29 May 2016

Jampang Kulon dan Luka di Dua Kepala

Jampang Kulon dan masa kecil, bagi saya begitu tegas sekaligus sayup-sayup. Kota kecil di selatan Sukabumi itu adalah tempat yang menadah saya mula-mula, kemudian tumbuh, sebelum akhirnya ditinggalkan demi melengkapi mozaik yang bertebaran di tempat entah. Tegas menancap di ingatan, sebab di situlah saya mengukir masa kecil dengan kisah-kisah yang beragam seperti bianglala. Namun kadang sayup-sayup, karena waktu dan jarak telah berkhianat.

Dalam “Ordeal by Labirinth”, Mircea Eliade menulis, “ Setiap tanah air terdiri dari bentangan geografis yang sakral. Bagi siapa pun yang meninggalkannya, kota masa kecil dan remaja akan selalu menjadi negeri dongeng.” Ya, kurang lebih seperti itu Jampang Kulon yang tertatah dalam benak.

Saya lahir dari lingkungan keluarga guru. Sebelum wafat, bapak bertahun-tahun mengajar di sebuah Madrasah Tsanawiyah swasta. Kakak dan paman ada juga yang menjadi guru. Namun kiranya lahir dan tumbuh dari lingkungan keluarga seperti apa pun, masa kecil setiap orang tak terlampau berkaitan dengannya.

Sampai menamatkan Sekolah Menengah Pertama, saya tinggal di Jampang Kulon. Kalau kawan begitu asing dengan nama tempat itu, baiklah saya terangkan sedikit. Kota kelahiran ini adalah sebuah kota kecamatan, yang bisa ditempuh dari Kota Sukabumi dengan durasi kira-kira tiga jam perjalanan mobil. Kalau memakai sepeda motor dan mengendarainya terburu-buru seperti orang yang hendak buang hajat, kawan bisa memangkas waktu yang diperlukan menjadi lebih singkat.

Meski suasananya pedesaan, namun Jampang Kulon tak terlalu elok seperti gambaran desa yang kerap ditayangkan di FTV. Tak ada sungai besar dengan air jernih dan batu-batu besar yang menghiasi. Jika Jaka Tarub tersesat di kampung saya, dan ia iseng hendak mencuri selendang gadis desa yang tengah mandi di sungai, niscaya dia tak akan menemukannya. Air yang menghidupi sawah hanya mengandalkan tadah hujan, tak ada sistem irigasi yang bisa diandalkan.

Beberapa bukit (pasir dalam bahasa Sunda) berjajar di Selatan. Ada Pasir Pogor, Pasir Gundul, Pasir Hiris, Pasir Hanjuang, dan dipungkas oleh Pasir Malang. Rumah saya persis di bawah Pasir Pogor yang konon dihuni oleh Haji Uril, jin penunggu bukit itu. Kalau ada anak kecil yang terus menangis, para orang tua biasanya menakut-nakutinya dengan Haji Uril. “Dibikeun geura siah ka Haji Uril!” Setelah mantra itu terlontar, biasanya bocah-bocah yang tangisnya sulit diredakan seketika akan berhenti, dan di wajahnya ada segores ketakutan.

Tak jauh dari rumah, ada alun-alun--tempat yang menjadi saksi bahwa saya pernah brilian dalam sepak bola, sebelum akhirnya ditinggalkan bakat, setelah kaki terlampau banyak dihujam beling, paku, dan duri putri malu. Kalau sedang cedera karena benda-benda tajam brengsek itu, saya hanya duduk di pinggir lapang menyaksikan kawan-kawan bermain bola dengan kelihaian abal-abal. Kalau bulan puasa datang, alau-alun ramai oleh orang-orang yang bermain layangan. Tua-muda doyan bermain layangan, saya pun begitu. Ada satu masa ketika saya pernah mengalahkan puluhan layangan musuh dengan gelasan andalan buatan Ciaul. Karena tak kalah-kalah, sampai adzan magrib berkumandang yang artinya waktu berbuka puasa tekah tiba, saya masih asyik menatap langit. Ketika melihat sekeliling, alun-alun telah sepi.

Di timur alun-alun ada pasar, di utara berdiri gedung serba guna yang paling sering dipakai untuk bermain badminton. Di selatan terdapat perumahan penduduk yang dibatasi bukit-bukit, dan di barat ada mesjid. Tempat yang disebut paling akhir--bagi anak-anak, selain untuk belajar tata cara ibadah, adalah juga tempat bermain yang sempurna.

Mang Rohman namanya, ia kini sudah almarhum, seorang penjaga mesjid yang galak betul. Kata bapak, ia adalah mantan narapidana dengan spesialisasi mencuri kerbau. Dalam waktu tak lebih dari sepuluh menit, satu truk bisa penuh dengan kerbau curian. Konon caranya begitu mudah, hanya menarik ekornya, kerbau-kerbau itu akan loncat ke dalam truk yang pintunya telah terbuka. Dalam riwayat masa lalunya yang kelam, masih kata bapak, ia katanya pernah ditembak polisi di bagian kaki. Ini terbukti dari cara jalannya yang terpincang-pincang. Di hari tuanya hidayah datang, beliau mengabdi di masjid, menyerahkan hidup sepenuhnya pada Tuhan, meskipun kerap diganggu setan-setan kecil yang tak tahu adat, termasuk saya di dalamnya.

Cucu-cucu Mang Rohman adalah kawan karib saya waktu kecil. Mereka seperti juga kawan-kawan yang lain, tak pernah kapok untuk bermain dan mengacau di masjid. Orang-orang shalat taraweh, kami malah bermain petasan di pelataran. Stok air buat wudhu menipis, kami malah membuka semua keran dan tak hendak menutupnya. Siang hari ketika masjid sepi, kami bermain sepak bola di dalamnya, karpet mulus seperti lapangan futsal. Kenakalan standar sebetulnya, namun bagi penjaga masjid tak ada yang bisa ditoleransi.

Dengan tak bermaksud riya, terus terang saja saya pernah pintar di riwayat akademik. Sampai kelas tiga Madrasah Tsanawiyah (sekolah setingkat SMP), tiga besar selalu di tangan, tepatnya di posisi kedua. Tapi ada yang unik, posisi satu yang tak pernah berhasil direbut selalu ditempati oleh orang yang itu-itu saja, menjengkelkan memang. Di Sekolah Dasar, dari kelas satu sampai lulus, saya selalu dipecundangi Retno Kurniawati, si juara satu itu. Ia kini tinggal di Tulungagung. Sementara di Madrasah Tsanawiyah, giliran Siti Jenab yang membuat saya tak berkutik, terus-menerus di posisi dua sampai karatan.

Di sekolah, selain persaingan abadi mempertahankan tiga besar, saya punya kawan abadi sebangku. Dari kelas satu SD sampai kelas tiga Mts, kami selalu duduk berdampingan. Abu Sofyan namanya. Rumahnya hanya sepelemparan batu dari pintu dapur. Ya, kami memang bertetangga. Diberi nama Abu sebab waktu ia lahir gunung Galunggung tengah murka. Abu vulkaniknya sampai ke Jampang Kulon. Atap rumah memutih diselimuti abu. Demi mengenang masa itu, maka dilekatkanlah nama ke-Arab-araban.

Dia anak paling besar, sementara saya anak nomor lima. Dia menerima curahan pertama perhatian orang tua, saya mesti melewati dulu empat kakak. Dia minta tas baru, besoknya sudah ada. Saya meminta tas baru, lima bulan kemudian baru dibeli. Tasnya bermerek “Exsport”, keren dan penuh gaya. Sementara tas saya hanya bergambar Goggle V, resletingnya hampir dol, dibelikan mama di pasar kecamatan. Sepatunya Docmart  berlampu, sepatu saya kstaria pemanah alias warrior hitam nan legendaris. Dia tinggi putih seperti Ryan Hidayat, saya tak jelek-jelek amat. Saya ranking dua sampai lulus, dia entah di mana, terperosok di jurang kelas. Orangnya bersahaja berkawan. Kami bersahabat sampai sekarang. Kini dia tinggal di Leuwi Panjang, telah menikah dua kali, raut mukanya nampak lebih tua melebihi usia, sementara saya masih muda dan tetap keren.         

Dari sekian banyak cerita masa kecil yang saya lalui, kiranya ada dua yang peristiwa yang amat susah terlupakan, yaitu ihwal dua kepala yang terluka; kepala atas dan kepala bawah.

Sekali waktu di bulan puasa, mama menyuruh seseorang untuk mengambil kelapa muda yang masih betah bergelantungan di pohon. Ajo namanya, pemuda ini memamg ahli dalam hal memanjat pohon. Maka dengan berbekal golok, berangkatlah ia ke kebun yang jaraknya agak jauh dari rumah. Ketika melintas alun-alun, saya dan beberapa orang kawan bertanya kepadanya tentang hendak pergi ke mana. Dan begitulah, kami akhirnya ikut dengan Ajo.

Tak salah memang ia dijuluki sang penakluk pohon, serupa beruk ia memanjat pohon kelapa dengan begitu cepat. Lalu beberapa kelapa muda mulai berjatuhan. Dirasa sudah cukup dan hendak melemparkan golok, ia kemudian berteriak, “lari ke utara!” kawan-kawan kemudian berlarian ke utara, tapi anehnya saya justru lari ke selatan, ke arah mata angin tempat Ajo melemparkan golok. Sedetik kemudian kepala saya dihantam benda keras. Saya berpikir sebuah kelapa muda telah berlaku kurang ajar, namun tak lama kemudian darah mengucur dari kepala, saya seperti tengah dikeramas shampoo berwarna merah. Lalu saya menangis.

Dengan kaget dan terburu-buru saya kemudian digendong Ajo pulang ke rumah. Di jalan, karena melalui pematang sawah yang licin, kami beberapakali terpeleset ke lumpur dan rumpun padi. Sesampainya di rumah, langsung di bawa ke puskesmas, disuntik bius, lalu kepala dijahit. Sampai sekarang, saya masih ingat bagaimana jarum itu bergerak bebas di kulit kepala. Kalau kawan tidak percaya, tunggu nanti jika saya dicukur tandas. Niscaya kawan akan melihat segaris pitak yang tak ditumbuhi rambut di kepala saya yang mulia.

Mungkin karena hantaman golok di kepala, ketika masuk SMA dan kuliah, prestasi akademik menjadi hancur. Di SMA hanya menjadi penghuni 20 besar, dan di bangku kuliah lulus dengan IPK 2,A (Dua koma Alhamdulilah). Dalam jurang keterpurukan itu kadang saya mengingat kembali masa kecil yang gilang gemilang, ketika banyak guru dan orang tua yang mengeluh kenapa anak-anak yang lain tak sepintar saya. Mohon ini jangan dianggap sebagai riya, siapalah saya ini? hanya sumpit lumpia basah yang sedang mengenang masa kejayaan.

Peristiwa dihantam golok itu terjadi sekira empat bulan pasca kepala saya yang lain terluka. Ketika tongkat pusaka akhirnya harus disembelih, saya bergetar ketakutan. Namun demi melangsungkan hajat besar ini, bapak dan kakak-kakak kerap membujuk dan menyederhanakan rasa sakit. “Ga usah takut, rasanya kaya digigit semut rangrang doank kok,” begitu kata kakak yang nomor tiga. Saya waktu itu belum bisa berpikir jernih, percaya begitu saja. Belakangan baru sadar bahwa itu semua tipu muslihat belaka. Bagaimana mungkin kakak yang nomor tiga itu tahu rasanya dikhitan, nyatanya dia seorang perempuan.

Maka hari bersejarah itu datang juga akhirnya. Pagi-pagi setelah selesai shalat berjamaah subuh, bapak-bapak yang dari masjid datang ke rumah saya. Muka mereka jernih sebetulnya, namun dalam pandangan saya menjadi menyeramkan. Dalam kegugupan di detik-detik menjelang tongkat pusaka diserahkan kepada bengkong (dukun khitan), dalam benak saya mereka seperti rombongan pengiring di altar persembahan.

Kawan harus tahu, betapa menderitanya saya. Peristiwa itu terjadi di pekarangan rumah. Tak disuntik bius, tak direndam dulu dalam sungai yang dingin, tiba-tiba tongkat pusaka dengan semena-mena dipenggal ujungnya. Allohu Akbar! Sakit betul! Darah segar memencar berbarengan dengan tangis yang membelah kesunyian pagi. Lalu bapak-bapak itu bershalawat kepada Rasul junjungan. Saya dipangku bapak menuju ruang tengah, sementara darah terus mengalir seperti tak mau berhenti. Kemudian datang Pak Haji Obar, waktu itu usianya kira-kira sudah 70 tahun. Beliau mendekati saya dan bapak, lalu komat-kamit, mungkin membacakan beberapa do’a. Dan ajaib, darah yang semula terus mengalir dari yang mulia tongkat pusaka tiba-tiba berhenti. “Geus tong ceurik, sakeudeung deui ge cageur!,” begitu ucapnya sambil berlalu.

Sehari setelah peristiwa mengerikan itu, ibu guru wali kelas dan kawan-kawan sekolah datang menjenguk. Entah kenapa saya lupa lagi, tongkat pusaka yang masih belum kering itu tak ditutupi apa-apa. Bebas merdeka menghirup udara kamar, tempat saya terbaring menunggu kering. Ketika rombongan yang menjenguk datang, barulah saya tersadar bahwa kawan-kawan perempuan dan ibu guru akan sangat leluasa mengamati tongkat pusaka yang tengah terluka. Dalam gugup, saya menemukan solusi. Agar tak terlalu malu, saya langsung pura-pura tidur demi menghindari wajah-wajah yang tersenyum geli.

Ketika sudah sembuh dan bisa sekolah lagi, di kelas kawan-kawan banyak yang mengolok-olok tentang pemandangan di kamar, ketika saya pura-pura tidur. Ya, apa boleh buat, nyatanya dalam sepetong riwayat hidup, benda sakti ini pernah menjadi tontonan banyak orang.  

Itulah sepenggal kisah tentang dua kepala yang terluka di masa kecil, dan sampai sekarang tetap berarak di lereng ingatan. Saya tak hendak melupakannya, biarlah itu selamanya menjadi kenang-kenangan hidup, diceritakan ulang, dan menjadi penghibur di kala bosan. Sementara siang ini sambil mengenang masa kecil, saya duduk di depan laptop. Jalan Solontongan tak begitu ramai. Saya tengah menghitung jejak langkah saya sendiri. [ ]           

2 comments:

Unknown said...

ieu sareng saha nya anu nulis cerita ieu , eta bumi abdi di2nya ?

Anonymous said...

Sok Gus tebak heula atuh :D

Kuliah teh di UNPAS Taman Sari?