Hari masih pagi dan jalan Solontongan belum terlalu ramai. Iwang tengah
duduk di depan tempat bimbingan belajar sambil menikmati segelas kopi sachet.
“Ngopi dulu,” katanya sambil mengangkat gelas. Saya hanya mengangkat jempol
sambil berlalu menuju kios penjual rokok.
Sehari-hari Iwang tinggal di tempat bimbingan belajar, dia
bekerja di sana. Bukan sebagai pengajar, tapi tukang bersih-bersih, sesekali
disuruh membeli ini-itu, dan sekaligus menjadi tenaga keamanan. Rumah
peninggalan orangtuanya berada di Margacinta, kini dikontrakkan kepada orang
lain seharga empat juta rupiah per tahun.
Ia dua bersaudara. Adiknya sudah menikah dan punya dua anak,
kerja di dealer mobil di bilangan Soekarno-Hatta, dan tinggal di daerah Kiaracondong. Sesekali adiknya
datang menengok, sekadar memberinya uang jajan. “Ya, namanya juga dengan
saudara, meskipun jarang ketemu tapi masih ingatlah,” ujarnya.
Di sebelah utara tempat Iwang tinggal, terhalang satu ruko,
ada Kedai Preanger; kedai yang menjual sajian kopi dan teh sebagai menu
utamanya. Lantai bawah adalah tempat konsumen duduk menikmati sajian dan
membaca buku, sementara lantai dua dipakai untuk menyimpan beberapa buku yang
tidak tertampung di bawah, juga sebagai tempat tidur. Di kedai inilah saya
tinggal.
Selain menjual beberapa sajian minuman dan camilan, Kedai
Preanger adalah juga sekretariat atau basecamp Komunitas Aleut; sebuah
komunitas peminat sejarah, khususnya sejarah Kota Bandung, dan saya salah satu
anggotanya.
Karena bertetangga, kami setiap hari bertemu. Iwang tak
terlalu pandai main catur, namun tak pernah gentar menerima setiap tantangan
siapa saja yang hendak mengasah otak. Seingat saya, skor kami 8-2. Namun
pertandingan yang tak diingat lebih banyak lagi, dan saya selalu dominan.
“Anjir, teuas euy (Anjing, keras euy),” begitu ungkapnya pada satu malam waktu
raja dia saya skakmat. “Keras” di sini artinya--bagi dia, saya sulit dikalahkan.
Kalau baru terima gaji, sehari dia bisa minum 4 sampai 5
gelas kopi plus krimer yang ia beli di kios tak jauh dari tempat kerjanya. Minum
kopi dan merokok, dan saya sangat jarang melihatnya membeli makan di siang
hari.
Pagi ketika saya melihatnya sedang minum kopi di awal
hari, barangkali itu adalah gelas yang pertama.
***
Sudah hampir tiga tahun Iwang bekerja di tempat bimbingan belajar
sebagai office boy merangkap satpam. Sebelumnya ia lama menganggur. Pendidikan
terakhirnya SMA. Lulus 23 tahun yang lalu. Sempat juga bekerja di perusahaan
listrik sebagai semacam tenaga pemasaran. Tugasnya mendatangi rumah-rumah yang
belum dialiri listrik agar bisa mendaftar dengan cepat dan pencahayaan rumahnya
ditangani perusahaan listrik. Pekerjaan itu dijalaninya selama dua tahun. Ia
dikeluarkan karena terbukti menilep uang setoran. “Karena senior-senior saya
banyak yang jadi tikus, saya juga lama-lama ikut-ikutan menjadi tikus,”
ujarnya.
Sebelum ketahuan kantor, setiap hari minimal ia bisa
mendapatkan uang sebesar 300 ribu rupiah yang berasal dari mark-up harga kepada calon
pelanggan perusahaan listrik. Dompetnya tebal, berisi uang ratusan ribu. Waktu
ibunya membutuhkan dana untuk belanja, sementara Iwang baru terbangun dari
tidur siang, ia mempersilahkan ibunya mengambil sendiri uang yang dibutuhkan
dari dompetnya. Ibunya kaget melihat uang sebanyak itu. “Duit dari mana ini?
Sebanyak ini?!” begitu ia menirukan ucapan ibunya. Ia hanya menjawabnya bahwa
itu adalah gaji dari tempatnya bekerja.
Setelah masa itu lewat, Iwang kemudian menganggur lama. Sangat
lama. Sekali waktu dalam kondisi menganggur akut, saat ia rajin main ke tempat
pamannya di daerah Buah Batu, seseorang bertanya, “Kamu ga kerja?” Kemudian ia
ditawari untuk kerja di tempat bimbingan belajar yang ia jalani sampai
sekarang.
Iwang lahir 42 tahun yang lalu, dan sampai sekarang belum
berumah tangga. Seringkali di penghujung senja kami ngobrol. Membicarakan banyak
hal, salah satunya tentang keluarga. Pandangannya kerap menerawang ketika
bercerita tentang ibu bapaknya. Keduanya telah meninggal. Adiknya telah menikah
dan punya anak. Sementara ia masih merindu kekasih dan keluarga. Pacarnya tinggal
di Ciamis, dan sudah sangat jarang bertemu. Terakhir bertatap muka dua tahun lalu
waktu pacarnya masih kerja di Bandung. Jarak begitu berkhianat.
Kalau laptop kawan-kawan Komunitas Aleut ada yang nganggur,
Iwang kerap meminjamnya untuk sekadar membuka facebook dan membuat banyak puisi
untuk kekasihnya. Komunikasi terjadi di dunia maya. “Kapan kita ngaleut ke
Ciamis?” tanyanya sekali waktu. “Sekalian ngantar saya...”, lanjutnya. Sampai sekarang
pertanyaannya belum terjawab, dan ia masih menunggu sampai waktu entah.
Setiap Sabtu tempat bimbingan belajar hanya buka setengah
hari. Sementara di Kedai Preanger kawan-kawan Komunitas Aleut rutin mengadakan
resensi buku secara lisan, dan saya yang paling sering menjadi semacam
moderatornya. Iwang beberapakali ikut dalam riungan, menyimak apa yang
dibicarakan kawan-kawan. Ia juga pernah sekali meresensi buku “Rasiah nu Goreng
Patut”, sebuah novel berbahasa Sunda yang dulu pernah dibuat sinetron. Buku itu
menceritakan Karnadi, seorang pemuda miskin dan buruk rupa namun punya
kecerdasan yang nakal. Dengan kelihaiannya ia berhasil mendapatkan Eulis Awang,
seorang gadis cantik dan anak orang kaya.
Dengan agak terbata Iwang memungkas resensinya dengan sebuah
kesimpulan, “Jadi tak perlulah ganteng dan kaya untuk mendapatkan perempuan
semacam Eulis Awang itu, yang penting pakai akal,” ungkapnya yang langsung disambut
tawa dan tepuk tangan kawan-kawan yang lain.
Hari Minggu libur, dan ia ikut ngaleut. Tugasnya membawa
spanduk komunitas untuk disertakan dalam foto bersama di penghujung ngaleut. “Ya,
kan hari Minggu mah bimbel tutup, saya ga ada kegiatan, jadi ikut ngaleut aja. Lumayan
selain jalan-jalan olah raga, juga dapet pengetahuan dan teman-teman baru,”
tuturnya.
Setiap Minggu siang, tepatnya setelah ngaleut selesai,
sekira mulai dari pukul dua siang sampai malam, Iwang selalu nongkrong di Kedai
Preanger; ngobrol, ngopi, merokok, dan main catur. Kalau pegawai kedai tengah
libur, ia rajin membantu kawan-kawan Komunitas Aleut, baik melayani konsumen
atau pun sekadar mencuci piring dan gelas kotor. “Sebetulnya saya pengen
belajar juga membuat hidangan, seperti membuat kopi dan minuman lain, agar bisa
bantu-bantulah. Ya, namanya juga dengan teman, apalagi kita bertetangga. Ga usah
dikasih apa-apa, saya mah ikhlas,” ungkapnya dengan nada tulus.
***
Setelah menyelesaikan sekolah di SMA Negeri 1 Buah Batu (sekarang
menjadi SMA Negeri 25 Bandung), Iwang aktif berkegiatan di Karang Taruna
tingkat RW. “Waktu awal ikut, ada pelatihan dulu di Tanjungsari, Sumedang. Rombongan
peserta menggunakan bis sewaan, sementara panitia mah pakai mobil yang lebih
kecil. Materinya semacam dididik untuk jadi pemimpin,” ujarnya bercerita. Di Karang
Taruna Iwang kerap berposisi di bagian logistik dan humas. Delapan tahun ia
aktif berkegiatan dan menghidupkan lingkungan RW-nya.
Cerita Iwang tentang masa aktifnya di organisasi terbukti
ketika ia mulai ikut Komunitas Aleut; tak terlihat canggung dalam bergaul
dengan orang-orang baru, dan sadar akan tugas dan tanggungjawabnya. Begitu pula
di tempat kerja, Iwang amat paham dengan kewajibannya. Meski jarak antara
tempat dia kerja dengan Kerja Preanger hanya lima meter, dan misalnya dia
tengah santai, namun Iwang selalu menolak jika ada yang mengajaknya bermain
catur. “Hampura euy moal waka, keur gawé (Maaf, ga akan main catur dulu, lagi
kerja),” ujarnya.
Sekali waktu, saya dan seorang kawan (Kobo) punya ide untuk
mengadakan semacam malam puisi di Kedai Preanger. Tapi niat itu kemudian
dirintangi oleh kenyataan bahwa mayoritas kawan-kawan Komunitas Aleut sepertinya kurang begitu berminat pada puisi. Saya lalu teringat Iwang dan puisi-puisinya
yang sering ia unggah di facebook. “Kita ‘angkat’ mang Iwang aja, Bo, gimana?” Dia
tidak menjawab, malah melonjak girang.
Saya membayangkan bagaimana Iwang, seseorang yang berjarak
dengan kekasih dan keluarganya, membacakan isi hatinya lewat puisi-puisi. Atau beberapa
penyesalan yang tidak pernah diungkapkan, tentang usia remaja atau mungkin dosa-dosa. Saya
tak tahu pedalaman hatinya. Namun barangkali dengan begitu, ia bisa sedikit mengungkapkan kerinduannya yang selama ini diperam.
Ketika hujan turun begitu deras, saya melihat Iwang tengah melamun di depan tempat kerjanya, dengan sebatang rokok dan segelas kopi tentu saja. Hari masih pagi dan jalan Solontongan belum terlalu ramai. [ ]
Ketika hujan turun begitu deras, saya melihat Iwang tengah melamun di depan tempat kerjanya, dengan sebatang rokok dan segelas kopi tentu saja. Hari masih pagi dan jalan Solontongan belum terlalu ramai. [ ]
1 comment:
Pahit, manis dan nikmat. Layaknya kopi.
Hanjakal sachet. Hahaha
Bravo iwang!!
Post a Comment