Sejak tahun 1999, di Jatinangor
telah “menyala” sebuah kantong literasi yang bernama Batu Api. Perpustakaan
yang didirikan oleh Anton Solihin ini tidak hanya menyediakan buku, namun juga
media film dan musik. Meskipun hadir di pinggiran Bandung, namun karena
konsisten dan tegar sampai hari ini, “semerbak” Batu Api sampai dan terus
mewangi ke se-antero Bandung Raya.
Sejak dibuka sampai hari ini, di
Batu Api telah tercatat sekira 5 ribu anggota, dan yang aktif masih berjumlah
ratusan. Dengan biaya pendaftaran yang hanya Rp 15,000.-dan satu buku yang
dipinjam berbiaya Rp 3,000.-, bagi pengunjung, harga tersebut relatif murah.
Dalam seminggu, rata-rata ada 30 pengunjung yang meminjam buku-buku koleksi
Batu Api. Dan setiap pengunjung itu rata-rata meminjam dua buku, jadi dalam
seminggu kurang lebih ada 60 buku yang singgah di ruang baca para anggotanya.
Buku-buku yang tersedia di Batu
Api terdiri dari sejarah, humaniora, komunikasi, sastra, dan banyak referensi
lainnya. Jam bukanya dari hari Senin sampai Sabtu, dan buka dari jam 10 pagi
sampai jam 6 sore.
Karena bukan hanya buku yang
tersedia di sana, maka perpustakaan yang dikelola oleh Anton Solihin ini,
mengadakan juga pemutaran film. Hal ini dilakukan sejak tahun 2001; sekitar
lima film dalam sepekan, dengan beragam tema dan berganti-gantian.
Pada tahun 2011, ketika pemimpin
Republik Demokratik Rakyat Korea, Jenderal Besar Kim Jong Il meninggal,
perpustakaan yang terletak di Jl. Raya Jatinangor No. 142A, yang kemudian oleh
pengelola dan para pengunjungnya disebut sebagai Jl. Pramoedya Ananta Toer,
sempat mengadakan pemutaran film-film Korea Utara sebagai bentuk simpati dan
duka cita.
Seperti yang pernah diliput oleh
sebuah laman daring--gresnews.com, film-film tribute itu
di antaranya; “Pulgasari” (1985, film monster favorit Kim Jong Il), “President
Kim Il Sung Met Foreign Heads of State and Prominent Figures” (1970),
“Pyongyang Concert” (2008, yang menceritakan bagaimana New York Phil. Orchestra
memainkan fol song tradisional arirang di depan 1500 elite ibukota Korea
Utara), dan sebuah film documenter berjudul “Inside North Korea” (2006).
“Film-film ini dapat ditonton
gratis dan juga pemutaran musik tradisional Korea,” tutur Anton.
Koleksi film di batu Api
sendiri, selain yang diputar pada acara tribute tersebut, ada juga film-film
Iran, Perancis seperti “Bande A Part” karya Jean Luc Godard, “Jules and Jim”
karya Francois Truffaut, atau film dari Robert Bresson, Jacques Tati, Jem
Renoir, dll. Sementara film-film Indonesia yang tersedia di antaranya “Bandung
Lautan Api” (Alam Surawidjaja), “Kabut Sutra Ungu” (Sjuman Djaja), hingga
“Secangkir Kopi Pahit” dari sineas terkemuka Teguh Karya. Iran, dll. Di
beberapa sudut ruangannya tertempel poster-poster promosi festival film asing.
Waktu novel best seller karangan
Habiburrahman El Shirazy yang berjudul “Ketika Cinta Bertasbih” (2007),
diadaptasi ke dalam film di tahun 2011, dan respon pasar sangat bagus terhadap
film tersebut, Batu Api mengadakan pemutaran film dunia Islam yang diproduksi
negeri-negeri Islam di berbagai pelosok dunia. Di antaranya seperti film “Xala”
besutan Ousmane Sembene dari Senegal, “Father was Away on Bussines” film Yugoslavia
berlatar Bosnia, film Mesir buatan tahun 1958, dan film “And Life Goes On” dari
Iran, besutan tahun 1992.
“Selain memutar film Islami dari
negeri sendiri seperti ‘Ketika Cinta Bertasbih’, kami juga ingin tunjukkan
bahwa ada juga film islami lain dari luar negeri yang juga bagus namun sulit
diakses," jelas Anton.
Setiap selesai pemutaran film,
para penonton yang hadir kerap tergerak untuk mendiskusikan apa yang baru saja
mereka tonton. Seperti yang diungkapkan Anton Solihin kepada annida-online.com, ia menerangkan,
“Diskusi akan terjadi alami saja, habis nonton pasti gatal pengen ngomong,
mengapresiasi dan menangkap apa yang diibrahkan."
Untuk musik, koleksi yang
tersedia, selain nomor-nomor populer, juga tersedia musik etnik yang “aneh”
dari berbagai suku tertentu yang relatif sulit ditemukan di tempat lain.
Meski terletak di daerah kampus,
yang artinya banyak diakses oleh para mahasiswa, namun Batu Api pun kerap
dikunjungi oleh ibu-ibu rumah tangga dan para buruh. Karena mulanya “dunia
baca” di Jatinangor dan sekitarnya hanya didominasi oleh warung rental komik,
maka kehadiran Batu Api benar-benar menjadi sebuah alternatif yang menarik.
Enambelas tahun perjalanan Batu
Api dalam berkhidmat pada dunia buku, film, dan musik—yang Anton Solihin
berjaga di garis depannya, tentu adalah sebuah aset berharga bagi perkembangan
dunia literasi di tanah air. Apresiasi patut diberikan bagi seorang “die hard” seperti
ini. Kehadiran Anton di gelaran Frankfurt Book Fair 2015, tentu bukan untuk
berbangga dengan apa yang telah ia kerjakan, namun sebuah kesempatan untuk
berbagi pengalaman dengan para pegiat literasi dari berbagai penjuru dunia.
Batu Api, sebagai sebuah
perpustakaan “keras kepala yang terus menyala”, barangkali bisa menginspirasi
banyak orang. Pendar semangat dari sebuah pojok kota legendaris itu (Bandung),
akhirnya akan sampai juga di Frankfurt. [irf]
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment