Percobaan-percobaan baru dalam
berkisah, baik dalam gaya maupun penggalian sumber cerita, dalam cerita pendek
Indonesia semakin kaya. Maggie Tiojakin, seorang jurnalis sekaligus penulis
yang telah melahirkan empat buku, terdiri dari cerita pendek dan novel, adalah
pencerita yang ikut meramaikan keragaman cerita pendek Indonesia.
Manggie menghamparkan
cerita-ceritanya dengan menarik. Karya Maggie, terutama yang yang terbit di
tahun 2013, yaitu “Selama Kita Tersesat di Luar Angkasa”, menurut para
pembacanya adalah kumpulan cerita yang absurd, tak masuk akal, konyol. Di atas
semuanya, imajinasi yang dibangun Maggie memang begitu menggoda.
Dalam cerita “Tak Ada Badai di
Taman Eden”, dikisahkan tentang pasangan suami istri yang mengalami kejadian
dahsyat. Pasca mengalami kecelakaan mobil, mereka relatif mengalami hal-hal
aneh. Anouk, si istri, ketika melihat badai, tiba-tiba dengan cara yang
berbeda; langit meledak-ledak dan jatuh berkeping-keping, mengisap apa saja yang
ada di sekitarnya. Sementara Barney, sang suami, yang awalnya tak percaya pun
ikut menyaksikan sendiri pada akhirnya.
“Anouk meyakini bahwa setahun
sekali langit pecah berkeping-keping dan meninggalkan alam yang tidak pasti.
Sementara Barney menghabiskan tiga ratus enam puluh empat hari dalam setahun
memungut kepingan tersebut dan menyusunnya kembali, menciptakan sebuah ilusi.”
Pada narasi seperti itu, pembaca
barangkali bertanya-tanya, “apa yang hendak disampaikan si penulis?” Namun
dalam imajinasi yang tak terbatas, apakah pertanyaan seperti itu masih relevan?
Dalam sebuah wawancara dnegan indonovel.com, Maggie mengutarakan
ihwal pilihan gaya menulisnya.
“Kalau menurut saya, Indonesia
punya ‘gaya’ penulisan cerpen yang berbeda dari negara-negara lain. Sayangnya
‘gaya’ ini juga yang sedikit-banyak agak menghambat kemajuan dunia cerpen
Indonesia ke tahap internasional. Kekurangan fiksi pendek Indonesia terletak di
fokusnya terhadap plot, terhadap pembahasaan yang condong semakin ‘manis’
semakin bagus, dan terhadap penghindaran konflik,” ujarnya.
Sementara dalam kisah “Selama
Kita Tersesat di Luar Angkasa”, Maggie menceritakan tentang para astronaut yang
tersesat ke sebuah planet yang semakin menyusut. Dalam ketersesatan, mereka
sempat membicarakan banyak hal. Ketika berbicara Venus, planet itu disebutnya
sebagai, “tempat hujan tak pernah sedetik pun berhenti mengguyur. Pagi, siang,
malam. Hujan lebat tak ada akhir. Mereka bahkan tak bisa tidur. Air di
mana-mana.”
“Kota Abu-abu”, cerita nomor 6
dalam buku kumpulan cerita pendek itu, lagi-lagi mengajak pembacanya pada
sebuah imajinasi bentang alam. “Terletak di ujung dunia di mana hujan turun
tanpa henti dan matahari terus bersembunyi di balik awan gelap, kota ini
menelan, mengunyah dan melepehkan segala macam warna hingga kusam tanpa nyawa.
Merah, kuning. Biru, jingga, ungu—semua tampak sama saja jika dibalut sendu.”
14 cerita yang terhimpun di
dalam buku ini hampir semuanya dilumuri imajinasi yang menggelitik, meletup,
dan barangkali akan retak berhamburan di benak pembacanya. Percobaan Maggie
dalam bangunan-bangunan cerita pendek, setidaknya dalam buku “Selama Kita
Tersesat di Luar Angkasa” menjadi kesegaran tersendiri di tengah timbunan
cerita pendek yang terus ramai diproduksi.
Maggie Tiojakin yang juga sering
menulis cerita dalam bahasa Inggris, dan banyak dimuat di media-media seperti
The Jakarta Post, Writers Journal, La Petite Zine, Voice, dll,. juga aktif
memperkenalkan cerita-cerita luar ke dalam bahasa Indonesia dalam wadah Sastra
Lotus. Kumpulan cerita ini bahkan sudah diterbitkan oleh sebuah penerbit
terkemuka di Jakarta.
Selain itu, tiga tahun sebelum
kumpulan cerpen “Selama Kita Tersesat di Luar Angkasa terbit”, ia juga pernah
menulis buku “Balada Ching-ching” di tahun 2010. Dalam buku itu terhimpun 13
cerita pendek dengan tema sehari-hari, seperti; saat menunggu di ruang tunggu
dokter, persahabatan, kisah seorang terapis, keseharian suami istri, seorang
perawat yang dalam menghadapi pasiennya, dll.
Berbeda dengan buku yang terbit
setelahnya, di buku ini cerpen-cerpennya justru lebih sederhana, tidak ada
kalimat-kalimat bersayap dengan metafor-metafor yang ajaib. Kekuatannya justru
terletak pada kesederhanan, keefektifan merangkai kalimat, dan realitas
ceritanya yang membuat seluruh kisah tersebut menjadi seolah tak berjarak
dengan kehidupan pembacanya.
Di tahun 2011, penulis yang
sempat menimba ilmu kepenulisan di Boston AS ini sempat menulis sebuah novel
yang berjudul “Winter Dreams : Perjalanan Semusim Ilusi”. Di tahun 2006, ia
bahkan pernah menerbitkan kumpulan cerpen berbahasa Inggris yang berjudul
Homecoming (And Other Stories).
Dalam perjalanan kepenulisannya,
setidaknya dari rentang waktu 2006 sampai 2013, karya-karya Maggie terus
mengalami perkembangan yang menarik. Ia seolah “tak betah” dengan hanya satu
gaya penceritaan. Ini tentu saja, di tengah kebosanan terhadap cerita-cerita
yang terkesan “normatif”, adalah salah satu penawar yang efektif bagi khalayak
pembaca cerita pendek Indonesia.
Meskipun seolah hanya asyik
dengan imajinasi-imajinasinya sendiri, namun dalam cerita-cerita Maggie, ia
mempertanyakan ulang banyak hal, termasuk tentang dirinya sendiri.
Terkait hal tersebut, dengan
cukup gamblang Maggie menegaskan, “Hampir semua cerpen lokal yang saya baca
memiliki dialog/alur yang aman-aman saja. Aman dalam arti memiliki resiko kecil
bagi si penulisnya sendiri, bukan aman bagi masyarakat. Karena sesuatu yang tak
ada artinya bagi penulis bisa jadi menuai bencana di tengah masyarakat
(sensasi). Sementara penulis yang selalu memilih jalur ‘aman’, dalam arti hanya
berani berimajinasi tanpa berani mempertanyakan diri mereka sendiri, akan
selalu menghasilkan karya yang ‘aman’ juga.”
Inilah salah satu
penulis perempuan Indonesia kontemporer yang karya-karyanya, termasuk sikap dan
pilihan-pilihan bertutur di dalamnya, akan memperkaya wajah sastra Indonesia di
Frankfurt. Oktober nanti karya-karya itu, di tengah riuh para pelaku perbukuan,
barangkali (tidak) akan membawa para pembacanya ke dalam ketersesatan
kisah.[irf]
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment