Sejak “Orang-orang Bloomington”
terbit menyapa para pembaca sastra Indonesia pada 1981, nama Budi Darma
langsung menyita perhatian publik. Pengarang kelahiran Rembang 1937 ini hadir
dengan kumpulan cerita pendek, yang karakter tokoh-tokohnya begitu
menjengkelkan, juga nama-nama yang terdengar agak aneh.
Dua tahun kemudian novelnya yang
berjudul “Olenka” terbit. Buku ini lagi-lagi hadir dengan gaya bertutur dan
penokohan yang unik. Beberapa kritikus sastra menilai ia sebagai pengarang
angkatan 1970-an yang serba bisa. Prof. A. Teeuw, seperti ditulis oleh Imam
Muhtarom (kurator Borobudur Writer and Cultural Festival 2012), menilainya
sebagai pengarang yang paling berhasil dalam usaha pembaruan dalam hal teknik
fiksi dan isinya. Teeuw menganggap Budi Darma sebagai pelopor penggunaan teknik
kolase.
Karya-karya Budi Darma, baik
yang berbentuk novel, ataupun yang terhimpun di buku-buku cerita pendek, kerap
memiliki imajinasi yang sulit ditebak dan trengginas. Menurutnya, imajinasi
sangat bergantung kepada tajam atau tumpulnya kepekaan seseorang, dalam hal ini
pengarang. Ia menambahkan bahwa imajinasi yang malas lahir dari kepekaan yang
tumpul, lalu mengantuk, tidur, dan kemudian mati.
Waktu membaca “Orang-orang
Bloomington”, orang-orang banyak yang merasa disergap oleh para tokoh yang
culas, pendendam, dan penyakitan. Dan celakanya, tokoh-tokoh itu hidup dalam
cerita-cerita tentang ketuaan, penyesalan, dan kesepian. Harry Aveling,
penerjemah beberapa karya sastra pengarang Indonesia, sempat berkata bahwa
baginya kisah-kisah yang ditulis oleh Budi Darma adalah menakutkan.
Oktober nanti, di ajang
Frankfurt Book Fair 2015, beberapa karya Budi Darma akan ikut dipamerkan.
Gelaran buku yang melibatkan ribuan pengunjung dari berbagai negara itu tentu
membutuhkan kerja-kerja penerjemahan, agar karya-karya para penulis Indonesia
bisa dibaca dan dipahami oleh publik luas.
Terkait dengan hal tersebut,
Budi Darma yang sempat ditemui pada acara temu penulis, penerbit, dan Komite
Nasional, dengan ramah menjelaskan tentang karyanya yang telah berhasil
diterjemahkan.
“Karya saya yang diterjemahkan
hanya satu, yaitu kumpulan cerita pendek yang judulnya ‘Percakapan’. Kumpulan
cerita itu diterjemahkan oleh Andre Moller dan diberi judul ‘The Conversatiaon’.
Hanya satu kumpulan cerita pendek itu saja, sebab yang lain-lain terlambat
waktunya karena terhambat birokrasi,” terangnya. Buku tersebut nantinya akan
diterbitkan oleh Yayasan Lontar.
Terbatasnya karya Budi Darma
yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing benar-benar sangat disayangkan.
Pengarang yang disebut-sebut nyaris tak mempunyai epigon ini, tentu adalah
seorang pengarang yang mempunyai gagasan dan konsep penulisan yang kuat. Dan
hal ini adalah poin penting untuk dibicarakan ulang bersama para sastrawan
luar, dan pembaca umum buku-buku sastra.
“Olenka”, “Rafillus”, “Ny.
Talis”, Orang-orang Bloomington”, “Kritikus Adinan”, “Fofo dan Senggring”,
serta “Laki-laki Lain dalam Secarik Surat” adalah sebagian dari karya Budi
Darma, yang sekiranya diterjemahkan ke dalam bahasa asing, barangkali akan
membuka katup bahasa dan akan mengalirkan diskusi yang menarik.
Namun walau bagaimana
pun, sekali-lagi, Budi Darma dan tokoh-tokoh rekaannya yang kerap “menakutkan”,
akan tetap menembus Frankfurt. Inilah salah satu pengarang Indonesia yang
brilian, dan karyanya layak untuk diperkenalkan secara lebih luas di sana, di
kota paling kosmopolitan di Jerman. [irf]
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment