Di Indonesia, label teroris
kadung dilekatkan kepada gerakan Islam radikal. Ketika bom-bom meledak, dan
aparat keamanan kemudian menyeret para tersangkanya, dunia pesantren dan Islam
menjadi tertuduh. Satu nama pesantren yang mencuat ke publik adalah pesantren
Al Mukmin, Ngruki-Sukoharjo. Beberapa alumni dari pesantren ini menjadi
tersangka kasus-kasus teror bom di Nusantara.
Noor Huda Ismail, salah satu
lulusan Al Mukmin-Ngruki kaget ketika kawannya selama nyantri dulu, Fadlullah
Hasan, berada di balik terali besi karena terlibat kasus bom Bali 1. Pada
sebuah acara bedah buku yang ia tulis, mantan jurnalis Washington Post itu
mengungkapkan ketidakpercayaannya.
Setelah berhasil menemui kawannya
dan terlibat pembicaraan yang intens, Huda kemudian menuliskannya menjadi
sebuah buku dan terbit dengan judul “Temanku, Teoris?”. Buku yang semula hendak
diberi judul “Jendela Kecil Santri Ngruki” itu terbitkan oleh penerbit Hikmah
(Grup Mizan) di tahun 2010.
Dalam bukunya, Huda tidak
kemudian menghakimi para pelaku teror tersebut, ia malah mengajak pembacanya
untuk mengenali para pelaku itu dari “dekat”. Selain itu, sebagai lulusan Al
Mukmin-ngruki, ia pun ingin menawarkan narasi lain tentang pesantren tersebut,
karena bagaimana pun stigma tak akan pernah adil. “Saya ingin dunia punya
tafsir yang berbeda tentang (Al Mukmin) Ngruki, tidak monolitik seperti
sekarang,” katanya.
Dalam sebuah acara di Masjid
Salman ITB, Huda menuturkan ihwal motivasinya menulis buku ini, “Aku tidak
ingin banyak orang baik, ikhlas, sangat bersemangat dalam keberagamaan, dan
tergelincir dalam hal-hal yang punya tujuan dan niat baik, tapi kemudian
menghasilkan dampak yang harus direnungkan kembali,” tuturnya.
Buku yang disebut-sebut sebagai
novel jurnalistik ini, ditulis oleh Huda setelah melakukan penelusuran mendalam
terhadap perjalanan hidup sang teroris, yang tak lain adalah kawannya sendiri.
Pernah satu almamater, dan juga dekat secara personal, membuat penelusurannya
relatif lancar. Ia hendak meraba sisi kemanusiaan sang terdakwa dan para
korban, dengan menceritakan juga kehidupan keluarganya pasca teror bom.
Semacam ada keprihatinan yang
menekan, ketika ia dapati bahwa aksi-aksi gangguan keamanan itu menelan banyak
korban. “Aksi-aksi pengeboman hanya melahirkan anak-anak yatim baru, baik bagi
pelaku maupun bagi korban. Buku ini saya dedikasikan untuk anak yatim yang
lahir karena terorisme. Royaltinya pun untuk mereka,” ungkapnya.
Kepedulian Huda terhadap efek
dari aksi-aksi terorisme tak berhenti di sana, ia pun kemudian mendirikan
Yayasan Prasasti Perdamaian. Yayasan yang berdiri tahun 2008 tersebut bergerak
di bidang rekonsiliasi. Agenda utamanya adalah “mendamaikan” para mantan napi
teroris dengan masyarakat dan pemerintah, agar bisa kembali hidup bersama dan
tak terus-menerus saling curiga.
Oleh beberapa kalangan, buku
“Temanku, Teroris?” yang ditulis oleh Huda ini, dianggap sebagai sebuah
pembelaan terhadap para teroris yang jelas-jelas banyak merugikan masyarakat.
Namun jika dilihat dari sudut pandang lain, karya ini justru adalah mata pisau
kritik Huda terhadap masyarakat, yang kerap hanya bisa menghakimi, tanpa
mencoba meraba sisi kemanusiaan para pelakunya.
Dengan tanpa mengabaikan derita
para korban, narasi yang ditulis Huda—seperti juga yayasan yang ia dirikan,
adalah sebuah usaha untuk melempangkan jalan rekonsiliasi. Penerimaan
masyarakat terhadap para mantan napi teroris, bagaimana pun adalah penting,
sebab di sanalah mereka akan kembali memulai hidup pasca mendekam di terali
besi.
Menurut Huda, sampai sekarang
masih banyak pihak yang seolah tak memberi kesempatan kedua bagi para mantan
napi teroris, sehingga mereka kerap dipersulit dan tak bisa hidup normal
kembali di lingkungannya. Kondisi ini jika tidak segera diperbaiki kan membuat
mereka kembali ke habitatnya. “Mereka bisa balik lagi meneror. Kalau ini
dilakukan,
bisa menjadi ancaman serius,” ujarnya.
Kehadiran buku ini di
acara Frankfurt Book Fair 2015, benar-benar akan menunjukkan satu sisi wajah
Indonesia yang terluka. Di negeri dengan beribu sanjung puja itu ada sesobek
konflik yang kerap mengoyak ke-bhineka-an. Menghamparkan kisah di buku ini ke
hadapan publik dunia, tidak bertujuan untuk menegaskan bilur, namun seperti
semangat Huda; membibit rekonsiliasi dan juga semangat kemanusiaan. [irf]
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment