Tak banyak penyair Indonesia
yang puisi-puisinya hidup lama dan lebur di masyarakat. Ketika film “Ada Apa
dengan Cinta” tayang di tahun 2002, puisi-puisi Chairil Anwar agak populer di
kalangan remaja lewat tokoh Rangga, namun kemudian redup lagi. Nasibnya persis
seperti kata si penyair di penghujung puisi “Tuti Artic”; “Cinta adalah bahaya
yang lekas jadi pudar”. Kata “cinta” tinggal diganti dengan “puisi”, maka
Chairil Anwar, Rangga, dan pendar puisi yang hadir sekejap itu dengan
sendirinya menjadi pudar dan mati.
Setelah itu, perlahan ada lagi
puisi-puisi yang menyeruak ke tengah keseharian masyarakat. “Hujan Bulan Juni”,
“Aku Ingin”, “Akulah Si Telaga”, dan “Yang Fana adalah Waktu”; beberapa puisi
karya Sapardi Djoko Damono itu, dalam sunyi sastra di tengah dunia lain yang
lebih populer, mulai hadir menyapa.
Sejak Reda Gaudiamo dan Ari
Malibu mengeluarkan album musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono di tahun
1989—meskipun peredaran kasetnya terbatas; lirik-lirik lirih, temaram, tenang,
dan lembut, mencoba masuk ke ruang dengar masyarakat, terutama anak muda. Tahun
1991, puisi “Aku Ingin” menjadi soundtrack film “Cinta dalam Seporong Roti”
arahan sutradara Garin Nugroho.
Beberapa lagu di album itu
kemudian diproduksi ulang di tengah tahun 2000-an. Barulah kemudian ledakan
puisi Sapardi mulai terasa. Orang-orang mulai mengutipnya untuk status di media
sosial, merayu pacar, bahkan mencantumkannya di surat undangan pernikahan.
Penyair kelahiran Surakarta ini
mula-mula menerbitkan buku kumpulan puisinya di tahun 1969 yang berjudul
“Duka-Mu Abadi”. Lima tahun kemudian, karyanya terbit dengan judul “Mata
Pisau”. Dari semula, sebelum puisinya kemudian poluler di kalangan pembaca
umum, karya Sapardi telah menuai banyak pujian dari kalangan sastrawan dan
pengamat sastra Indonesia.
Pada sebuah pengantar untuk buku
“Mata Pisau”, Goenawan Mohamad menulis, “Sajak-sajak 1971 umumnya sajak-sajak
yang bila dibaca penyair lain akan menimbulkan seru, ‘Mengapa saya tidak
menulis seperti itu tentang itu!’ Dengan kata lain, merupakan puisi-puisi yang
harus (karena layak) dicemburui. Kata-kata tidak lagi merekat menempel, tetapi
bergerak hidup-bulat; menjadi tanda dan sekaligus mikrokosmos sendiri.”
Sementara menurut A.
Teeaw--professor asal Belanda yang bertungkus-lumus dalam mempelajari budaya
dan sastra Indonesia, Sapardi disebutnya sebagai, “Seorang penyair yang
orisinil dan kreatif, yang eksperimen-eksperimennya—inovasi yang sangat
mengejutkan dalam segala kesederhanaanya—mungkin merupakan petunjuk bagi
perkembangannya di masa datang.”
Pada perjalanannya, meskipun
posisi dia di mata masyarakat adalah sebagai seorang penyair, namun sebetulnya
karya Sapardi tak hanya puisi. Ia juga seorang penerjemah karya sastra para
pengarang luar. “Lelaki Tua dan Laut”, karya Ernest Hemingway yang terkenal
pernah ia terjemahkan di tahun 1973. Ia pula sempat menerjemahkan “Puisi Klasik
Cina” dan “Lirik Klasik Parsi”.
Selain itu, Sapardi punya
beberapa buku kumpulan cerpen, contohnya; “Pengarang Telah Mati” dan “Membunuh
Orang Gila”. Dan karyanya yang paling baru—terbit bulan Juni tahun 2015, adalah
sebuah novel yang berjudul sama dengan buku puisinya, yaitu “Hujan Bulan Juni”.
Karya Sapardi pun pernah diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Yayasan Lontar dengan
judul “Before Dawn”.
Di usianya yang telah 75 tahun,
mantan guru besar di Universitas Indonesia ini masih terus menulis sajak dan
mengisi berbagai acara sastra di beberapa tempat. Fisiknya sudah terlihat
ringkih. Sekarang kerap membawa tongkat jika hendak bepergian. Barangkali
kondisi ini yang dulu pernah ia “ramal” di buku “Ayat-ayat Api”. Dalam sajak
yang berjudul “Pada Suatu Magrib”, ia menulis tentang kerepotan usia tua :
“Susah benar menyeberang di
Jakarta ini / hari hampir magrib / hujan membuat segalanya tak tertib. / Dan
dalam usia yang hampir enam puluh ini, / astagfirulah! / rasanya di mana-mana
ajal mengintip.
Dari seorang lelaki yang tengah
berjalan di usia senja ini, telah lahir puisi-puisi—teks yang dulu terkesan
sulit dipahami dan karenanya menjadi tidak populer—yang lebih karib di beberapa
momen kehidupan masyarakat. Sapardi berhasil menghidupkan beberapa lanskap alam
dengan pendekatan yang kreatif. Ia menulis hujan, bunga, daun jambu, kabut,
burung jalak, telaga, bayang-bayang, dan lain-lain, dengan kesegaran bahasa
yang—meminjam dari Joko Pinurbo—masih hangat dan murni.
Hari ini, kiranya Sapardi Djoko
Damono adalah salah satu penyair yang karya-karyanya paling luas dibaca oleh
masyarakat Indonesia. Hal ini tentu membuat karya-karyanya layak dipamerkan di
Frankfurt Book fair 2015, untuk memberi gambaran kepada publik dunia tentang
bagaimana puisi mencoba hadir di sesela kehidupan sehari-hari.
Dan ihwal penyairnya
yang seolah tak pernah jenuh membuat puisi, menempuh jalan yang sunyi di rimba
kata; kiranya sikap Sapardi itu, adalah apa yang ia tulis di bukunya yang
terbaru, “bahwa kasih sayang beriman pada senyap”. [irf]
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment