Jelang Frankfurt Book Fair 2015 isu tentang
penerjemahan buku, terutama buku sastra Indonesia ke dalam bahasa asing ramai
diperbincangkan. Dengan bantuan pemerintah lewat dana subsidi penerjemahan,
beberapa buku sastra para pengarang Indonesia akhirnya berhasil diterjemahkan
ke bahasa asing. Ini adalah capaian yang akan memperkenalkan karya-karya
pengarang kita ke publik luar.
Namun jika melihat ke belakang, kerja penerjemahan
karya sastra Indonesia sesungguhnya bukanlah hal baru. Yayasan Lontar, yang
didirikan oleh Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Subagio Sastrowardoyo,
serta John McGlynn, telah melakukan penerjemahan terhadap ratusan karya sastra
Indonesia.
John McGlynn, nama asing dari ke empat orang
tersebut punya peranan penting dalam penerjemahan karya sastra Indonesia selama
ini. Mula-mula, ia sebetulnya mahasiswa Fakultas Seni dan Desain di Universitas
Wincosin, Amerika Serikat. Tahun 1970-an, ia tertarik dengan wayang kulit yang
diperkenalkan oleh seorang gurunya di kampus. Pada perjalanannya, ketertarikan
itu membawanya sampai ke Indonesia.
Setelah tiga bulan tinggal di Malang, ia kemudian
pindah ke Jakarta untuk lebih mendalami bahasa dan sastra Indonesia di
Universitas Indonesia. Di sini ia kemudian bertemu dengan Sapardi Djoko Damono,
lalu dimulailah persentuhannya dengan beberapa sastrawan Indonesia yang lain.
Pada acara temu penulis, penerbit, dan Komite
Nasional baru-baru ini, ketika ditemui John menjelaskan mula persentuhannya
dengan kerja penerjemahan.
“Sebenarnya, awalnya bukan karena sastra tapi seni.
Dan saya sendiri adalah dalang, dalang Amerika. Saya suka wayang kulit, dan
bagaimana untuk mendalaminya? Saya harus datang ke sini. Lama kelamaan bisa
fasih bahasa Indonesia. Kemudian sering diminta untuk menerjemahkan,” tutur
John.
Sekali waktu di tahun 1985, ketika Sapardi Djoko
Damono terpilih menjadi pemenang SEA Write di Thailand, ia diminta oleh penyair
tersebut untuk menerjemahkan kumpulan puisinya. Mengingat waktu itu buku sastra
Indonesia yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing sangat minim, maka ia
bersama beberapa sastrawan Indonesia yang lain, kemudian mendirikan Yayasan
Lontar pada tanggal 28 Oktober 1987. Tujuan pendirian yayasan ini adalah untuk
menerjamahan karya sastra Indonesia sekaligus mempromosikan sastra dan
kebudayaan Indonesia ke dunia luar.
“Kami menanyakan kenapa sampai sekarang tidak ada
lembaga yang dibiayai pemerintah, untuk menerjemahkan karya sastra ke dalam
bahasa asing. Di seluruh dunia banyak negara-negara yang punya lembaga
penerjemahan atau lembaga yang dibiayai oleh pemerintah untuk mempromosikan
kebudayaan melalui sastra. Tapi karena di Indonesia tidak ada lembaga seperti
itu, jadi Sapardi, Goenawan, saya, dan Subagio Sastrowardoyo kemudian
mendirikan Yayasan Lontar,” terangnya.
Sampai sekarang, setelah 28 tahun perjalanannya,
Yayasan Lontar telah menerjemahkan sekira 200 karya Sastra Indonesia ke dalam
bahasa asing, dan peran John sebagai penerjemah--meskipun ia bukan penerjemah
tunggal, tidak bisa dipandang kecil. Ia telah sering menjadi “pintu gerbang”
bagi karya-karya Sastra Indonesia untuk masuk ke dalam pergaulan internasional
untuk diapresiasi secara luas.
Ihwal proses penerjemahan karya para pengarang
Indonesia ke dalam bahasa asing, John menjelaskan bahwa hal tersebut tidaklah
mudah. Sebagai contoh, ia sendiri butuh waktu sampai 18 bulan untuk
menerjemahkan “Pulang” karya Leila S. Chudori.
Ia menambahkan bahwa secara teknis menerjemahkan karya sastra relatif lebih sulit, sebab si penerjemah mesti punya rasa bahasa. Jika hal itu tidak terpenuhi, John mengatakan bahwa buku yang bersangkutan akan dianggap remeh meskipun aslinya bagus.
Ia menambahkan bahwa secara teknis menerjemahkan karya sastra relatif lebih sulit, sebab si penerjemah mesti punya rasa bahasa. Jika hal itu tidak terpenuhi, John mengatakan bahwa buku yang bersangkutan akan dianggap remeh meskipun aslinya bagus.
Kini pada perhelatan Frankfurt Book Fair, ia pun ikut berkontribusi dengan mendukung Komite Nasional dalam mempersiapkan Indonesia yang menjadi tamu kehormatan. Ibarat sayap, John lagi-lagi bersiap membawa karya-karya sastra Indonesia untuk terbang jauh ke dunia luar, berkeliling menyinggahi ruang-ruang baca publik dunia. Dan Oktober nanti, sayap itu akan hinggap di Frankfurt. [irf]
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment