Penulis
cerita fiksi, di Indonesia, baik dalam bentuk novel atau pun cerita pendek,
relatif masih sedikit yang menggarap tentang masa yang jauh ke belakang, masa
ketika negara ini masih bernama Hindia Belanda. Yang paling fenomenal dari yang
sedikit itu tentu adalah Tetralogi Buku. Sebuah magnum opus dari Pramoedya
Ananta Toer itu dengan gemilang mendokumentasikan masa persalinan bangsa di
titik yang paling menentukan.
Tahun
2014 terbit kumpulan cerita pendek dengan judul “Semua untuk Hindia” karya
Iksana Banu, yang tema dan ide ceritanya mayoritas digali dari masa
kolonialisme. Yang menarik dari kumpulan cerita ini adalah mata kisah ditulis
dari pandangan orang-orang yang “bukan pribumi”. Jika selama ini narasi
sejarah, baik yang berupa teks resmi maupun dalam bentuk fiksi, kerap ditulis
dari sudut pandang pribumi dengan pengkutuban antara “kita” dengan gelagak
nasionalisme dengan “mereka” sebagai si penjajah, maka Iksana Banu betutur dari
sudut sebaliknya.
Cerita
seperti ini memang bukan yang pertama kali, sebab—sekadar menyebut contoh, Y.
B. Mangunwijaya pun pernah melakukannya dalam novel “Burung-burung Manyar”.
Yang paling masyhur, tentu saja, seri terakhir katrologi Pulau Buru karya
Pramoedya, "Rumah Kaca", yang memotret kisah pembenihan nasionalisme
Indonesia dari sudut pandang pegawai kolonial, Pangemanann.
Dalam
“Semua Untuk Hindia” yang menghimpun 13 cerita pendek, Iksana Banu mencoba
menghamparkan kisah-kisah, yang meskipun berkait erat dengan sejarah, namun ia
tidak menyajikannya dengan semangat “hitam-putih” antara si benar dan si salah.
Abu-abu, atau katakanlah perspektif yang lebih kompleks, dalam memandang
kolonialisme memang bukan hal dominan dalam cerita-cerita yang mengambil setting
Hindia Belanda.
Dalam
cerita “Semua untuk Hindia” (yang dijadikan judul buku), dikisahkan bagaimana
seorang wartawan Belanda yang bersahabat dengan gadis kecil Puri Kesiman,
dengan mata kepalanya sendiri melihat dahsyatnya Perang Puputan.
“Nyaris
aku terkulai menyaksikan pemandangan ngeri di mukaku; puluhan pria, wanita,
anak-anak, bahkan bayi dalam gendongan ibunya, dengan pakaian termewah yang
pernah kulihat, terus merengsek ke arah Batalion 11 yang dengan gugup
menembakkan Mauser mereka sesuai aba-aba komandan batalion. Rombongan indah ini
tampaknya memang menghendaki kematian. Setiap kali satu deret manusia tumbang
tersapu peluru, segera terbentuk lapisna lain di belakang mereka, meneruskan
maju menyambut maut.”
Situasi
yang melatari cerita itu jelas bukan narasi “hitam-putih”. Seorang wartawan
Belanda, yang mempunyai ikatan persahabatan dengan gadis pribumi, merasakan
kengerian ketika gadis tersebut akhirnya tewas, atau lebih tepatnya menewaskan
diri, dalam sebuah pertempuran yang juga melantakkan kerabat si gadis, yang
justru dilumatkan oleh bangsa di mana si wartawan tersebut berasal.
Ada
semburat rasa kemanusiaan yang tak bisa ditawar di sana. Bagaimana pun
menimbang dan memilih antara sahabat dan negara bukanlah sesuatu yang mudah. Di
luar tragedi peperangan yang berkecamuk, Iksana Banu hendak menyorongkan
“tragadi lain” yang barangkali sering dilupakan, yaitu kecamuk dalam diri
manusia secara personal.
Manusia
dalam konteks sejarah kolonialisme mempunyai sisi yang luas. Ia tak melulu
dikalkulasi dalam polarisasi yang banal. Tekanan psikologis, kemesraan
kemanusiaan, dan tarik ulur identitas dalam pemihakan, --meskipun sering
tersapu narasi besar pencatatan sejarah, adalah juga yang hadir secara nyata
dalam diri manusia.
Dalam
cerita lain yang berjudul “Penunjuk Jalan”, dikisahkan bagaimana seorang dokter
tentara Belanda tersesat bersama kawannya yang terluka di sebuah hutan. Di sana
mereka bertemu dengan sosok Untung Surapati yang memperkenalkan dirinya sebagai
“Pangeran Kebatinan”. Dialog pun terjadi. Dari pembicaraan tersebut terungkap
tentang niat Belanda yang hendak membangun suasana negeri asalnya di daerah
tropis, namun justru berdampak buruk terhadap sanitasi kota.
"Kota
itu (Batavia) menjelma menjadi kota terkutuk. Sungai Ciliwung dicabik menjadi
puluhan kanal sehingga arusnya melemah. Lumpur mengendap di sana-sini,
menciptakan dinding-dinding parit yang becek. Kalau sedang pasang, seisi laut
menerjang kota. Saat surut, bangkai ikan serta kotoran manusia terperangkap di
selokan dan parit-parit tadi. Menebarkan udara tidak sehat. Pembesar Batavia
mungkin orang-orang romantis yang rindu kampung halaman. Bermimpi memindahkan
Negeri Belanda ke sini. Padahal iklim dan tanahnya sangat berbeda. Kanal yang
semula digali untuk pengairan dan lalu lintas justru mempercepat penyebaran
penyakit ke seluruh kota."
Di
sini lagi-lagi terlihat, bahwa kaum kolonial bukanlah sebuah kumpulan manusia
dengan isi kepala yang seragam. Ia sebagaimana entitas lain, mempunyai
keragaman yang kompleks di berbagai lini, termasuk pemikiran. Namun di luar
wacana pemaknaan ulang terhadap teks yang berkisah di masa kolonialisme,
kemampuan Iksana Banu dalam menujudkan manusia di periode sejarah tersebut
memang patut diapresiasi sebagai sebuah talenta tersendiri.
Mewakili
penulis dari sudut penceritaan yang relatif jarang ditempuh oleh penulis lain,
pilihan latar waktu, dan kepiawaian dalam meramu keduanya—meskipun baru buku
ini saja yang ia lahirkan, barangkali alasan yang membuat karya Iksana Banu
hendak dipamerkan di Frankfurt.
Dalam
sejarah panjang umat manusia yang penuh oleh luka penindasan dan peperangan,
narasi seperti ini memang perlu “dikunjungi” lagi. Bukan untuk menegaskan
dendam, tapi sebuah ikhtiar dalam menyemai bibit rekonsiliasi, yang pada
akhirnya—bermuara di waktu entah, garis batas seluruh warga dunia itu akan
runtuh dan luluh, tak menyisakan apa pun, selain kemanusiaan. [irf]
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment