Meskipun dunia tarik suara yang lebih dulu mendapat
sorot kamera, namun Dewi Lestari, atau dikenal juga dengan sebutan Dee, dalam
pengantarnya di buku “Filosofi Kopi” menyatakan, bahwa sebetulnya aktivitas
menulis lebih dulu hadir. Ia serupa wombat yang terus menggali, berkarya tanpa
suara. Sampai akhirnya di tahun 2001, novel pertamanya terbit.
Buku pertama Dee yang diberi judul “Supernova;
Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh”, agaknya tidak terlalu berlebihan, sebab tak
lama setelah terbit, buku tersebut sudah kembali naik cetak dan diganjar dengan
cap best seller. Ia benar-benar sebuah “ledakan”.
Karya pertama Dee disebut-sebut sebagai sebuah
terobosan yang segar. Ia menggabungkan romansa dan ilmiah dengan bahasa yang—meminjam
dari Goenawan Mohamad pada pengantarnya di “Filosofi Kopi”; cerkas, atau yang
dikenal dalam bahasa Inggris sebagai “wit”.
Namun demikian, mengutip dari blog pribadinya,
begini alasan Dee dalam menulis kisahnya, “Sederhananya, karena itu (romansa
dan ilmiah) kedua tema yang saya suka. Saya menggabungkannya bukan untuk
memikat pembaca, melainkan untuk memuaskan diri saya sendiri terlebih dahulu,”
ungkapnya.
“Supernova” pada perjalanannya ternyata adalah
serial yang terus-menerus “mengejutkan”, dan oleh karenanya kerap ditunggu para
pembaca. Perlahan pembaca setia karya-karya Dee mulai terbentuk. Tahun 2002
Supernova edisi “Akar” terbit, diwarnai dengan kontroversi cover buku tersebut.
Kemudian tahun 2004 disusul oleh “Petir”, dan setelah itu ada jeda panjang.
Butuh waktu delapan tahun bagi Dee untuk melahirkan “Supernova” yang keempat,
karena baru pada tahun 2012 “Partikel” akhirnya terbit.
Pembaca “Supernova”, dalam jeda panjang itu
sebetulnya tidak benar-benar “kesepian”, sebab Dee menulis tak kurang dari
empat buku kumpulan prosa yang tak kalah menarik dibandingkan novelnya. Bahkan
pada beberapa cerita pendek dan puisi, Dee memperlihatkan ketelitiannya dalam
mengakrabi beberapa jenak kehidupan. Kumpulan prosanya tidak seperti ledakan
besar, namun menghujam titik kesadaran.
Dalam “Filososfi Kopi”, ada “Spasi” yang
mempertanyakan ulang hubungan antar dua manusia yang menyayangi. Jarak, yang
selama ini dianggap sebagai hambatan dalam hubungan antar manusia, ia timbang
dengan kecerkasan yang brilian. Bagaimana sebetulnya hubungan yang baik itu
terjalin? Begini tulisnya :
“Seindah apapun huruf terukir / dapatkan ia bermakna
apabila tak ada jeda? / Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi? / Bukankah
kita baru bisa bergerak jika ada jarak? / Dan saling menyayang jika ada ruang?
/ Kasih sayang akan membawa dua orang semakin berdekatan / tapi ia tak ingin
mencekik / jadi ulurlah tali itu.”
Pada tulisan yang lain, Dee juga merobohkan sebuah
kebiasaan umum. Pada momentum ulang tahun misalnya, orang-orang cenderung
merayakan dengan hingar-bingar kebersamaan. Sebuah seremoni bergulir lalu
selesai, dan nyaris tak meninggalkan apa-apa selain sisa lilin dan kue. Di
jenak seperti itu, Dee menawarkan sebuah perenungan lewat “Lilin Merah” :
“Adakalanya kesendirian menjadi hadiah ulang tahun
yang terbaik / Keheningan menghadirkan pemikiran yang bergerak ke dalam /
menembus rahasia terciptanya waktu…/ Sederet doa tanpa api menghangatkanmu di
setiap kue hari / kalori bagi kekuatan hati yang tak habis dicerna usus / Lilin
tanpa sumbu menyala dalam jiwa / menerangi jalan setapakmu / ketika dunia
terlelap dalam gelap / Berbahagialah / sesungguhnya engkau mampu berulang tahun
setiap hari”
Karya lengkap Dee dalam jeda panjang “Supernova”
terdiri dari : “Filosofi Kopi” tahun 2006, yang diadaptasi menjadi film pada
tahun 2015. Lalu “Rectoverso” tahun 2008, ini adalah dua sisi tak terpisahkan
antara teks dan lagu, sebab selain buku, Dee juga mengeluarkan album musik
dengan judul yang sama. “Rectoverso” juga kemudian diadaptasi menjadi film
omnibus oleh beberapa sutradara. Setahun setelahnya, novel “Perahu Kertas”
lahir. Kisah ini diangkat ke layar lebar di tahun 2012, dan disutradarai oleh
Hanung Bramantyo. Lalu ada“Madre” yang terbit tahun 2011, dan lagi-lagi kisah
ini pun diangkat menajdi film dan rilis di tahun 2013.
Di titik ini, ternyata bagi pasar buku di Indonesia,
karya Dee yang meledak bukan hanya “Supernova”, namun semua bukunya. Ia, yang
seperti pengakuannya, bahwa menulis baginya, mula-mula adalah untuk memuaskan
diri dan bukan untuk memikat pembaca, justru seolah telah berjodoh dengan
pembaca selain dirinya.
Setelah “Partikel” terbit, Dee tak lagi membuat
pembacanya menunggu lama, sebab tahun 2014 ia melahirkan “Gelombang”, yaitu
“Supernova” seri ke lima. Dan hari ini, ia tengah merampungkan “Supernova” yang
terakhirnya, yaitu; “Intelegensi Embun Pagi”.
Di Frankfut Book Fair 2015, karya-karya Dee akan
hadir. Dalam sebuah catatan terkait pameran buku tersebut, Dee menyatakan bahwa
posisi Indonesia sebagai Guest of Honor, dan program penerjemahan yang
dilakukan, adalah kesempatan baik untuk lebih memperkenalkan karya para penulis
Indonesia di publik dunia, yang selamanya ini kondisinya—dalam bahasa Dee;
gelap gulita dan terkucil di luar sana.
Terkait ketersediaan buku para pengarang Indonesia
di pasar yang lebih luas, Dee menceritakan sebuah pengalamannya. “Setelah
bicara berbusa-busa dengan penuh percaya diri di panggung bersama para penulis
mancanegara, pertanyaan sederhana seorang penonton, ‘Where can I get your
book?’ menjadi pukulan telak yang cuma bisa saya tangkis dengan senyum semanis
mungkin sambil berkata, ‘Unfortunately, it’s not yet available in English.’
Skakmat!”
Pada Oktober nanti, Dee diberi mandat untuk menjadi
penerima simbolis gulir Tamu Kehormatan bagi Indonesia, yang sebelumnya
dipegang oleh Finlandia. Selain itu, ia pun bersama Slamet Rahardjo, akan
menjadi pembicara dalam sebuah diskusi tentang perfilman Indonesia. Acara
tersebut akan dimulai dengan pemutaran film “Rectoverso” yang diadaptasi dari
buku Dee.
Apakah
dengan menjadi Tamu Kehormatan di Frankfurt Book fair 2015 karya para pengarang
Indonesia akan “meledak” di luar sana? Barangkali Dee berharap demikian. [irf]
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment