbit dengan judul “Temanku, Teoris?”. Buku yang semula hendak diberi judul “Jendela Kecil Santri Ngruki” itu terbitkan oleh penerbit Hikmah (Grup Mizan) di tahun 2010.
Dalam bukunya, Huda tidak kemudian menghakimi para pelaku teror tersebut, ia malah mengajak pembacanya untuk mengenali para pelaku itu dari “dekat”. Selain itu, sebagai lulusan Al Mukmin-ngruki, ia pun ingin menawarkan narasi lain tentang pesantren tersebut, karena bagaimana pun stigma tak akan pernah adil. “Saya ingin dunia punya tafsir yang berbeda tentang (Al Mukmin) Ngruki, tidak monolitik seperti sekarang,” katanya.
Dalam sebuah acara di Masjid Salman ITB, Huda menuturkan ihwal motivasinya menulis buku ini, “Aku tidak ingin banyak orang baik, ikhlas, sangat bersemangat dalam keberagamaan, dan tergelincir dalam hal-hal yang punya tujuan dan niat baik, tapi kemudian menghasilkan dampak yang harus direnungkan kembali,” tuturnya.
Buku yang disebut-sebut sebagai novel jurnalistik ini, ditulis oleh Huda setelah melakukan penelusuran mendalam terhadap perjalanan hidup sang teroris, yang tak lain adalah kawannya sendiri. Pernah satu almamater, dan juga dekat secara personal, membuat penelusurannya relatif lancar. Ia hendak meraba sisi kemanusiaan sang terdakwa dan para korban, dengan menceritakan juga kehidupan keluarganya pasca teror bom.
Semacam ada keprihatinan yang menekan, ketika ia dapati bahwa aksi-aksi gangguan keamanan itu menelan banyak korban. “Aksi-aksi pengeboman hanya melahirkan anak-anak yatim baru, baik bagi pelaku maupun bagi korban. Buku ini saya dedikasikan untuk anak yatim yang lahir karena terorisme. Royaltinya pun untuk mereka,” ungkapnya.
Kepedulian Huda terhadap efek dari aksi-aksi terorisme tak berhenti di sana, ia pun kemudian mendirikan Yayasan Prasasti Perdamaian. Yayasan yang berdiri tahun 2008 tersebut bergerak di bidang rekonsiliasi. Agenda utamanya adalah “mendamaikan” para mantan napi teroris dengan masyarakat dan pemerintah, agar bisa kembali hidup bersama dan tak terus-menerus saling curiga.
Oleh beberapa kalangan, buku “Temanku, Teroris?” yang ditulis oleh Huda ini, dianggap sebagai sebuah pembelaan terhadap para teroris yang jelas-jelas banyak merugikan masyarakat. Namun jika dilihat dari sudut pandang lain, karya ini justru adalah mata pisau kritik Huda terhadap masyarakat, yang kerap hanya bisa menghakimi, tanpa mencoba meraba sisi kemanusiaan para pelakunya.
Dengan tanpa mengabaikan derita para korban, narasi yang ditulis Huda—seperti juga yayasan yang ia dirikan, adalah sebuah usaha untuk melempangkan jalan rekonsiliasi. Penerimaan masyarakat terhadap para mantan napi teroris, bagaimana pun adalah penting, sebab di sanalah mereka akan kembali memulai hidup pasca mendekam di terali besi.
Menurut Huda, sampai sekarang masih banyak pihak yang seolah tak memberi kesempatan kedua bagi para mantan napi teroris, sehingga mereka kerap dipersulit dan tak bisa hidup normal kembali di lingkungannya. Kondisi ini jika tidak segera diperbaiki kan membuat mereka kembali ke habitatnya. “Mereka bisa balik lagi meneror. Kalau ini dilakukan,

bisa menjadi ancaman serius,” ujarnya.


Kehadiran buku ini di acara Frankfurt Book Fair 2015, benar-benar akan menunjukkan satu sisi wajah Indonesia yang terluka. Di negeri dengan beribu sanjung puja itu ada sesobek konflik yang kerap mengoyak ke-bhineka-an. Menghamparkan kisah di buku ini ke hadapan publik dunia, tidak bertujuan untuk menegaskan bilur, namun seperti semangat Huda; membibit rekonsiliasi dan juga semangat kemanusiaan. [irf]

Postscript : 
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.

No comments: