23 September 2015

Debu-debu yang Sampai di Frankfurt

Dalam keragaman karya, selain buku-buku fiksi, buku para penulis non fiksi pun akan ikut dipamerkan di gelaran Frankfurt Book Fair. Satu dari ragam non-fiksi itu adalah tulisan-tulisan perjalanan Agustinus Wibowo menjelajahi negeri-negeri dunia ketiga yang murung, penuh marabahaya, namun sekaligus indah.
Penulis kelahiran Lumajang yang pada awalnya adalah anak rumahan, nyaman dalam kepompong keluarga, namun pada akhirnya justru melakukan perjalanan menembus batas-batas negara dengan cara yang mencengangkan. Alih-alih menggunakan moda transportasi udara, ia malah menghindarinya. Orang boleh bilang caranya adalah pembenaran terhadap dana yang minim, dan itu memang tidak ia sangkal, bahwa ia kerap kekurangan uang tiap kali akan naik pesawat. Namun sesungguhnya ada hal lain yang patut untuk diapresiasi.
”Saya menghindari perjalanan dengan pesawat. Perjalanan udara menghalangi saya menyerap saripati tempat-tempat yang saya kunjungi. Menyatu dengan budaya setempat, menjalin persahabatan dengan banyak orang di tiap tempat, merasakan kehidupan masyarakat di suatu tempat adalah hal-hal yang tidak mungkin saya dapatkan jika saya menggunakan pesawat terbang,” terangnya.

Buku pertama yang berjudul “Selimut Debu” merekam perjalanannya waktu berkunjung ke Afghanistan. Negeri yang porak-poranda oleh perang berkepanjangan itu ia datangi dengan semangat yang tak luruh. Meskipun masih menyisakan kengerian di hampir semua penjuru, namun Agustinus tak gentar untuk datang ke kantong-kantong tempat interaksi masyarakat, untuk mengakrabi dan memahami kehidupan warganya.

“Perjalanan mengajarkan saya tentang warna-wani hidup, ragam budaya dan manusia. Perjalanan ini juga memaparkan pada saya bahwa dunia tidak seindah yang kita impikan. Hidup ini cantik sekaligus buruk rupa, bahagia sekaligus muram, berwarna sekaligus kelabu,” ujarnya.

Pada buku berikutnya yang kemudian diberi judul “Garis Batas”, ia melanjutkan perjalanannya ke beberapa negara bekas pecahan Uni Soviet. Kesadaran yang mencuat dari realitas yang ia temui, salah satunya adalah tentang bagaimana negara sebagai sebuah institusi, lengkap dengan simbol-simbolnya, ternyata terlalu banyak menciptakan garis batas yang pada akhirnya memisahkan manusia dengan manusia yang lainnya, di mana sebetulnya kemesraan kemanusiaan dapat terjalin.

Lalu pada karya selanjutnya, ia menulis “Titik Nol”. Kali ini Agustinus mencoba menembus kerasnya Kashmir, Himalaya yang anggun dan misterius, serta gejolak sosial yang mengerikan. Buku ini menjadi semacam titik balik dari petualangannya yang telah ditempuh selama bertahun-tahun. Ia yang sudah menghabiskan waktunya dalam perjalanan sejauh ribuan kilometer, ternyata justru menemukan makna perjalanan dari seseorang yang tak pernah ke mana-mana sepanjang hayatnya. Si musafir bersujud di samping ibunya yang tengah terbaring sakit.

Sekarang, setelah ibu yang sangat dicintainya meninggal, Agustinus terus melanjutkan perjalanannya menyinggahi negeri-negeri jauh di berbagai pelosok dunia. Petualangannya dalam mengakrabi ragam manusia lengkap dengan konflik dan budayanya, akan terus berlanjut sampai batas waktu yang entah.

“Hidup ini adalah sebuah perjalanan. Kita tidak tahu kapan perjalanan hidup kita akan selesai. Begitu pula saya tidak tahu kapan petualangan saya ini akan berakhir. Yang saya tahu, saya masih ingin terus melanjutkan petualangan saya. Masih ada banyak tempat yang ingin saya kunjungi,” tuturnya.

Dan sekali ini, di Frankfurt, Agustinus beserta buku-bukunya akan ikut juga memperkaya perspektif tentang kondisi Indonesia kontemporer. Ia yang dibentuk oleh ke-Indonesia-an, baik secara pribadi maupun budaya, kini berkat perjalanan-perjalanannya, telah menjadi warga dunia. Hal ini merupakan modal penting untuk bahan dialog, tentang bagaimana hasil perjalanannya dilihat secara luas, lalu dijadikan bahan renungan bersama.

Debu-debu kehidupan, debu-debu peperangan dan sisa-sisa kematian, dan debu-debu perjalanan yang disesap Agustinus pun akhirnya akan sampai juga di Frankfurt. [irf]

Postscript : 
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.


No comments: