23 September 2015

Joko Pinurbo; Mengibarkan Sarung dan Celana di Frankfurt

Seorang anak SMA yang menurut pengakuannya belum mempunyai cita-cita, pada suatu malam, menjelang tidur, membaca sepenggal puisi Sapardi Djoko Damono, “masih terdengar sampai di sini dukaMu abadi.” Setelah itu ia jatuh cinta pada puisi.
Selain itu, ia pun tergugah dengan puisi “Kwatrin tentang Sebuah Poci” yang ditulis Goenawan Mohamad. Begini penggalannya, “Apa yang berharga dari tanah liat ini / selain separuh ilusi? / sesuatu yang kelak retak / dan kita membikinnya abadi.”
Joko Pinurbo, bocah SMA tadi, kemudian menjadi seorang penyair. Ia yang lahir di pelosok Sukabumi itu, dalam rentang waktu 15 tahun sejak buku pertamanya terbit pada 1999, telah menghasilkan 12 buku kumpulan puisi. Baru menerbitkan buku kumpulan puisi di usia 37 bukan berarti ia baru menulis puisi di usia itu juga. Sejak remaja puisi-puisinya telah banyak lahir.
12 buku puisi dalam waktu 15 tahun memang pencapaian Joko yang cukup produktif. Dalam proses penciptaan puisi-puisinya, ia selalu membawa blocknote kecil. Di sanalah ia menggodok dan mematangkan puisi-puisinya. Kadang-kadang ia pun menggunakan telepon genggam untuk menampung lintasan ihlam yang mampir di kepala. Semuanya itu kemudian ia endapkan, dan dibuka kembali ketika malam mulai larut, saat segalanya begitu sunyi.
“Selalu selepas tengah malam, itu jernih, pada saat saya santai, tidak memikirkan beban hidup,” tuturnya.
Menurut Gramedia Pustaka Utama, sebagai salah satu penerbit buku-buku kumpulan puisi Joko Pinurbo, karya penyair yang pernah meraih penghargaan Anugerah Sih Award 2001 itu telah ada yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman, dan Belanda. Yayasan Lontar memang pernah menerjemahkan kumpulan puisinya yang berjudul “Tubuh Pinjaman” menjadi “Borrowed Body and Other Poems”.
Hari ini, baik di kalangan penyair maupun di mata pembaca puisi-puisinya, ia lebih dikenal sebagai “si penyair celana”. Joko pernah menjelaskan bahwa ia “menemukan” diksi celana bertolak dari pembacaannya terhadap puisi-puisi Indonesia yang berkutat seputar suasana bentang alam seperti senja, langit, hujan, debur ombak, kabut, dll.
Tapi “penemuan” celana pun bukanlah hal yang mudah. Menurut Joko, ada proses yang panjang dalam menemukan gaya ungkap yang cocok bagi dirinya. Saat diwawancara AlineaTV, ia menjelaskan:
“Jadi memang setiap pengarang atau khususnya setiap penyair, memerlukan kesabaran tersendiri di dalam proses kreatif untuk bisa menemukan gaya ungkap yang cocok bagi dia. Dalam kasus saya, saya sampai duapuluh tahun belajar untuk akhirnya menemukan celana. Nah pesan itu yang ingin saya sampaikan terutama, bahwa dalam kasus saya, saya memerlukan waktu bahkan sampai duapuluh tahun untuk belajar berpuisi.”
Meskipun puisi yang bertema celana sudah ia buat sejak 1996, yaitu pada trilogi celana; “Celana 1”, “Celana 2”, Celana 3”, namun rasa-rasanya yang paling diingat para pembaca adalah puisi “Celana Ibu” yang ia tulis di tahun 2004.
“Maria sangat sedih menyaksikan anaknya / mati di kayu salib tanpa celana / dan hanya berbalutkan sobekan jubah / yang berlumuran darah. / Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit dari mati / pagi-pagi sekali Maria datang / ke kubur anaknya itu / membawakan celana / yang dijahitnya sendiri / dan meminta Yesus untuk mencobanya. / ‘Paskah?’ tanya Maria / ‘Pas sekali, Bu,’ jawab Yesus gembira. / Mengenakan celana buatan ibunya / Yesus naik ke surga.”
Selain celana, Joko pun memperkaya daya ungkapnya dalam berpuisi, yaitu dengan menggunakan kata-kata seperti: sarung, telepon genggam, kamar mandi, tubuh, bulan, ranjang, mata, buku, dan kuburan. Dalam eksperimen tersebut, ia tak berpikir dan tak peduli apakah nanti puisinya akan dianggap berhasil atau malah sebaliknya. “Tapi yang penting, ‘wah, ini belum ditulis orang kayak-kayak gini,” ungkapnya.

Di Frankfurt nanti, puisi-puisinya akan ikut hadir. Daya ungkap Joko yang khas, adalah keragaman ekspresi penyair Indonesia dalam bersinggungan dengan kehidupannya. “Celana” yang begitu ia cintai, “ranjang” tempat ia tidur, “mandi” yang terkadang ia takuti, juga “sarung” tempat ia menjingkrung: semuanya akan hadir di sana, di Frankfurt. [irf]

Postscript : 
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.

No comments: