Beberapa
tahun terakhir, di Indonesia cukup marak aktifitas jalan-jalan yang kemudian
dituliskan ke dalam berbagai catatan perjalanan. Laku pakansi yang semula
sederhana, artinya hanya melepaskan kepenatan dari rutinitas, kini mulai
bersalin rupa dalam wujudnya yang lebih populer. Para pelancong (traveller)
menceritakan ulang perjalanannya di berbagai media sosial yang sangat sibuk
dengan lalu lintas komunikasi. Untuk beberapa orang, jalan-jalan hampir dan telah
sampai pada titik sebagai gaya hidup.
Perucha
Hutagaol, atau lebih dikenal dengan nama Trinity, adalah salah satu pelancong
Indonesia yang namanya di dunia literasi sangat populer. Ia, yang akan hadir di
Frankfurt itu, buku-buku catatan perjalanannya diserap pasar dengan baik. Para
pembacanya memberikan testinomi yang hampir seragam: tentang perjalanan Trinity
yang seru dan “tak biasa”.
Mula-mula,
seperti umumnya para pekerja di Indonesia, Trinity adalah karyawan kantoran
biasa yang kerap berhitung tentang jatah cuti dan libur yang sangat sempit.
Dorongan jalan-jalan yang kuat dan keterbatasan waktu ini membuat ia akhirnya
membuat keputusan untuk memilih jalan-jalan sebagai “pekerjaannya”, atau ia
menyebutnya sebagai full-time traveler and freelance travel writer.
Catatan
perjalanannya ke berbagai daerah di Indonesia dan beberapa negara kemudian dia
publikasikan di blog. Tulisan-tulisannya yang informatif dan menghibur ternyata
menginspirasi banyak orang untuk melakukan perjalanan yang sama. Karena peminat
tulisan-tulisannya semakin hari kian bertambah, akhirnya atas saran teman-teman
dan penerbit, ia kemudian membukukan catatan-catatannya. Buku yang kemudian
diberi judul “The Naked Traveler”, sampai hari ini telah masuk seri ke-4.
Buku
seri ke-4 ini, pada tahun 2013, telah diterjemahkan dan diterbitkan oleh
penerbit B first (kelompok Bentang Pustaka) dengan judul “The Naked Traveler;
Across The Indonesian Archipelago”. Di buku ini Trinity tentang menulis
perjalanannya ke Aceh, Jambi, Bangka, Lombok, Flores, Kalimantan, Raja Ampat,
Gorontalo, Wakatobi, dan beberapa tempat lain.
Yang
menonjol dari catatan-catatan perjalanan Trinity adalah karena ia tak hanya
menulis hal yang indah-indah saja, namun juga sisi-sisi buruk dari perjalanan
yang ia alami. Jika selama ini tulisan serupa lebih banyak yang bertendensi
surga--sebagai pelancong-penulis, Trinity tak hendak menyeret
tulisan-tulisannya ke arah sana.
Terkait
dengan program penerjemahan buku yang disubsidi pemerintah, Trinity
berinisiatif untuk mencari penerjemah sendiri untuk versi Jerman-nya. “Katanya
sih dapat hibah, dan aku sudah berinisiatif sendiri mencarikan penerjemahnya,
juga sudah menghubungi penerbit terkait hal ini,” ujanya.
Selain
menulis serial “The Naked Traveler”, bersama beberapa penulis lain, ia juga
menerbitkan dua buku antologi perjalanan, yaitu; “Travelove (Dari Ransel Turun
ke Hati)” dan “The Journeys”. Lalu ia pun bersama Erastiany dan Sheila
Rooswitha membuat sebuah graphic travelogue berjudul “Tersesat di Byzantium”.
Terkait
gelaran Frankfurt Book Fair, Trinity yang ditemui di sesela acara temu penulis
dengan Komite Nasional, menjelaskan ihwal posisi buku-bukunya:
“Salah
satu buku saya yang dibawa ke sana (Frankfurt), mungkin satu-satunya buku
(perjalanan) pop berbahasa Inggris yang berbicara tentang Indonesia, dan
ditulis oleh orang Indonesia, karena selama ini buku tentang Indonesia yang
menulis orang asing. Jadi menurutku buku ini menjual, karena kita punya selera
humor yang berbeda. Dan perjalanan antara orang lokal dengan orang asing tentu
berbeda juga. Kepada orang asing kan semua ramah, foto bareng dan segala macem
gitu kan. Kalau ke orang lokal berbeda pengalamannya,” terangnya.
Lalu
ia juga menyoroti satu sudut pandang tentang kiprahnya selama ini. “Orang
Indonesia itu tidak terkenal sebagai yang tukang jalan-jalan. Lalu begini, aku
ini kan dari negeri eksotis yang justru pergi ke negara-negara lain, menurutku
ini poin yang menarik,” sambungnya.
Di
Jerman nanti, kehadiran karya-karya peraih penghargaan Travel & Tourism
Awards 2010 sebagai Indonesia’s Leading Travel Writer ini tentu akan menarik.
Kiprahnya di dunia jalan-jalan mungkin akan membuka pemahaman baru bagi publik
dunia, bahwa Indonesia—negeri dengan ribuan pulau yang mengambang di garis
khatulistiwa itu, melalui tulisan-tulisan Trinity, bisa dibaca ulang melalui
pengalaman warganya dalam mengunjungi tanah airnya sendiri.
Selain
itu, jika selama ini dikenal sebagai penyaji objek wisata yang eksotis, melalui
perjalanan Trinity ke berbagai negara, Indonesia juga mesti mulai diperhitungkan
sebagai konsumen potensial yang akan menyerap pasar pariwisata internasional.
Dan
di Frankfurt, “The Naked Traveler”—sekali lagi, akan menunjukkan “kenekatan dan
ketelanjangannya”. [irf]
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment