Beberapa dekade ke belakang, di
Indonesia sempat hadir genre penulisan kisah-kisah horor yang dimotori oleh
beberapa penulis. Gaya penulisan yang dipadu dengan latar budaya, dendam
kesumat, dan bahkan sex, berhasil meraih pembaca yang cukup signifikan.
Salah satu penulis yang menonjol
dari genre ini adalah Abdullah Harahap. Sebagai penulis yang sangat produktif,
ia memang tak pernah masuk ke dalam kanon sastra Indonesia, malah
tulisan-tulisannya dianggap picisan dan termasuk ke dalam sastra kelas ke
sekian. Ya, ia hanya populer di mata para pembacanya, diserap pasar, namun tak
pernah ada yang merasa tertarik untuk menggeledah karyanya dengan mata pisau
kritik sastra.
Jauh setelah genre ini redup dan
mulai dilupakan, tiga orang penulis muda melakukan semacam penghormatan
(tribute) terhadap kiprah Abdullah Harahap. Mereka adalah Eka Kurniawan, Ugoran
Prasad, dan Intan Paramaditha. Kerja kolaborasi mereka kemudian melahirkan
sebuah buku berjudul “Kumpulan Budak Setan” yang terbit di tahun 2010.
Salah satu cerita Intan dalam
buku itu, yaitu “Goyang Penasaran”, kemudian ditulis menjadi naskah teater, dan
dipentaskan sebagai proyek kolaborasi kolektif seniman Teater Garasi.
Dalam sebuah wawancara dengan
Koran Tempo, Intan menerangkan ihwal kerja kolaborasinya, “Saya dan teman-teman
mengeksplorasi cerita horor melalui karya Abdullah Harahap, termasuk motif
cerita, seperti pembunuhan, balas dendam, bahkan motif stereotipe seperti jimat
dan susuk. Eksplorasi ini untuk menjawab pertanyaan apa sebenarnya horor itu.
Karya kami tentu tak hanya meminjam motifnya saja, tapi juga mengeksplorasi
lebih luas terhadap horor ini.”
Lima tahun sebelum buku tersebut
lahir, Intan Paramaditha terlebih dulu menulis buku kumpulan cerpen “Sihir
Perempuan” yang berisi kisah-kisah serupa. Intan dengan lugas berhasil
menghadirkan kembali cerita horror dengan menonjolkan perempuan sebagai tokoh
utamanya.
Pada “Mak Ipah dan Bunga-bunga”
misalnya, ia menceritakan tentang seorang tua yang secara fisik telah ringkih
namun memiliki kekejaman yang luar biasa. Tokoh Mak Ipah ini memperlakukan
korban-korbannya dengan cara dicincang lalu dikubur di antara rerimbun
bunga-bunga. Di sesela wangi bunga, menguar bau busuk mayat yang tajam!
Tapi apa sebenarnya horor, takut
dan kengerian itu? setidaknya bagaimana batas-batasnya?
“Sebetulnya batasan horor itu
berbeda-beda. Sebagai contoh, pemberontakan G30S/PKI dengan penggambaran
pembunuhan yang keji terhadap para jendral pada waktu itu, menurut saya sudah
horor. Sehingga yang menakutkan tak lagi objek hantu atau manusia jadi-jadian,
tetapi motif juga berpengaruh,” tutur Intan.
Berjejak dari sini, barangkali
kemudian Intan menulis “Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari”. Cerita yang memelintir
kisah klasik “Cinderella Sepatu Kaca” ini ia hadirkan dengan citarasa kengerian
yang lumayan menyengat ; “Ibuku menyodori pisau, ‘Potong jari kakimu. Kelak
jika kau jadi ratu, kau tak akan terlalu banyak berjalan. Jadi kau tak
membutuhkannya.’ Maka kuambil pisau itu dan kugigit bibirku saat aku berusaha
memutuskan ibu jari kakiku. Kubuang bagian kecil tubuhku itu ke tempat sampah
untuk menjadi santapan anjing.”
Beberapa pembaca menganggap
cerita-cerita Intan, yang walaupun horor, namun menyembulkan aroma tafsir
feminis yang kuat. Pada “Sejak Porselen Berpipi Merah itu Pecah”, Yin Yin si
tokoh utama, seperti hendak menegaskan bahwa perempuan tidak hanya buat
dipajang, mereka ingin berbuat sesuatu. Pun begitu dengan “Darah”, bagaimana ia
bercerita tentang menstruasi sebagai pengalaman traumatik namun justru menjadi
stigma terhadap tubuh perempuan. Intan menyisir sisi psikologis perempuan yang
dipengaruhi oleh kondisi biologisnya.
Kisah horor, di Indonesia, baik
dalam medium audio visual (film), audio (radio) ataupun bacaan; walaupun
lumayan poluler, tapi tidak pernah benar-benar bersemayam di tempat yang
“terhormat”. Ia hanya tumbuh (seolah) sebagai hiburan khalayak minor, dan
jarang jadi bahan diskusi yang serius.
Kehadiran karya-karya Intan
Pramaditha dan “khafilahnya”, layak untuk disimak dan diapresiasi sebagai
sebuah ikhtiar menuju pengayaan wacana, bahwa genre horor, seperti juga genre
yang lain, patut berdiri sejajar dalam taman luas sastra Indonesia.
Semangat mencitrakan ulang
keragaman Indonesia di ajang Frankfurt Book Fair 2015, khususnya sastra,
selayaknya menghadirkan karya-karya Intan dengan berbagai bentuk
penceritaannya.
Dulu Mochtar Lubis pernah
menjelentrehkan tentang ciri-ciri manusia Indonesia yang menurutnya
memprihatinkan, salah satunya yaitu; percaya takhayul. Kini, dalam hamparan
kekayaan bahasa, ekspresi bertutur, dan semangat penggalian budaya, masihkan
hal tersebut dipandang sebagi sebuah fakta negatif?
Di Frankfurt, di tengah
bauran interaksi para pegiat dunia kreatif dan literasi, wacana ini mesti
ditakar ulang. [irf]
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment