Ratih Kumala termasuk salah
seorang pengarang yang cukup produktif. Kurang dari sepuluh tahun dia sudah
menghasilkan lima karya yang terdiri dari empat novel dan satu himpunan cerpen.
Pada 2012 ia menerbitkan “Gadis Kretek”. Menjelang perhelatan Frankfurt Book
Fair 2015, novel ini termasuk salah satu buku yang diterjemahkan ke dalam
Bahasa Jerman, dan akan diterbitkan penerbit Culturbooks dengan judul “Das
Zigarettenmadchen” pada gelaran Frankfurt Book Fair 2015.
Novel ini ditulis berdasarkan
riset yang cukup panjang. Ratih mengaku juga terinspirasi dari kakeknya
sendiri. “Ibu saya sering cerita jaman kecil dulu, kalau ayahnya (eyang kakung
saya) adalah pengusaha kretek, meski cuma kretek lokal yang kemudian gulung
tikar. Saya terinspirasi dari situ.”
Di luar pro-kontra bahaya rokok
bagi kesehatan, yang akhir-akhir ini kampanye dan perdebatannya semakin sengit,
diakui atau pun tidak, di negeri ini kehadiran dan budaya kretek punya riwayat
panjang yang tidak main-main. Inilah salah satu magnum-opus Nusantara.
Tahun 1870-an, Haji Djamhari,
seorang warga Kudus menderita penyakit bengek alias asma. Ia mengoleskan minyak
cengkeh sebagai langkah awal pengobatan. Ketika kondisinya dirasa membaik, ia
kemudian memotong cengkeh menjadi bagian kecil-kecil dan mencampurkannya dengan
racikan tembakau. Dari dua komoditas penting itu kemudian terciptalah kretek.
Itulah yang dimaksud dengan
riwayat panjang yang bukan main-main. Sebab jika dirunut dari titimangsa
tersebut, maka perjalanan dan kehadiran kretek di Indonesia sudah lebih dari
satu abad. Di titik ini, kehadiran “Gadis Kretek” menjadi penting sebab ia
mencoba memotret satu warisan yang hari-hari ini seolah hendak disingkirkan.
Kretek adalah salah satu helai
benang yang merajut kain perca imajinasi tentang Indonesia.
Pramoedya Ananta Toer, dengan
cara yang plastis, pernah menulis sebuah cerita yang kini telah menjadi legenda
dalam kata pengantar untuk buku berjudul "Kretek: The Culture and Heritage
of Indonesia's Clove Cigarettes" yang disusun oleh Mark Hanusz.
Syahdan, di sebuah perjamuan
diplomatik yang terjadi di awal kemerdekaan Indonesia, seorang lelaki pendek
dan kurus yang mengenakan songkok di kepalanya memantik rokok dan mengepulkan
asap dari mulutnya di tengah para diplomat. Aroma kretek dengan cepat merebak
ke seantero ruangan. Seseorang, diduga Pangeran Philip, menghampirinya, dan
bertanya: ”Apakah yang sedang Tuan hisap itu?” tanyanya.
”Inilah Yang Mulia,” tutur
lelaki bernama Haji Agus Salim itu, ”yang menjadi alasan mengapa Barat menjajah
dunia.”
Novel "Gadis Kretek"
bisa menjadi pintu pembuka bagi publik Jerman yang ingin mengenal kretek, bukan
sekadar komoditas, melainkan juga sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah
dan kebudayaan Indonesia. Ratih dengan rinci bisa menguraikan bagaimana kretek
dibuat, dari satu tahapan ke tahapan berikutnya, hingga akhirnya siap untuk
dihisap. Komposisi bahan-bahan yang digunakan dalam kretek, dari tembakau dan
cengkeh hingga saus, juga dihidangkan oleh Ratih dengan tidak kalah sedapnya.
Dalam balutan cerita mengenai
bisnis kretek, juga persaingannya yang sengit, yang beririsan dengan pertaruhan
soal harga diri dan kisah cinta, “Gadis Kretek” juga menghamparkan kretek
sebagai komoditas yang berkaitan langsung dengan konstelasi ekonomi-politik di
masa yang menjadi latar cerita, dari masa kolonial hingga dekade-dekade pertama
kemerdekaan Indonesia.
Dengan diterjemahkannya
novel ini, satu sudut wajah kontemporer Indonesia dengan latar tradisinya yang
kuat akan turut diperkenalkan ke publik luar. Inilah satu hal penting dari
citra keragaman yang hendak diangsurkan itu. [irf ]
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment