Jampang
Kulon dan masa kecil, bagi saya begitu tegas sekaligus sayup-sayup. Kota kecil
di selatan Sukabumi itu adalah tempat yang menadah saya mula-mula, kemudian
tumbuh, sebelum akhirnya ditinggalkan demi melengkapi mozaik yang bertebaran di
tempat entah. Tegas menancap di ingatan, sebab di situlah saya mengukir masa
kecil dengan kisah-kisah yang beragam seperti bianglala. Namun kadang
sayup-sayup, karena waktu dan jarak telah berkhianat.
Dalam
“Ordeal by Labirinth”, Mircea Eliade menulis, “ Setiap tanah air terdiri dari
bentangan geografis yang sakral. Bagi siapa pun yang meninggalkannya, kota masa
kecil dan remaja akan selalu menjadi negeri dongeng.” Ya, kurang lebih seperti
itu Jampang Kulon yang tertatah dalam benak.
Saya lahir
dari lingkungan keluarga guru. Sebelum wafat, bapak bertahun-tahun mengajar di
sebuah Madrasah Tsanawiyah swasta. Kakak dan paman ada juga yang menjadi guru.
Namun kiranya lahir dan tumbuh dari lingkungan keluarga seperti apa pun, masa
kecil setiap orang tak terlampau berkaitan dengannya.
Sampai menamatkan
Sekolah Menengah Pertama, saya tinggal di Jampang Kulon. Kalau kawan begitu
asing dengan nama tempat itu, baiklah saya terangkan sedikit. Kota kelahiran ini
adalah sebuah kota kecamatan, yang bisa ditempuh dari Kota Sukabumi dengan
durasi kira-kira tiga jam perjalanan mobil. Kalau memakai sepeda motor dan
mengendarainya terburu-buru seperti orang yang hendak buang hajat, kawan bisa
memangkas waktu yang diperlukan menjadi lebih singkat.
Meski
suasananya pedesaan, namun Jampang Kulon tak terlalu elok seperti gambaran desa
yang kerap ditayangkan di FTV. Tak ada sungai besar dengan air jernih dan
batu-batu besar yang menghiasi. Jika Jaka Tarub tersesat di kampung saya, dan
ia iseng hendak mencuri selendang gadis desa yang tengah mandi di sungai,
niscaya dia tak akan menemukannya. Air yang menghidupi sawah hanya mengandalkan
tadah hujan, tak ada sistem irigasi yang bisa diandalkan.
Beberapa
bukit (pasir dalam bahasa Sunda) berjajar di Selatan. Ada Pasir Pogor, Pasir
Gundul, Pasir Hiris, Pasir Hanjuang, dan dipungkas oleh Pasir Malang. Rumah
saya persis di bawah Pasir Pogor yang konon dihuni oleh Haji Uril, jin penunggu
bukit itu. Kalau ada anak kecil yang terus menangis, para orang tua biasanya
menakut-nakutinya dengan Haji Uril. “Dibikeun geura siah ka Haji Uril!” Setelah
mantra itu terlontar, biasanya bocah-bocah yang tangisnya sulit diredakan
seketika akan berhenti, dan di wajahnya ada segores ketakutan.
Tak jauh
dari rumah, ada alun-alun--tempat yang menjadi saksi bahwa saya pernah brilian
dalam sepak bola, sebelum akhirnya ditinggalkan bakat, setelah kaki terlampau
banyak dihujam beling, paku, dan duri putri malu. Kalau sedang cedera karena
benda-benda tajam brengsek itu, saya hanya duduk di pinggir lapang menyaksikan
kawan-kawan bermain bola dengan kelihaian abal-abal. Kalau bulan puasa datang,
alau-alun ramai oleh orang-orang yang bermain layangan. Tua-muda doyan bermain
layangan, saya pun begitu. Ada satu masa ketika saya pernah mengalahkan puluhan
layangan musuh dengan gelasan andalan buatan Ciaul. Karena tak kalah-kalah,
sampai adzan magrib berkumandang yang artinya waktu berbuka puasa tekah tiba,
saya masih asyik menatap langit. Ketika melihat sekeliling, alun-alun telah
sepi.
Di timur alun-alun
ada pasar, di utara berdiri gedung serba guna yang paling sering dipakai untuk
bermain badminton. Di selatan terdapat perumahan penduduk yang dibatasi
bukit-bukit, dan di barat ada mesjid. Tempat yang disebut paling akhir--bagi
anak-anak, selain untuk belajar tata cara ibadah, adalah juga tempat bermain
yang sempurna.
Mang Rohman
namanya, ia kini sudah almarhum, seorang penjaga mesjid yang galak betul. Kata
bapak, ia adalah mantan narapidana dengan spesialisasi mencuri kerbau. Dalam
waktu tak lebih dari sepuluh menit, satu truk bisa penuh dengan kerbau curian.
Konon caranya begitu mudah, hanya menarik ekornya, kerbau-kerbau itu akan
loncat ke dalam truk yang pintunya telah terbuka. Dalam riwayat masa lalunya
yang kelam, masih kata bapak, ia katanya pernah ditembak polisi di bagian kaki.
Ini terbukti dari cara jalannya yang terpincang-pincang. Di hari tuanya hidayah
datang, beliau mengabdi di masjid, menyerahkan hidup sepenuhnya pada Tuhan,
meskipun kerap diganggu setan-setan kecil yang tak tahu adat, termasuk saya di
dalamnya.
Cucu-cucu
Mang Rohman adalah kawan karib saya waktu kecil. Mereka seperti juga
kawan-kawan yang lain, tak pernah kapok untuk bermain dan mengacau di masjid. Orang-orang
shalat taraweh, kami malah bermain petasan di pelataran. Stok air buat wudhu
menipis, kami malah membuka semua keran dan tak hendak menutupnya. Siang hari
ketika masjid sepi, kami bermain sepak bola di dalamnya, karpet mulus seperti
lapangan futsal. Kenakalan standar sebetulnya, namun bagi penjaga masjid tak
ada yang bisa ditoleransi.
Dengan tak
bermaksud riya, terus terang saja saya pernah pintar di riwayat akademik. Sampai
kelas tiga Madrasah Tsanawiyah (sekolah setingkat SMP), tiga besar selalu di
tangan, tepatnya di posisi kedua. Tapi ada yang unik, posisi satu yang tak
pernah berhasil direbut selalu ditempati oleh orang yang itu-itu saja,
menjengkelkan memang. Di Sekolah Dasar, dari kelas satu sampai lulus, saya
selalu dipecundangi Retno Kurniawati, si juara satu itu. Ia kini tinggal di
Tulungagung. Sementara di Madrasah Tsanawiyah, giliran Siti Jenab yang membuat
saya tak berkutik, terus-menerus di posisi dua sampai karatan.
Di sekolah,
selain persaingan abadi mempertahankan tiga besar, saya punya kawan abadi
sebangku. Dari kelas satu SD sampai kelas tiga Mts, kami selalu duduk
berdampingan. Abu Sofyan namanya. Rumahnya hanya sepelemparan batu dari pintu
dapur. Ya, kami memang bertetangga. Diberi nama Abu sebab waktu ia lahir gunung
Galunggung tengah murka. Abu vulkaniknya sampai ke Jampang Kulon. Atap rumah
memutih diselimuti abu. Demi mengenang masa itu, maka dilekatkanlah nama
ke-Arab-araban.
Dia anak
paling besar, sementara saya anak nomor lima. Dia menerima curahan pertama
perhatian orang tua, saya mesti melewati dulu empat kakak. Dia minta tas baru,
besoknya sudah ada. Saya meminta tas baru, lima bulan kemudian baru dibeli. Tasnya
bermerek “Exsport”, keren dan penuh gaya. Sementara tas saya hanya bergambar
Goggle V, resletingnya hampir dol, dibelikan mama di pasar kecamatan. Sepatunya
Docmart berlampu, sepatu saya kstaria
pemanah alias warrior hitam nan legendaris. Dia tinggi putih seperti Ryan
Hidayat, saya tak jelek-jelek amat. Saya ranking dua sampai lulus, dia entah di
mana, terperosok di jurang kelas. Orangnya bersahaja berkawan. Kami bersahabat
sampai sekarang. Kini dia tinggal di Leuwi Panjang, telah menikah dua kali, raut
mukanya nampak lebih tua melebihi usia, sementara saya masih muda dan tetap
keren.
Dari sekian
banyak cerita masa kecil yang saya lalui, kiranya ada dua yang peristiwa yang amat
susah terlupakan, yaitu ihwal dua kepala yang terluka; kepala atas dan kepala
bawah.
Sekali waktu
di bulan puasa, mama menyuruh seseorang untuk mengambil kelapa muda yang masih
betah bergelantungan di pohon. Ajo namanya, pemuda ini memamg ahli dalam hal
memanjat pohon. Maka dengan berbekal golok, berangkatlah ia ke kebun yang
jaraknya agak jauh dari rumah. Ketika melintas alun-alun, saya dan beberapa
orang kawan bertanya kepadanya tentang hendak pergi ke mana. Dan begitulah,
kami akhirnya ikut dengan Ajo.
Tak salah
memang ia dijuluki sang penakluk pohon, serupa beruk ia memanjat pohon kelapa
dengan begitu cepat. Lalu beberapa kelapa muda mulai berjatuhan. Dirasa sudah
cukup dan hendak melemparkan golok, ia kemudian berteriak, “lari ke utara!”
kawan-kawan kemudian berlarian ke utara, tapi anehnya saya justru lari ke
selatan, ke arah mata angin tempat Ajo melemparkan golok. Sedetik kemudian
kepala saya dihantam benda keras. Saya berpikir sebuah kelapa muda telah
berlaku kurang ajar, namun tak lama kemudian darah mengucur dari kepala, saya
seperti tengah dikeramas shampoo berwarna merah. Lalu saya menangis.
Dengan kaget
dan terburu-buru saya kemudian digendong Ajo pulang ke rumah. Di jalan, karena
melalui pematang sawah yang licin, kami beberapakali terpeleset ke lumpur dan
rumpun padi. Sesampainya di rumah, langsung di bawa ke puskesmas, disuntik
bius, lalu kepala dijahit. Sampai sekarang, saya masih ingat bagaimana jarum
itu bergerak bebas di kulit kepala. Kalau kawan tidak percaya, tunggu nanti
jika saya dicukur tandas. Niscaya kawan akan melihat segaris pitak yang tak
ditumbuhi rambut di kepala saya yang mulia.
Mungkin
karena hantaman golok di kepala, ketika masuk SMA dan kuliah, prestasi akademik
menjadi hancur. Di SMA hanya menjadi penghuni 20 besar, dan di bangku kuliah lulus
dengan IPK 2,A (Dua koma Alhamdulilah). Dalam jurang keterpurukan itu kadang
saya mengingat kembali masa kecil yang gilang gemilang, ketika banyak guru dan
orang tua yang mengeluh kenapa anak-anak yang lain tak sepintar saya. Mohon ini
jangan dianggap sebagai riya, siapalah saya ini? hanya sumpit lumpia basah yang
sedang mengenang masa kejayaan.
Peristiwa dihantam
golok itu terjadi sekira empat bulan pasca kepala saya yang lain terluka.
Ketika tongkat pusaka akhirnya harus disembelih, saya bergetar ketakutan. Namun
demi melangsungkan hajat besar ini, bapak dan kakak-kakak kerap membujuk dan
menyederhanakan rasa sakit. “Ga usah takut, rasanya kaya digigit semut rangrang
doank kok,” begitu kata kakak yang nomor tiga. Saya waktu itu belum bisa
berpikir jernih, percaya begitu saja. Belakangan baru sadar bahwa itu semua
tipu muslihat belaka. Bagaimana mungkin kakak yang nomor tiga itu tahu rasanya
dikhitan, nyatanya dia seorang perempuan.
Maka hari
bersejarah itu datang juga akhirnya. Pagi-pagi setelah selesai shalat berjamaah
subuh, bapak-bapak yang dari masjid datang ke rumah saya. Muka mereka jernih
sebetulnya, namun dalam pandangan saya menjadi menyeramkan. Dalam kegugupan di
detik-detik menjelang tongkat pusaka diserahkan kepada bengkong (dukun khitan),
dalam benak saya mereka seperti rombongan pengiring di altar persembahan.
Kawan harus
tahu, betapa menderitanya saya. Peristiwa itu terjadi di pekarangan rumah. Tak
disuntik bius, tak direndam dulu dalam sungai yang dingin, tiba-tiba tongkat
pusaka dengan semena-mena dipenggal ujungnya. Allohu Akbar! Sakit betul! Darah
segar memencar berbarengan dengan tangis yang membelah kesunyian pagi. Lalu
bapak-bapak itu bershalawat kepada Rasul junjungan. Saya dipangku bapak menuju
ruang tengah, sementara darah terus mengalir seperti tak mau berhenti. Kemudian
datang Pak Haji Obar, waktu itu usianya kira-kira sudah 70 tahun. Beliau
mendekati saya dan bapak, lalu komat-kamit, mungkin membacakan beberapa do’a.
Dan ajaib, darah yang semula terus mengalir dari yang mulia tongkat pusaka
tiba-tiba berhenti. “Geus tong ceurik, sakeudeung deui ge cageur!,” begitu
ucapnya sambil berlalu.
Sehari
setelah peristiwa mengerikan itu, ibu guru wali kelas dan kawan-kawan sekolah
datang menjenguk. Entah kenapa saya lupa lagi, tongkat pusaka yang masih belum
kering itu tak ditutupi apa-apa. Bebas merdeka menghirup udara kamar, tempat
saya terbaring menunggu kering. Ketika rombongan yang menjenguk datang, barulah
saya tersadar bahwa kawan-kawan perempuan dan ibu guru akan sangat leluasa
mengamati tongkat pusaka yang tengah terluka. Dalam gugup, saya menemukan
solusi. Agar tak terlalu malu, saya langsung pura-pura tidur demi menghindari
wajah-wajah yang tersenyum geli.
Ketika sudah
sembuh dan bisa sekolah lagi, di kelas kawan-kawan banyak yang mengolok-olok
tentang pemandangan di kamar, ketika saya pura-pura tidur. Ya, apa boleh buat,
nyatanya dalam sepetong riwayat hidup, benda sakti ini pernah menjadi tontonan
banyak orang.
Itulah sepenggal kisah tentang dua kepala yang
terluka di masa kecil, dan sampai sekarang tetap berarak di lereng ingatan. Saya
tak hendak melupakannya, biarlah itu selamanya menjadi kenang-kenangan hidup, diceritakan
ulang, dan menjadi penghibur di kala bosan. Sementara siang ini sambil
mengenang masa kecil, saya duduk di depan laptop. Jalan Solontongan tak begitu
ramai. Saya tengah menghitung jejak langkah saya sendiri. [ ]
2 comments:
ieu sareng saha nya anu nulis cerita ieu , eta bumi abdi di2nya ?
Sok Gus tebak heula atuh :D
Kuliah teh di UNPAS Taman Sari?
Post a Comment