23 September 2015

Imajinasi yang Tidak Aman Ala Maggie Tiojakin

Percobaan-percobaan baru dalam berkisah, baik dalam gaya maupun penggalian sumber cerita, dalam cerita pendek Indonesia semakin kaya. Maggie Tiojakin, seorang jurnalis sekaligus penulis yang telah melahirkan empat buku, terdiri dari cerita pendek dan novel, adalah pencerita yang ikut meramaikan keragaman cerita pendek Indonesia.
Manggie menghamparkan cerita-ceritanya dengan menarik. Karya Maggie, terutama yang yang terbit di tahun 2013, yaitu “Selama Kita Tersesat di Luar Angkasa”, menurut para pembacanya adalah kumpulan cerita yang absurd, tak masuk akal, konyol. Di atas semuanya, imajinasi yang dibangun Maggie memang begitu menggoda.
Dalam cerita “Tak Ada Badai di Taman Eden”, dikisahkan tentang pasangan suami istri yang mengalami kejadian dahsyat. Pasca mengalami kecelakaan mobil, mereka relatif mengalami hal-hal aneh. Anouk, si istri, ketika melihat badai, tiba-tiba dengan cara yang berbeda; langit meledak-ledak dan jatuh berkeping-keping, mengisap apa saja yang ada di sekitarnya. Sementara Barney, sang suami, yang awalnya tak percaya pun ikut menyaksikan sendiri pada akhirnya.
“Anouk meyakini bahwa setahun sekali langit pecah berkeping-keping dan meninggalkan alam yang tidak pasti. Sementara Barney menghabiskan tiga ratus enam puluh empat hari dalam setahun memungut kepingan tersebut dan menyusunnya kembali, menciptakan sebuah ilusi.”
Pada narasi seperti itu, pembaca barangkali bertanya-tanya, “apa yang hendak disampaikan si penulis?” Namun dalam imajinasi yang tak terbatas, apakah pertanyaan seperti itu masih relevan? Dalam sebuah wawancara dnegan indonovel.com, Maggie mengutarakan ihwal pilihan gaya menulisnya.
“Kalau menurut saya, Indonesia punya ‘gaya’ penulisan cerpen yang berbeda dari negara-negara lain. Sayangnya ‘gaya’ ini juga yang sedikit-banyak agak menghambat kemajuan dunia cerpen Indonesia ke tahap internasional. Kekurangan fiksi pendek Indonesia terletak di fokusnya terhadap plot, terhadap pembahasaan yang condong semakin ‘manis’ semakin bagus, dan terhadap penghindaran konflik,” ujarnya.
Sementara dalam kisah “Selama Kita Tersesat di Luar Angkasa”, Maggie menceritakan tentang para astronaut yang tersesat ke sebuah planet yang semakin menyusut. Dalam ketersesatan, mereka sempat membicarakan banyak hal. Ketika berbicara Venus, planet itu disebutnya sebagai, “tempat hujan tak pernah sedetik pun berhenti mengguyur. Pagi, siang, malam. Hujan lebat tak ada akhir. Mereka bahkan tak bisa tidur. Air di mana-mana.”
“Kota Abu-abu”, cerita nomor 6 dalam buku kumpulan cerita pendek itu, lagi-lagi mengajak pembacanya pada sebuah imajinasi bentang alam. “Terletak di ujung dunia di mana hujan turun tanpa henti dan matahari terus bersembunyi di balik awan gelap, kota ini menelan, mengunyah dan melepehkan segala macam warna hingga kusam tanpa nyawa. Merah, kuning. Biru, jingga, ungu—semua tampak sama saja jika dibalut sendu.”
14 cerita yang terhimpun di dalam buku ini hampir semuanya dilumuri imajinasi yang menggelitik, meletup, dan barangkali akan retak berhamburan di benak pembacanya. Percobaan Maggie dalam bangunan-bangunan cerita pendek, setidaknya dalam buku “Selama Kita Tersesat di Luar Angkasa” menjadi kesegaran tersendiri di tengah timbunan cerita pendek yang terus ramai diproduksi.
Maggie Tiojakin yang juga sering menulis cerita dalam bahasa Inggris, dan banyak dimuat di media-media seperti The Jakarta Post, Writers Journal, La Petite Zine, Voice, dll,. juga aktif memperkenalkan cerita-cerita luar ke dalam bahasa Indonesia dalam wadah Sastra Lotus. Kumpulan cerita ini bahkan sudah diterbitkan oleh sebuah penerbit terkemuka di Jakarta.
Selain itu, tiga tahun sebelum kumpulan cerpen “Selama Kita Tersesat di Luar Angkasa terbit”, ia juga pernah menulis buku “Balada Ching-ching” di tahun 2010. Dalam buku itu terhimpun 13 cerita pendek dengan tema sehari-hari, seperti; saat menunggu di ruang tunggu dokter, persahabatan, kisah seorang terapis, keseharian suami istri, seorang perawat yang dalam menghadapi pasiennya, dll.
Berbeda dengan buku yang terbit setelahnya, di buku ini cerpen-cerpennya justru lebih sederhana, tidak ada kalimat-kalimat bersayap dengan metafor-metafor yang ajaib. Kekuatannya justru terletak pada kesederhanan, keefektifan merangkai kalimat, dan realitas ceritanya yang membuat seluruh kisah tersebut menjadi seolah tak berjarak dengan kehidupan pembacanya.
Di tahun 2011, penulis yang sempat menimba ilmu kepenulisan di Boston AS ini sempat menulis sebuah novel yang berjudul “Winter Dreams : Perjalanan Semusim Ilusi”. Di tahun 2006, ia bahkan pernah menerbitkan kumpulan cerpen berbahasa Inggris yang berjudul Homecoming (And Other Stories).
Dalam perjalanan kepenulisannya, setidaknya dari rentang waktu 2006 sampai 2013, karya-karya Maggie terus mengalami perkembangan yang menarik. Ia seolah “tak betah” dengan hanya satu gaya penceritaan. Ini tentu saja, di tengah kebosanan terhadap cerita-cerita yang terkesan “normatif”, adalah salah satu penawar yang efektif bagi khalayak pembaca cerita pendek Indonesia.
Meskipun seolah hanya asyik dengan imajinasi-imajinasinya sendiri, namun dalam cerita-cerita Maggie, ia mempertanyakan ulang banyak hal, termasuk tentang dirinya sendiri.
Terkait hal tersebut, dengan cukup gamblang Maggie menegaskan, “Hampir semua cerpen lokal yang saya baca memiliki dialog/alur yang aman-aman saja. Aman dalam arti memiliki resiko kecil bagi si penulisnya sendiri, bukan aman bagi masyarakat. Karena sesuatu yang tak ada artinya bagi penulis bisa jadi menuai bencana di tengah masyarakat (sensasi). Sementara penulis yang selalu memilih jalur ‘aman’, dalam arti hanya berani berimajinasi tanpa berani mempertanyakan diri mereka sendiri, akan selalu menghasilkan karya yang ‘aman’ juga.”

Inilah salah satu penulis perempuan Indonesia kontemporer yang karya-karyanya, termasuk sikap dan pilihan-pilihan bertutur di dalamnya, akan memperkaya wajah sastra Indonesia di Frankfurt. Oktober nanti karya-karya itu, di tengah riuh para pelaku perbukuan, barangkali (tidak) akan membawa para pembacanya ke dalam ketersesatan kisah.[irf]

Postscript : 
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.

No comments: