Kira-kira
bulan April atau Mei 2015, saya berkunjung ke perpustakaan Pusat Studi Sunda di
Jalan Garut No. 2 Bandung. Perpustakaan itu baru pindah dari daerah Buah Batu,
kalau tidak salah di Jalan Karawitan. Di dalam, buku-buku belum tertata, dan
hanya ada seorang petugas yang kemudian menginformasikan bahwa perpustakaan
tersebut akan diresmikan sekitar bulan Juni 2015. Saya menunggunya dengan
sabar. “Teu nanaonlah, sakeudeung deui gė da rėk diresmikeun,” begitu kata saya dalam hati.
Juni kemudian
lewat, begitu pun Juli, dan perpustakaan itu belum kunjung diresmikan. Peresmian
bagi saya penting, sebab saya berpikir bahwa itulah batu tapal untuk bisa
mengakses buku-buku dan dokumen lainnya secara terbuka, termasuk meminjamnya
untuk dibawa pulang ke rumah.
Di tengah
Agustus, tepatnya hari Sabtu, tanggal 15 Agustus 2015; acara yang
ditunggu-tunggu akhirnya datang. Dengan dihadiri Ajip Rosidi, Taufik Ismail,
Usep Romli (penulis favoritnya Mang Alex), Deddy Mizwar aka Naga Bonar selaku Wakil
Gubernur Jawa Barat, serta beberapa tokoh seni dan budaya Sunda lainnya,
perpustakaan itu akhirnya diresmikan dan dan diberi nama “Perpustakaan Ajip
Rosidi”.
Hari ini, tanggal 30 September 2015, saya berkunjung ke perpustakaan tersebut untuk
mencari beberapa buku tentang sejarah dan kebudayaan Sunda, khususnya wilayah
Ciamis dan Pangandaran. Saat masuk ke ruangan perpustakaan, saya langsung
mendaftarkan diri untuk menjadi anggota. Prosesnya sebentar, hanya mengisi
formulir singkat, difoto, dan membayar uang sebesar 100 ribu rupiah. Biaya untuk
menjadi anggota dibedakan menjadi dua. Untuk pelajar dan mahasiswa cukup hanya
membayar 50 ribu rupiah, sedangkan untuk dosen, peneliti, dan umum harus
membayar dua kali lipatnya.
Ketika proses
pendaftaran selesai, dan pembuatan kartu anggota sedang dikerjakan, saya bertanya
kepada petugas, apakah saya bisa langsung meminjam buku untuk dibawa pulang
atau tidak. Dan jawabannya sangat mengagetkan, bahwa semua buku dan dokumen di
perpustakan tersebut tidak bisa dipinjam untuk dibawa keluar!
Bagaimana mungkin
sebuah perpustakaan yang mempunyai anggota, dan data anggota tersebut sudah
lengkap dimiliki, tapi tidak mengijinkan anggotanya untuk meminjam dan membawa
pulang buku. Jadi buat apa segala identitas anggota itu? “Pemilik buku ini,
yaitu Pak Ajip, tidak memperbolehkan buku-bukunya untuk dipinjam keluar, kata beliau
takut hilang,” begitu terang si petugas. Saya hanya bisa tersenyum pahit.
“Jadi di
sini hanya boleh difotocopy, itu pun proses fotocopy-nya harus sama
petugas,” begitu lanjutnya. Kemudian saya bertanya, “Kalau misalnya ada
pengunjung, dan dia tidak terdaftar sebagai anggota, apakah bisa memfotocopy
juga?” Petugas langsung langsung menjawab, “bisa.” What? Naon maksudna ieu? Atuh euweuh bėdana antara anggota
jeung nu lain anggota! Nyaho kieu mah kuring teu kudu jadi anggota!
Saya mencoba
meyakinkan diri sendiri dengan bertanya lagi, “Yang bukan anggota bisa memfotocopy
juga?!” Barulah kemudian petugas itu menyadari, dan memberikan jawaban yang
bernada ralat, “Oh, kalau yang bukan anggota mah tidak bisa memfotocopy.” Har,
ari tadi ngajawabna “bisa”. Inilah kepiluan yang pertama; buku yang tak
bisa dipinjam ke rumah, dan petugas yang nampaknya tidak menguasai peraturan
perpustakaan yang mereka buat—kalau ada ini juga.
Dengan kecewa
saya akhirnya mencoba berdamai, “Geuslah
teu nanaon teu bisa dibawa balik gė, nu penting bukuna
aya.” Lalu
mendekati rak yang berjajar untuk mencari buku yang dibutuhkan. Dan lagi-lagi timbul
keprihatinan, ternyata buku-buku itu belum dikelompokan dan diklasifikasi. Semuanya
masih bercampur. Dalam satu rak berjejal buku-buku sejarah, sastra, budaya, dan
filsafat sekaligus!
Fiksi dan
non fiksi campur aduk dalam satu rak. Selain itu, buku-buku itupun masih banyak
yang belum tersusun rapi, beberapa malah tergeletak begitu saja. “Gusti, asa asup ka leuweung ari kieu carana
mah, kuring kudu nėangan hiji-hiji sabari
teu jelas kelompokna di mana.” Saya menggelengkan kepala. Begitu memilukannya perpustakaan
ini. Tapi saya belum menyerah, saya dekati petugas dan menanyakan barangkali
ada mesin pencari untuk memastikan bahwa buku yang saya cari ada, jadi kalau
pun harus tersesat di rimba rak, tapi kalau bukunya ada, pencarian saya tak
akan sia-sia.
“Oh ada, itu
cari aja di komputer,” begitu jawabnya. Kemudian saya pun memasukan judul-judul
buku yang dibutuhkan, dan semuanya tak ada. Entah memang tidak ada, atau
mungkin belum dientry oleh petugasnya. Akhirnya saya angkat tangan. Harapan besar
pada perpustakaan yang namanya diambil dari seorang yang sebagian besar
hidupnya diabdikan kepada kebudayaan Sunda itu, akhirnya perlahan pupus.
Sebagai orang
Sunda, dan berminat kepada kebudayaan Sunda--menghadapi perpustakaan yang
koleksi bukunya sebagian besar milik budayawan Sunda itu, bagi saya sangat
mengecewakan. Betapa buruknya pengelolaan, sedangkan statusnya sudah
diresmikan. Saya sebetulnya amat bertoleransi sekiranya perpustakaaan itu belum
diresmikan. Kalau belum siap, bo ya jangan
dulu diresmikanlah, jangan php-in
oranglah ya.
Sebelum pulang,
akhirnya saya menulis beberapa buku di secarik kertas, dan diserahkan ke
petugas. “Dua hari lagi, insyaAlloh saya kembali, dan usahakan bukunya sudah
ada, sekalian kalau bisa mah boleh
dipinjam ke rumah.” Kemudian saya turun ke tempat parkir, sementara kartu
anggota belum juga selesai. Dan kepiluan semakin berparade. [ ]
Postscript :
Ini adalah
catatan otokritik. Sebagai orang yang berkhidmat di ruang baca kecil yang
bernama Pustaka Preanger—meski tak diresmikan oleh Wakil Gubernur dan tak
pernah dikunjungi oleh para seniman kondang, saya juga belum berhasil mengelolanya
dengan baik.
No comments:
Post a Comment