Sebagai
sebuah kabupaten baru, Pangandaran kini tengah sibuk membangun daerahnya. Pilkada
baru saja dilaksanakan, meskipun pelantikan bupati terpilih masih harus
menunggu waktu. Sebagai daerah yang dianugerahi potensi alam, terutama laut dan
pantai yang mengagumkan, Pangandaran memang telah mempunyai semacam branding alami, bahwa siapa pun yang
berkunjung ke sana, mula-mula pasti akan terpikat oleh panorama lautnya.
Namun
demikian, karena telah terbentuk sebagai sebuah kabupaten, Pangandaran kini mempunyai 10 kecamatan, yang terdiri dari;
Cimerak, Cijulang, Langkaplancar, Cigugur, Parigi, Sidamulih, Pangandaran,
Kalipucang, Padaherang, dan Mangunjaya. Dari sepuluh kecamatan tersebut yang sebagian
wilayahnya persis berada sepanjang garis pantai hanyalah Cimerak, Cijulang,
Parigi, Pangandaran, Sidamulih, dan Kalipucang. Artinya masih ada beberapa
kecamatan yang sama sekali tidak bersentuhan langsung dengan kehidupan dan
potensi laut.
Salah satu kecamatan
yang seluruh desanya tidak berada di garis pantai adalah Cigugur. Dalam peta
Kabupaten Pangandaran, kecamatan ini berada di arah barat laut dan berbatasan
langsung dengan kabupaten Tasikmalaya. Jika ditempuh dari Ibu Kota Kabupaten
(Parigi), maka akan menghabiskan waktu sekira setengah jam untuk sampai ke
pusat kecamatan Cigugur. Infrastruktur jalan menuju ke Cigugur sudah bagus,
hanya beberapa ruas saja yang masih terdapat kerusakan.
Kecamatan
Cigugur sendiri mempunyai 7 desa, yaitu; Kertajaya, Pagerbumi, Bunisari,
Cigugur, Campaka, Harumandala, dan Cimindi. Mayoritas mata pencaharian
penduduknya adalah bertani. Selain itu, karena banyak terdapat hutan produksi,
sebagian kecil penduduk pun ada yang menghidupi dirinya dengan mengandalkan
potensi ini. Namun hal ini kadang tidak berjalan mulus, karena di sana pun
banyak terdapat lahan Perum Perhutani, beberapakali penduduk sempat terlibat
sengketa lahan dengan perusahaan milik negara tersebut.
Secara umum,
jika dibandingkan dengan kecamatan lain, Parigi misalnya, kondisi perekonomian
di Cigugur relatif masih tertinggal. Secara letak geografis yang berjauhan
dengan garis pantai yang memang menjadi andalan perekonomian Kabupaten
Pangandaran, Cigugur kiranya harus bersisat. Ya, menyisatinya dengan potensi
lain yang bisa dikembangkan oleh masyarakat.
Dalam sebuah
kesempatan mengunjungi beberapa desa di kecamatan Cigugur, ternyata potensi itu
ada. Warga yang “tak mengenal” kebudayaan laut, memanfaatkan potensi alamnya
dengan berproduksi dan menekuni beberapa kerajinan, di antaranya yaitu di
bidang kuliner.
Rengginang
Singkong
Tak seperti
umumnya rengginang yang kita kenal, yaitu terbuat dari beras ketan, di Dusun
Tegallega, Desa Campaka, Kecamatan Cigugur, beberapa warga justru membuatnya
dari singkong. Rusmi (58), menerangkan cara pembuatannya. Mula-mula singkong
dikupas kulitnya, lalu dibersihkan, kemudian dihaluskan dengan mesin giling.
Setelah itu kemudian ampasnya disimpan, sementara air perasannya diendapkan
agar lengket. Air perasan yang telah lengket digunakan untuk membantu ampas
singkong ketika dibentuk. Sebelum dibentuk menurut selera, ampas singkong
terlebih daluhu ditumbuk agar semakin halus. Proses terakhir pasca dibentuk,
kemudian dijemur di bawah terik matahari selama empat hari.
Jika musim
hujan atau matahari tidak bersinar sepanjang hari, maka regginang dikeringkan
dengan cara didéangkeun di
dekat pembakaran. Ini jelas akan memakan waktu yang lebih lama, dan hasilnya
tidak akan optimal.
Warga
menjualnya dalam keadaan mentah, artinya nanti konsumen sendiri yang
menggorengnya sebelum siap disajikan. Harga rengginang singkong tersebut tak
lebih dari 250 rupiah per buah. Dari satu kuintal singkong, biasanya
menghasilkan sekitar 2000 buah rengginang. Artinya kalau itu terjual semua,
angka yang didapat adalah 500 ribu rupiah. Angka ini belum dikurangi oleh biaya
bahan bakar untuk mesin penggiling dan bumbu untuk rengginang tersebut.
Keuntungan penjual dengan kerja yang telaten karena proses
pembuatannya—terutama pengeringan yang cukup lama, sangat sedikit, belum lagi
bahan baku yang tidak selamanya tersedia.
Dalam
kondisi ketika tidak punya bahan baku sendiri, warga biasanya mengolah singkong
milik orang lain. Kerjasama ini dinamakan “marokeun”. Hasilnya dibagi dua,
pembuat rengginang dan pemilik singkong masing-masing memperoleh setengah dari
total rengginag yang dihasilkan.
Dengan bahan
baku yang terbatas dan hasil produksi yang bisa dibilang masih alakadarnya,
warga pun masih terkendala dalam hal pemasaran. Selama ini yang membeli hanya
tetangga di lingkungan dusunnya saja, hal ini membuat penjual rengginang
singkong tidak bisa memasang harga yang lebih “layak”, sebab pada praktiknya
pun para tetangga ini masih kerap menawarnya dengan harga yang lebih murah.
Usaha yang
telah dirintis Rusmi dan beberapa pengrajin lainnya, meskipun sudah berjalan
hampir sepuluh tahun, namun tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan,
bahkan cenderung jalan di tempat. “Ya, daripada diam tak menghasilkan apa-apa, segini juga udah lumayan, “ demikian
tuturnya.
Gula Aren
Sementara di
Dusun Cilutung, Desa Harumandala, masih di Kecamatan Cigugur, ada sekira
sembilan orang warga yang menekuni pembuatan gula aren. Zenal (52), telah
membuat gula aren kurang lebih lima tahun. Ia bersama istrinya bahu-membahu
mempertahankan salah satu jalan pendapatannya. Pohon aren miliknya, yang ia sadap terdapat di hutan-hutan pinggir
dusun. Jumlah gula yang dihasilkan tidak menentu, tergantung ketersediaan pohon
dan volume aren yang disadap. Paling
banyak ia berhasil memproduksi gula tak lebih dari 15 bungkus, yang dijual Rp
20 ribu per bungkusnya. Dalam satu bungkus terdapat 10 gandu/buah gula.
Bila pohon
aren miliknya sudah tidak menghasilkan, maka ia kerap memproduksi gula dari
pohon aren milik orang lain yang pembagiannya disebut “mentelu”; 2 bagian untuk
pembuat, dan 1 bagian untuk pemilik pohon aren.
Pembuatan
gula aren sendiri adalah dengan cara dipanaskan dalam api yang stabil selama
kurang lebih enam sampai tujuh jam. Setelah itu kemudian dibiarkan sampai gula
mengental, kemudian dicetak sesuai keinginan, lalu gula dibiarkan kembali
sampai membatu dan akhirnya dibungkus memakai kalari atau daun kelapa yang sudah kering.
Seperti
halnya penjualan rengginang singkong, para pembuat gula aren pun menjualnya
hanya ke para tetangga. Hal ini bukan berarti mereka tidak ingin menjualnya ke
pasar yang berada di ibu kota kecamatan, namun ongkos untuk transportasi yang
cukup tinggi membuat mereka urung melakukannya. Keterbatasan ini tentu tak
membuat perekonomian warga menjadi sejahtera, mereka hanya bertahan saja.
Sekadar melanjutkan apa yang telah mereka kerjalan selama bertahun-tahun.
Melihat
kondisi seperti ini, di tengah giatnya persiapan pembangunan Kabupaten
Pangandaran, kiranya bisa menjadi bahan pertimbangan. Bahwa siapa pun yang
menjadi pupuhu pemerintahan kabupaten
ini, hendaknya mulai menginventaris potensi seluruh warga dan wilayahnya. Fakta
menunjukkan bahwa tidak semua kecamatan yang ada di Kabupaten Pangandaran
menyandarkan hidupnya pada berkah laut dan pariwisata yang melimpah, namun juga
dari bidang lain yang sampai saat ini belum terkelola secara optimal.
Lonjakan
investor yang menanamkan modalnya di bidang pariwisata di Kabupaten Pangandaran
memang keuntungan tersendiri, namun usaha mikro, kecil, dan menengah yang hidup
di urat nadi warganya harus juga mendapatkan perhatian yang besar, sebab ini
adalah faktor penting dalam rangka mewujudkan kemandirian ekonomi rakyat. [irf]
No comments:
Post a Comment