Dalam
keragaman karya, selain buku-buku fiksi, buku para penulis non fiksi pun akan
ikut dipamerkan di gelaran Frankfurt Book Fair. Satu dari ragam non-fiksi itu
adalah tulisan-tulisan perjalanan Agustinus Wibowo menjelajahi negeri-negeri
dunia ketiga yang murung, penuh marabahaya, namun sekaligus indah.
Penulis
kelahiran Lumajang yang pada awalnya adalah anak rumahan, nyaman dalam
kepompong keluarga, namun pada akhirnya justru melakukan perjalanan menembus
batas-batas negara dengan cara yang mencengangkan. Alih-alih menggunakan moda
transportasi udara, ia malah menghindarinya. Orang boleh bilang caranya adalah
pembenaran terhadap dana yang minim, dan itu memang tidak ia sangkal, bahwa ia
kerap kekurangan uang tiap kali akan naik pesawat. Namun sesungguhnya ada hal
lain yang patut untuk diapresiasi.
”Saya menghindari perjalanan
dengan pesawat. Perjalanan udara menghalangi saya menyerap saripati
tempat-tempat yang saya kunjungi. Menyatu dengan budaya setempat, menjalin
persahabatan dengan banyak orang di tiap tempat, merasakan kehidupan masyarakat
di suatu tempat adalah hal-hal yang tidak mungkin saya dapatkan jika saya
menggunakan pesawat terbang,” terangnya.
Buku pertama yang berjudul
“Selimut Debu” merekam perjalanannya waktu berkunjung ke Afghanistan. Negeri
yang porak-poranda oleh perang berkepanjangan itu ia datangi dengan semangat
yang tak luruh. Meskipun masih menyisakan kengerian di hampir semua penjuru,
namun Agustinus tak gentar untuk datang ke kantong-kantong tempat interaksi
masyarakat, untuk mengakrabi dan memahami kehidupan warganya.
“Perjalanan mengajarkan saya
tentang warna-wani hidup, ragam budaya dan manusia. Perjalanan ini juga
memaparkan pada saya bahwa dunia tidak seindah yang kita impikan. Hidup ini
cantik sekaligus buruk rupa, bahagia sekaligus muram, berwarna sekaligus
kelabu,” ujarnya.
Pada buku berikutnya yang
kemudian diberi judul “Garis Batas”, ia melanjutkan perjalanannya ke beberapa
negara bekas pecahan Uni Soviet. Kesadaran yang mencuat dari realitas yang ia
temui, salah satunya adalah tentang bagaimana negara sebagai sebuah institusi,
lengkap dengan simbol-simbolnya, ternyata terlalu banyak menciptakan garis
batas yang pada akhirnya memisahkan manusia dengan manusia yang lainnya, di mana
sebetulnya kemesraan kemanusiaan dapat terjalin.
Lalu pada karya selanjutnya, ia
menulis “Titik Nol”. Kali ini Agustinus mencoba menembus kerasnya Kashmir,
Himalaya yang anggun dan misterius, serta gejolak sosial yang mengerikan. Buku
ini menjadi semacam titik balik dari petualangannya yang telah ditempuh selama
bertahun-tahun. Ia yang sudah menghabiskan waktunya dalam perjalanan sejauh
ribuan kilometer, ternyata justru menemukan makna perjalanan dari seseorang
yang tak pernah ke mana-mana sepanjang hayatnya. Si musafir bersujud di samping
ibunya yang tengah terbaring sakit.
Sekarang, setelah ibu yang
sangat dicintainya meninggal, Agustinus terus melanjutkan perjalanannya
menyinggahi negeri-negeri jauh di berbagai pelosok dunia. Petualangannya dalam
mengakrabi ragam manusia lengkap dengan konflik dan budayanya, akan terus
berlanjut sampai batas waktu yang entah.
“Hidup ini adalah sebuah
perjalanan. Kita tidak tahu kapan perjalanan hidup kita akan selesai. Begitu
pula saya tidak tahu kapan petualangan saya ini akan berakhir. Yang saya tahu,
saya masih ingin terus melanjutkan petualangan saya. Masih ada banyak tempat
yang ingin saya kunjungi,” tuturnya.
Dan sekali ini, di Frankfurt,
Agustinus beserta buku-bukunya akan ikut juga memperkaya perspektif tentang
kondisi Indonesia kontemporer. Ia yang dibentuk oleh ke-Indonesia-an, baik
secara pribadi maupun budaya, kini berkat perjalanan-perjalanannya, telah
menjadi warga dunia. Hal ini merupakan modal penting untuk bahan dialog,
tentang bagaimana hasil perjalanannya dilihat secara luas, lalu dijadikan bahan
renungan bersama.
Debu-debu kehidupan,
debu-debu peperangan dan sisa-sisa kematian, dan debu-debu perjalanan yang
disesap Agustinus pun akhirnya akan sampai juga di Frankfurt. [irf]
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment