Alina
sayang, apa kabar?
Ini entah
surat yang keberapa. Aku tak menghitungnya. Keberadaanmu yang entah di mana,
membuat semua risalah tak menemukan alamatnya. Namun aku tak pernah bosan
menulisnya untukmu, Alina. Dan sekali ini, aku ingin berbagi cerita tentang
perjalananku ke Semarang dan Ambarawa menggunakan moda transportasi kesayangan
kita. Ya, bukankah pada waktu-waktu yang telah lewat kita kerap melakukan
perjalanan dengan kereta api? “Dari balik jendela kereta, pemandangannya bagus,”
katamu waktu itu.
Tanggal 16
September 2015, aku bersama beberapa kawan dari Komunitas Aleut, ikut bergabung
bersama komunitas lain untuk melakukan perjalanan malam menggunakan Kereta Api
Wisata Priority. Sore menjelang malam, Bandung diselimuti lembayung tipis. Sembari
menunggu kereta berangkat, kami berkumpul di ruang tunggu VIP, sisi Timur
Statiun Bandung. Ketika waktunya tiba, di muka gerbong kami disambut oleh para
petugas kereta wisata dengan ramah.
Alina, sewaktu
aku melihat fasilitas yang ada di kereta wisata priority, seketika wajahmu
memenuhi benak. Aku membayangkan, alangkah nyamannya jika kita—aku dan kamu,
membelah Pulau Jawa dengan menggunakan kereta ini. Di dalamnya ada mini bar,
bagasi yang luas, toilet bersih, dan kita bisa karaoke! Ya, kamu yang suka
bernyanyi-nyanyi kecil, bisa memanjakan hobimu di dalam kereta ini. Selain itu,
setiap kursi dilengkapi juga dengan audio/video on demand (AVOD) seperti layaknya di pesawat
terbang. Bukankah kita bisa menikmati lagu dan film berdua saja, Alina?
Kereta kemudian
melaju, dari balik jendela kelip lampu Kota Bandung berkejaran. Perjalanan
wisata yang dilakukan dalam rangka ulang tahun PT. KAI yang ke-70 ini diorganisasi
oleh kawan-kawan dari Altour Travel Indonesia; keduanya memberikan pelayanan
yang prima. Dalam sejuknya ruangan gerbong, aku mendengarkan lagu-lagu dari Bon
Jovi.
Tak lama
berselang, kawan-kawan mulai menikmati hidangan yang tersedia di mini bar. Sebagian
lagi ada yang mulai olah vocal di tempat karaoke. Suasana begitu cair, kegembiraan
meliputi semua yang hadir. Trinity, penulis buku “The Naked Traveler” yang
karya-karyanya kerap kamu baca, juga ikut hadir dalam perjalanan itu. Ya, tentu
saja kamu akan iri, Alina. Betapa penulis favoritmu itu kini hadir nyata, dan
aku beberapakali berbincang dengannya.
Jelang tengah
malam, ketika perut sudah kenyang, lelah bernyanyi, dan udara begitu sejuk;
kawan-kawan mulai bertumbangan. Mereka lelap tertidur dengan bantal dan selimut
yang nyaman. Sementara mataku masih belum terpejam. Bukannya tidak ngantuk,
tapi kenangan dan ingatan tentangmu masih saja berparade di lereng ingatan. Kerete
berjalan mulus, guncangan hampir tak terasa, dan kelip lampu sesekali terlihat
dari balik jendela.
Akhirnya aku
pun jatuh tertidur. Ketika bangun di luar masih gelap. Tiba-tiba aku ingat
sepotong puisi Chairil Anwar yang pernah kamu bacakan; “Semarang makin dekat
saja / Menangkup senja / Menguak purnama.”
Subuh akhirnya
datang, dan kereta pun telah tiba di Stasiun Tawang, Semarang. Setelah istirahat
beberapa saat, perjalanan kemudian dilanjutkan ke arah Ambarawa. Sebelum masuk
ke kota palagan itu, sejenak menikmati dulu kopi sambil sarapan. Menjelang siang,
akhirnya kami tiba di Ambarawa.
Di sana
kereta api uap sudah menunggu. Di stasiun yang dulu bernama Stasiun Willem I,
beberapa lokomotif tua tersimpan rapi. Ya, ini memang museum kereta api yang
mengabadikan perjalanan panjang kiprah kereta api di Indonesia. Jejak-jejak
yang tersisa menguarkan kesadaran sejarah. Peristiwa yang telah berlalu
terpahat rapi dalam benda-benda mati.
Ketika kereta
api uap yang kami tumpangi berjalan, pemandangan dari balik jendela terhampar
indah. Orang-orang menyapa dan melambaikan tangan, para petani yang dirahmati
tanah subur, dan gunung yang membiru di kejauhan. Kawan-kawan sibuk membidikan
kamera, kereta mendesah, dan angin menelusup lewat jendela. Seorang purnatugas
dari PT. KAI menerangkan sejarah perjalanan kereta api uap yang tengah kami
tumpangi. Bapak yang telah berusia senja itu masih bersemangat berbagi
pengetahuan dan pengalaman.
Kereta kemudian
tiba di Statiun Tuntang; statiun kecil yang rapi. Tak lama kemudian kembali ke
Ambarawa. Dari sana perjalanan dilanjutkan ke Lawang Sewu di Kota Semarang. Bangunan
peninggalan zaman kolonialisme ini masih kokoh dan terawat. Kata “sewu” yang
artinya seribu, dalam budaya Jawa konon untuk melukiskan sesuatu yang begitu
banyak. Ya, pintu yang ada di bangunan itu memang sangat banyak, Alina.
Waktu matahari
telah lama tergelincir, dan siang telah dijemput senja, kami kemudian beranjak
dari Lawang Sewu dan menuju ke Klenteng Sam Poo Kong. Patung Laksamana Cheng Ho
berdiri gagah di salah satu sudut lapangan luas komplek klenteng. Bau dupa
sesekali hadir, dan nuansa merah menguasai. Kawan-kawan sibuk berpose dengan
latar klenteng, sementara hari hampir gelap.
Di penghujung
kegiatan, kami berkumpul di Kampung Laut untuk makan malam sembari menikmati
lagu-lagu dengan iringan musik keroncong. Ketika door prize mulai dibagikan, aroma perpisahan tercium kuat. Ya,
perpisahan Alina, sebagaimana kamu tahu, kerap tak menyisakan apa-apa selain
kehilangan. Berpuluh-puluh surat telah aku buat, namun semuanya tak menemukan
alamat, dirimu raib ditelan entah. Tak ada kabar sama sekali. Kali ini,
perjalanan bersama PT. KAI dan Altour Travel Indonesia pun akan segera berakhir.
Namun demikian, Alina, Traveling by Train bersama kereta wisata priority benar-benar
memuaskan. Pengalaman bepergian dengan layanan prima, serta mengunjungi
objek-objek menarik, sekali ini, menambah pembendaharaan perjalananku. Sekira jam
sembilan malam, kereta yang akan membawaku pulang ke Bandung telah bersiap. Ketika
rindu padamu belum juga surut, tiba-tiba pluit dan lokomotif telah melengking. Dan
kereta perlahan meninggalkan Semarang. [ ]
No comments:
Post a Comment