Showing posts with label Yayasan Lontar. Show all posts
Showing posts with label Yayasan Lontar. Show all posts

23 September 2015

Telegram dari Keremangan yang Khayal dan yang Nyata

Seorang lelaki tengah duduk di rumah kontrakannya. Tiba-tiba pintu rumahnya diketuk. Di muka sudah berdiri seseorang, lalu memberinya sepucuk telegram; ibu si lelaki tadi meninggal dunia! Itulah kenyataan sesungguhnya yang harus ia hadapi, dan cerita-cerita sebelumnya hanyalah khayalannya belaka.
Itu adalah adegan di penghujung novel “Telegram” karya Putu Wijaya yang diterbitkan mula-mula di tahun 1973 oleh Pustaka Jaya. Novel itu bercerita tentang seorang lelaki yang selalu bersangka buruk terhadap telegram. Dalam benaknya, telegram hanyalah berisi warta-warta tentang kecelakaan, sakit keras, dan kematian.
Dengan kelihaian bercerita, Putu Wijaya membangun khayalan si tokoh dalam fiksi yang ia tulis. Beberapa pembaca menyebutnya sebagai kisah yang penuh dengan disorientasi, sebagian malah tak berhasil memahami alur kisahnya. Khayalan si lelaki terhadap isi telegram dikembangkan Putu Wijaya menjadi sulur-sulur cerita yang kompleks.
Putu seperti hendak menabrak “kejenuhan” karya realisme dengan cara membongkar alur cerita dan penokohan. Dalam “Telegram” tidak mudah untuk membedakan antara khayalan si lelaki dan kenyataan sebenarnya yang ia alami.
Kenyataan bahwa telegram datang ke si lelaki, dan mengabarkan bahwa ibunya meninggal. Tapi sebelum ia membuka dan membaca isinya, pikirannya kadung dikuasai rangkaian kekhawatiran dan ketakutan, yang menyebabkan ia melamunkan dan berbuat banyak hal yang rumit.
Novel setebal 143 halaman ini, selain alurnya yang menarik—juga pilihan kalimatnya, seperti yang pernah ditulis oleh Goenawan Mohamad, “Kita seperti digerakkan magnet kalimat-kalimatnya, bukan dengan deskripsi yang merayu perhatian, tapi dengan kiasan yang berenergi, bahkan ganas dan kadang-kadang menyentak mengerikan.”
“Telegram” memenangi Sayembara Mengarang Roman DKJ tahun 1972. Ihwal ini, Y. B. Mangunwijaya sempat menulis esai yang isinya mengatakan bahwa “Telegram” adalah karya yang matang dan dewasa, dan bentuk bertuturnya dinilai berhasil.
Selain itu, “Telegram” juga pernah diangkat ke layar lebar oleh sutradara Slamet Rahardjo, dalam proyek kerjasama antara Indonesia dan Prancis. Pasca dirilis di tahun 2002, film ini kemudian berhasil menyabet penghargaan di Festival Film Asia pasifik ke-46, sekaligus kategori aktris terbaik pun diraih oleh Ayu Azhari yang tampil di film itu.
Novel ini termasuk salah satu karya sastra yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan oleh Yayasan Lontar. Sementara jelang gelaran Frankfurt Book Fair 2015, novel ini pun diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh penerbit Angkor Verlag dengan judul “Telegramm”.
Penerjemahan novel ini ke dalam beberapa bahasa asing, tentu akan menjadi kesempatan baik untuk memperkenalkan salah satu karya penulis Indonesia, yang bentuk dan gaya bertuturnya dianggap berhasil oleh beberapa kalangan.

Di Frankfurt, “Telegram” akan hadir membawa tokoh-tokohnya yang hidup dalam remang antara khayal dan nyata, untuk dibaca oleh khalayak sastra dunia. [irf]

Postscript : 
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.

Joko Pinurbo; Mengibarkan Sarung dan Celana di Frankfurt

Seorang anak SMA yang menurut pengakuannya belum mempunyai cita-cita, pada suatu malam, menjelang tidur, membaca sepenggal puisi Sapardi Djoko Damono, “masih terdengar sampai di sini dukaMu abadi.” Setelah itu ia jatuh cinta pada puisi.
Selain itu, ia pun tergugah dengan puisi “Kwatrin tentang Sebuah Poci” yang ditulis Goenawan Mohamad. Begini penggalannya, “Apa yang berharga dari tanah liat ini / selain separuh ilusi? / sesuatu yang kelak retak / dan kita membikinnya abadi.”
Joko Pinurbo, bocah SMA tadi, kemudian menjadi seorang penyair. Ia yang lahir di pelosok Sukabumi itu, dalam rentang waktu 15 tahun sejak buku pertamanya terbit pada 1999, telah menghasilkan 12 buku kumpulan puisi. Baru menerbitkan buku kumpulan puisi di usia 37 bukan berarti ia baru menulis puisi di usia itu juga. Sejak remaja puisi-puisinya telah banyak lahir.
12 buku puisi dalam waktu 15 tahun memang pencapaian Joko yang cukup produktif. Dalam proses penciptaan puisi-puisinya, ia selalu membawa blocknote kecil. Di sanalah ia menggodok dan mematangkan puisi-puisinya. Kadang-kadang ia pun menggunakan telepon genggam untuk menampung lintasan ihlam yang mampir di kepala. Semuanya itu kemudian ia endapkan, dan dibuka kembali ketika malam mulai larut, saat segalanya begitu sunyi.
“Selalu selepas tengah malam, itu jernih, pada saat saya santai, tidak memikirkan beban hidup,” tuturnya.
Menurut Gramedia Pustaka Utama, sebagai salah satu penerbit buku-buku kumpulan puisi Joko Pinurbo, karya penyair yang pernah meraih penghargaan Anugerah Sih Award 2001 itu telah ada yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman, dan Belanda. Yayasan Lontar memang pernah menerjemahkan kumpulan puisinya yang berjudul “Tubuh Pinjaman” menjadi “Borrowed Body and Other Poems”.
Hari ini, baik di kalangan penyair maupun di mata pembaca puisi-puisinya, ia lebih dikenal sebagai “si penyair celana”. Joko pernah menjelaskan bahwa ia “menemukan” diksi celana bertolak dari pembacaannya terhadap puisi-puisi Indonesia yang berkutat seputar suasana bentang alam seperti senja, langit, hujan, debur ombak, kabut, dll.
Tapi “penemuan” celana pun bukanlah hal yang mudah. Menurut Joko, ada proses yang panjang dalam menemukan gaya ungkap yang cocok bagi dirinya. Saat diwawancara AlineaTV, ia menjelaskan:
“Jadi memang setiap pengarang atau khususnya setiap penyair, memerlukan kesabaran tersendiri di dalam proses kreatif untuk bisa menemukan gaya ungkap yang cocok bagi dia. Dalam kasus saya, saya sampai duapuluh tahun belajar untuk akhirnya menemukan celana. Nah pesan itu yang ingin saya sampaikan terutama, bahwa dalam kasus saya, saya memerlukan waktu bahkan sampai duapuluh tahun untuk belajar berpuisi.”
Meskipun puisi yang bertema celana sudah ia buat sejak 1996, yaitu pada trilogi celana; “Celana 1”, “Celana 2”, Celana 3”, namun rasa-rasanya yang paling diingat para pembaca adalah puisi “Celana Ibu” yang ia tulis di tahun 2004.
“Maria sangat sedih menyaksikan anaknya / mati di kayu salib tanpa celana / dan hanya berbalutkan sobekan jubah / yang berlumuran darah. / Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit dari mati / pagi-pagi sekali Maria datang / ke kubur anaknya itu / membawakan celana / yang dijahitnya sendiri / dan meminta Yesus untuk mencobanya. / ‘Paskah?’ tanya Maria / ‘Pas sekali, Bu,’ jawab Yesus gembira. / Mengenakan celana buatan ibunya / Yesus naik ke surga.”
Selain celana, Joko pun memperkaya daya ungkapnya dalam berpuisi, yaitu dengan menggunakan kata-kata seperti: sarung, telepon genggam, kamar mandi, tubuh, bulan, ranjang, mata, buku, dan kuburan. Dalam eksperimen tersebut, ia tak berpikir dan tak peduli apakah nanti puisinya akan dianggap berhasil atau malah sebaliknya. “Tapi yang penting, ‘wah, ini belum ditulis orang kayak-kayak gini,” ungkapnya.

Di Frankfurt nanti, puisi-puisinya akan ikut hadir. Daya ungkap Joko yang khas, adalah keragaman ekspresi penyair Indonesia dalam bersinggungan dengan kehidupannya. “Celana” yang begitu ia cintai, “ranjang” tempat ia tidur, “mandi” yang terkadang ia takuti, juga “sarung” tempat ia menjingkrung: semuanya akan hadir di sana, di Frankfurt. [irf]

Postscript : 
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.

John Mc Glynn dan Usaha Menerjemahkan Indonesia

Jelang Frankfurt Book Fair 2015 isu tentang penerjemahan buku, terutama buku sastra Indonesia ke dalam bahasa asing ramai diperbincangkan. Dengan bantuan pemerintah lewat dana subsidi penerjemahan, beberapa buku sastra para pengarang Indonesia akhirnya berhasil diterjemahkan ke bahasa asing. Ini adalah capaian yang akan memperkenalkan karya-karya pengarang kita ke publik luar.
Namun jika melihat ke belakang, kerja penerjemahan karya sastra Indonesia sesungguhnya bukanlah hal baru. Yayasan Lontar, yang didirikan oleh Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Subagio Sastrowardoyo, serta John McGlynn, telah melakukan penerjemahan terhadap ratusan karya sastra Indonesia.
John McGlynn, nama asing dari ke empat orang tersebut punya peranan penting dalam penerjemahan karya sastra Indonesia selama ini. Mula-mula, ia sebetulnya mahasiswa Fakultas Seni dan Desain di Universitas Wincosin, Amerika Serikat. Tahun 1970-an, ia tertarik dengan wayang kulit yang diperkenalkan oleh seorang gurunya di kampus. Pada perjalanannya, ketertarikan itu membawanya sampai ke Indonesia.
Setelah tiga bulan tinggal di Malang, ia kemudian pindah ke Jakarta untuk lebih mendalami bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Indonesia. Di sini ia kemudian bertemu dengan Sapardi Djoko Damono, lalu dimulailah persentuhannya dengan beberapa sastrawan Indonesia yang lain.
Pada acara temu penulis, penerbit, dan Komite Nasional baru-baru ini, ketika ditemui John menjelaskan mula persentuhannya dengan kerja penerjemahan.
“Sebenarnya, awalnya bukan karena sastra tapi seni. Dan saya sendiri adalah dalang, dalang Amerika. Saya suka wayang kulit, dan bagaimana untuk mendalaminya? Saya harus datang ke sini. Lama kelamaan bisa fasih bahasa Indonesia. Kemudian sering diminta untuk menerjemahkan,” tutur John.
Sekali waktu di tahun 1985, ketika Sapardi Djoko Damono terpilih menjadi pemenang SEA Write di Thailand, ia diminta oleh penyair tersebut untuk menerjemahkan kumpulan puisinya. Mengingat waktu itu buku sastra Indonesia yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing sangat minim, maka ia bersama beberapa sastrawan Indonesia yang lain, kemudian mendirikan Yayasan Lontar pada tanggal 28 Oktober 1987. Tujuan pendirian yayasan ini adalah untuk menerjamahan karya sastra Indonesia sekaligus mempromosikan sastra dan kebudayaan Indonesia ke dunia luar.
“Kami menanyakan kenapa sampai sekarang tidak ada lembaga yang dibiayai pemerintah, untuk menerjemahkan karya sastra ke dalam bahasa asing. Di seluruh dunia banyak negara-negara yang punya lembaga penerjemahan atau lembaga yang dibiayai oleh pemerintah untuk mempromosikan kebudayaan melalui sastra. Tapi karena di Indonesia tidak ada lembaga seperti itu, jadi Sapardi, Goenawan, saya, dan Subagio Sastrowardoyo kemudian mendirikan Yayasan Lontar,” terangnya.
Sampai sekarang, setelah 28 tahun perjalanannya, Yayasan Lontar telah menerjemahkan sekira 200 karya Sastra Indonesia ke dalam bahasa asing, dan peran John sebagai penerjemah--meskipun ia bukan penerjemah tunggal, tidak bisa dipandang kecil. Ia telah sering menjadi “pintu gerbang” bagi karya-karya Sastra Indonesia untuk masuk ke dalam pergaulan internasional untuk diapresiasi secara luas.
Ihwal proses penerjemahan karya para pengarang Indonesia ke dalam bahasa asing, John menjelaskan bahwa hal tersebut tidaklah mudah. Sebagai contoh, ia sendiri butuh waktu sampai 18 bulan untuk menerjemahkan “Pulang” karya Leila S. Chudori.

Ia menambahkan bahwa secara teknis menerjemahkan karya sastra relatif lebih sulit, sebab si penerjemah mesti punya rasa bahasa. Jika hal itu tidak terpenuhi, John mengatakan bahwa buku yang bersangkutan akan dianggap remeh meskipun aslinya bagus.

Kini pada perhelatan Frankfurt Book Fair, ia pun ikut berkontribusi dengan mendukung Komite Nasional dalam mempersiapkan Indonesia yang menjadi tamu kehormatan. Ibarat sayap, John lagi-lagi bersiap membawa karya-karya sastra Indonesia untuk terbang jauh ke dunia luar, berkeliling menyinggahi ruang-ruang baca publik dunia. Dan Oktober nanti, sayap itu akan hinggap di Frankfurt. [irf]

Postscript : 
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.