25 September 2015

Surat Kereta untuk Alina


Alina sayang, apa kabar?

Ini entah surat yang keberapa. Aku tak menghitungnya. Keberadaanmu yang entah di mana, membuat semua risalah tak menemukan alamatnya. Namun aku tak pernah bosan menulisnya untukmu, Alina. Dan sekali ini, aku ingin berbagi cerita tentang perjalananku ke Semarang dan Ambarawa menggunakan moda transportasi kesayangan kita. Ya, bukankah pada waktu-waktu yang telah lewat kita kerap melakukan perjalanan dengan kereta api? “Dari balik jendela kereta, pemandangannya bagus,” katamu waktu itu.

Tanggal 16 September 2015, aku bersama beberapa kawan dari Komunitas Aleut, ikut bergabung bersama komunitas lain untuk melakukan perjalanan malam menggunakan Kereta Api Wisata Priority. Sore menjelang malam, Bandung diselimuti lembayung tipis. Sembari menunggu kereta berangkat, kami berkumpul di ruang tunggu VIP, sisi Timur Statiun Bandung. Ketika waktunya tiba, di muka gerbong kami disambut oleh para petugas kereta wisata dengan ramah.

Alina, sewaktu aku melihat fasilitas yang ada di kereta wisata priority, seketika wajahmu memenuhi benak. Aku membayangkan, alangkah nyamannya jika kita—aku dan kamu, membelah Pulau Jawa dengan menggunakan kereta ini. Di dalamnya ada mini bar, bagasi yang luas, toilet bersih, dan kita bisa karaoke! Ya, kamu yang suka bernyanyi-nyanyi kecil, bisa memanjakan hobimu di dalam kereta ini. Selain itu, setiap kursi dilengkapi juga dengan audio/video on demand (AVOD) seperti layaknya di pesawat terbang. Bukankah kita bisa menikmati lagu dan film berdua saja, Alina?

Kereta kemudian melaju, dari balik jendela kelip lampu Kota Bandung berkejaran. Perjalanan wisata yang dilakukan dalam rangka ulang tahun PT. KAI yang ke-70 ini diorganisasi oleh kawan-kawan dari Altour Travel Indonesia; keduanya memberikan pelayanan yang prima. Dalam sejuknya ruangan gerbong, aku mendengarkan lagu-lagu dari Bon Jovi.

Tak lama berselang, kawan-kawan mulai menikmati hidangan yang tersedia di mini bar. Sebagian lagi ada yang mulai olah vocal di tempat karaoke. Suasana begitu cair, kegembiraan meliputi semua yang hadir. Trinity, penulis buku “The Naked Traveler” yang karya-karyanya kerap kamu baca, juga ikut hadir dalam perjalanan itu. Ya, tentu saja kamu akan iri, Alina. Betapa penulis favoritmu itu kini hadir nyata, dan aku beberapakali berbincang dengannya.

Jelang tengah malam, ketika perut sudah kenyang, lelah bernyanyi, dan udara begitu sejuk; kawan-kawan mulai bertumbangan. Mereka lelap tertidur dengan bantal dan selimut yang nyaman. Sementara mataku masih belum terpejam. Bukannya tidak ngantuk, tapi kenangan dan ingatan tentangmu masih saja berparade di lereng ingatan. Kerete berjalan mulus, guncangan hampir tak terasa, dan kelip lampu sesekali terlihat dari balik jendela.

Akhirnya aku pun jatuh tertidur. Ketika bangun di luar masih gelap. Tiba-tiba aku ingat sepotong puisi Chairil Anwar yang pernah kamu bacakan; “Semarang makin dekat saja / Menangkup senja / Menguak purnama.”

Subuh akhirnya datang, dan kereta pun telah tiba di Stasiun Tawang, Semarang. Setelah istirahat beberapa saat, perjalanan kemudian dilanjutkan ke arah Ambarawa. Sebelum masuk ke kota palagan itu, sejenak menikmati dulu kopi sambil sarapan. Menjelang siang, akhirnya kami tiba di Ambarawa.

Di sana kereta api uap sudah menunggu. Di stasiun yang dulu bernama Stasiun Willem I, beberapa lokomotif tua tersimpan rapi. Ya, ini memang museum kereta api yang mengabadikan perjalanan panjang kiprah kereta api di Indonesia. Jejak-jejak yang tersisa menguarkan kesadaran sejarah. Peristiwa yang telah berlalu terpahat rapi dalam benda-benda mati.

Ketika kereta api uap yang kami tumpangi berjalan, pemandangan dari balik jendela terhampar indah. Orang-orang menyapa dan melambaikan tangan, para petani yang dirahmati tanah subur, dan gunung yang membiru di kejauhan. Kawan-kawan sibuk membidikan kamera, kereta mendesah, dan angin menelusup lewat jendela. Seorang purnatugas dari PT. KAI menerangkan sejarah perjalanan kereta api uap yang tengah kami tumpangi. Bapak yang telah berusia senja itu masih bersemangat berbagi pengetahuan dan pengalaman.

Kereta kemudian tiba di Statiun Tuntang; statiun kecil yang rapi. Tak lama kemudian kembali ke Ambarawa. Dari sana perjalanan dilanjutkan ke Lawang Sewu di Kota Semarang. Bangunan peninggalan zaman kolonialisme ini masih kokoh dan terawat. Kata “sewu” yang artinya seribu, dalam budaya Jawa konon untuk melukiskan sesuatu yang begitu banyak. Ya, pintu yang ada di bangunan itu memang sangat banyak, Alina.

Waktu matahari telah lama tergelincir, dan siang telah dijemput senja, kami kemudian beranjak dari Lawang Sewu dan menuju ke Klenteng Sam Poo Kong. Patung Laksamana Cheng Ho berdiri gagah di salah satu sudut lapangan luas komplek klenteng. Bau dupa sesekali hadir, dan nuansa merah menguasai. Kawan-kawan sibuk berpose dengan latar klenteng, sementara hari hampir gelap.

Di penghujung kegiatan, kami berkumpul di Kampung Laut untuk makan malam sembari menikmati lagu-lagu dengan iringan musik keroncong. Ketika door prize mulai dibagikan, aroma perpisahan tercium kuat. Ya, perpisahan Alina, sebagaimana kamu tahu, kerap tak menyisakan apa-apa selain kehilangan. Berpuluh-puluh surat telah aku buat, namun semuanya tak menemukan alamat, dirimu raib ditelan entah. Tak ada kabar sama sekali. Kali ini, perjalanan bersama PT. KAI dan Altour Travel Indonesia pun akan segera berakhir.  
     
Namun demikian, Alina, Traveling by Train bersama kereta wisata priority benar-benar memuaskan. Pengalaman bepergian dengan layanan prima, serta mengunjungi objek-objek menarik, sekali ini, menambah pembendaharaan perjalananku. Sekira jam sembilan malam, kereta yang akan membawaku pulang ke Bandung telah bersiap. Ketika rindu padamu belum juga surut, tiba-tiba pluit dan lokomotif telah melengking. Dan kereta perlahan meninggalkan Semarang. [ ]

















No comments: