Jakarta adalah kota yang
didirikan oleh para pemabuk. Mereka ialah raksasa berkulit bayi, yang pada
mulanya hanya singgah untuk memenuhi persediaan air minum dan membeli arak.
Ketika kemudian mereka membeli tanah kepada seorang pangeran, mereka mendirikan
bangunan bercat putih dan memagarinya dengan meriam. Sempat terjadi beberapa
kali pertempuran demi memperebutkan kota tersebut, dan pemenangnya adalah para
pemabuk itu. Namun tragis, karena penduduk kota kebanyakan jorok, pemimpin para
pemabuk akhirnya tewas; bukan di medan pertempuran, namun karena sakit perut.
Cerita pembuka, dan sekaligus
menjadi judul buku kumpulan cerita pendek A. S. Laksana ini begitu
menghanyutkan. “Murjangkung; Cinta yang Dungu dan Hantu-hantu”, karya yang
terbit di tahun 2013, berisi sehimpun cerita yang kocak, menggelitik, dan
sekaligus sarat dengan muatan sejarah.
Jika ditelusur, minimal di kanal
daring populer, cerita tersebut adalah sejarah Jan Pieterszoon Coen ketika mula-mula
mendirikan Batavia. Sulak, begitu A.S. Laksana biasa disapa, bercerita dengan
piawai dan menolak sama. Ketika buku kumpulan cerita pendeknya gagal
memenangkan Khatulistiwa Literary Award, banyak orang yang menyayangkan.
“Karena setiap orang menyukai cerita.
Tidak ada orang yang menolak cerita. Dan cerita bisa disampaikan secara akrab.
Ketika kita bertemu dengan teman dekat, kita sebetulnya berbagi cerita kok,
bukan berbagi teori. Cerita tidak mengancam pikiran, tapi teori atau ideologi,
atau apa pun itu, kan bisa membuat orang waspada. Tetapi cerita tidak. Nah,
karena itu, teknik bercerita yang bagus sebetulnya yang kita perlukan,” terang
Sulak ketika diwawancara oleh kru 17.000 Island of Imagination.
Masih dalam “Murjangkung”, buku
karya pengarang yang sempat jadi jurnalis ini, imajinasi begitu dimanjakan.
Bagaimana misalnya budaya sekarang yang kerap mempertontonkan laki-laki bergaya
perempuan, dan perempuan bergaya laki-laki; mulanya adalah karena cinta yang
bertepuk sebelah tangan antara Belatung dan Fira.
Seorang bos bertabiat hidung
belang mengejar-ngejar Fira; karyawati baru yang cantik aduhai. Suatu hari
ketika Fira sedang jalan-jalan ke awan, si Belatung (begitu Sulak menamai si
bos hidung belang) tanpa disangka sebelumnya, malah masuk ke dalam tubuh Fira
yang tengah ditinggalkan pemiliknya. Karena bingung tak ada lagi tubuh yang
kosong, akhirnya Fira masuk ke tubuh si Belatung yang juga ditinggalkan si
empunya. Mereka akhirnya kawin, dan dimulailah budaya tukar-menukar itu.
Sulak begitu gesit bertutur dan
sesekali mengolok-olok. Pada sebuah cerita yang berjudul “Bagaimana Kami
Selamat dari Kompeni dan Sebagainya”, ia menyentil ihwal Kaki-dashi atau
kalimat pertama yang seringkali dipercaya sebagai lahan perjudian, pertaruhan
bagi setiap pengarang. Begini dia menulis:
“Setiap tukang cerita pastilah berniat memukau orang sejak kalimat pertama. Itu
pula niatku meski pada akhirnya hanya bisa kudapatkan kalimat pertama yang amat
sepele: ‘Kata sahibul hikayat, orang-orang Cina menyukai hujan lebat di tahun
baru’.”
Tahun 2004, Sulak menerbitkan
buku kumpulan cerita pendeknya yang pertama, yaitu “Bidadari yang Mengembara”.
Karya tersebut terpilih sebagai buku sastra terbaik 2004 versi Majalah Tempo.
Terdiri lebih dari 10 cerita, gaya bertutur Sulak tak jauh beda dengan
“Murjangkung”. Selain itu, aroma surealis pun begitu menyengat. Seperti
misalnya kisah “Rumah Unggas”; pengarang bercerita tentang Seto yang mengganti
air embun pagi ayahnya dengan air kakus. Dan Jono (ayah seto) yang gemar
mengawinsilangkan unggas-unggas.
Selain itu, dalam buku “Bidadari
yang Mengembara” masih ada beberapa cerita yang menarik untuk disimak. Pada
“Seorang ibu yang Menunggu atau Sangkuriang”, Sulak berkisah tentang seorang
anak yang dipenuhi rasa ingin tahu tentang dari mana bayi keluar? dan ibunya
yang kesulitan menjelaskan. Juga dalam “Buldoser”, pengarang bercerita tentang
ayahnya Alit, yang selama hidup hingga matinya selalu dikejar buldoser.
Terkait gayanya yang terkesan
“nyeleneh” dalam berkisah, Sulak menjelaskan, “Saya memperlakukan pembaca
sebagai teman dekat. Saya mengajak mereka bermain-main dengan dunia rekaan yang
saya tawarkan, dan juga bermain-main dengan pikiran mereka. Dengan menjadi
teman dekat, saya merasa bisa lebih rileks menyampaikan apa-apa kepada mereka.
Saya bisa dengan enteng menceritakan orang yang berganti-ganti agama, misalnya.
Saya tulis dengan santai saja dan dalam bentuk guyonan,” ungkapnya.
Selain menulis cerita pendek,
pengarang yang pernah menjadi wartawan di “Detik”, “Detak”, dan “Tabloid Investigasi”
ini, juga menulis beberapa buku nonfiksi, di antaranya; “Creative Writing: Tips
dan Strategi Menulis Cerpen dan Novel”, “Podium DeTik”, dan “Skandal Bank
Bali”. Kiprah dan kontribusinya di dunia tulis menulis diperkaya dengan
keputusannya mendirikan dan mengajar di sekolah penulisan kreatif Jakarta
School.
Cerita, bagi Sulak
begitu penting. Perannya bukan sekadar sebagai pelambung imajinasi, namun lebih
penting dan laten. Ia menegaskan, “Setiap suku bangsa mempunyai pengetahuan
tentang dunia dibentuk dengan cara seperti apa? Ya, melalui cerita.” [irf]
Postscript :
Re-post catatan ini dimaksudkan sebagai arsip dari naskah yang telah dipublikasikan di Pulau Imaji, dalam rangka mendukung Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Ikuti juga akun @PulauImaji untuk informasi seputar pameran buku tertua di dunia tersebut.
No comments:
Post a Comment