20 June 2021

33 Tahun Menjadi Bobotoh Belanda

Setiap orang yang menulis kehidupan masa kecilnya harus tahu, menulis masa bocah seolah dirinya keren adalah pekerjaan sia-sia. Menulis masa lalu harus dilihat dari pandangan masa lalu, bukan sebaliknya. Diri kita yang keren saat ini tak bisa diseret ke belakang, kecuali angka-angka.

Tahun 1988 saat itu. Setahun sebelum saya masuk sekolah dasar. Suatu malam, tiba-tiba saja final Piala Eropa telah datang: Uni Soviet vs Belanda. Paman saya (alm) pegang Soviet, sementara kami—saya dan keponakannya yang lain--pegang Belanda. Kesepakatan sederhana: siapa yang timnya kalah, wajib digetok.

Gullit dan Van Basten cetak gol. Kepala paman saya habis. Sejak itulah saya menjadi bobotoh atau pendukung Belanda. Saat Trio Belanda—Marco Van Basten, Ruud Gullit, dan Frank Rijkaard—ke AC Milan, klub ini juga jadi favorit saya, bertahun-tahun.

Menjadi bobotoh Belanda tak pernah mudah. Sejak 1988, Belanda tak pernah juara lagi. Kutukan Piala Dunia 1974 dan 1978 selalu datang berulang.

Kita sisir Piala Eropa dulu. Warsa 1992 digelar di Swedia. Saya baru kelas 3 SD. Belanda lolos ke semifinal, namun kalah oleh Denmark dalam drama adu pinalti. Pinalti Marco Van Basten gagal. Tim dari Skandinavia ini sebetulnya hanya cadangan. Mereka menggantikan Yugoslavia yang didera Perang Balkan. Namun mereka akhirnya jadi juara dan dijuluki “dinamit”.

Piala Eropa 1996 digelar di Inggris. Saya kelas 1 SMP. Kala itu ramai istilah “Football’s Coming Home”. Nyatanya Inggris terlalu overrated. Bagaimana dengan Belanda? Tersingkir lagi dalam adu pinalti. Kali ini yang gagal mencetak gol adalah Clarence Seedorf.

Empat tahun kemudian Piala Eropa digelar di dua negara: Belanda dan Belgia. Waktu itu saya telah kelas 2 SMA. Tabloid Bola pernah menulis headline berjudul “No Frontier”, sepak bola tanpa batas. Belanda tampil begitu meyakinkan dan lolos ke semifinal, tapi lagi-lagi kalah dalam adu pinalti. Diganjal Italia dengan skor 1-3, padahal sejak menit ke-34 Italia bermain dengan 10 pemain.

Empat warsa setelahnya, atau setahun sebelum saya lulus kuliah, giliran Portugal jadi tuan rumah Piala Eropa. Di perempat final Belanda mengalahkan Swedia lewat adu pinalti, tumben. Namun di semifinal ditekuk Portugal 2-1. Kali ini yang jadi juara Yunani: sangat mengejutkan.

Piala Eropa 2008—digelar di Austria dan Swiss—adalah salah satu episode yang paling menjengkelkan. Di babak penyisihan, Belanda sangat perkasa. Italia dibantai 3-0, Prancis dilumat 4-1, dan menghajar Rumania 2-0. Namun saat berhadapan dengan Rusia di perempat final, Belanda begitu loyo, diobrak-abrik Arshavin cs hingga kalah 1-3.

Edisi berikutnya Piala Eropa digelar di Polandia dan Ukraina. Apa yang terjadi dengan Belanda pada pesta akbar sepakbola tahun 2012 itu? Sampah belaka. Mereka jadi juru kunci setelah ditekuk Denmark 0-1, dikalahkan Jerman 1-2, dan dipermalukan Portugal 2-1. Angkat kaki lebih awal.

Kemudian tahun 2016 pun datang. Kali ini Piala Eropa digelar di Prancis. Belanda lebih dari sampah. Mereka tak lolos setelah hanya finish di urutan ke-4 dalam kualifikasi. Menang 4 kali, imbang 1 kali, dan kalah 5 kali. Di klasemen akhir berada di atas Kazakhtan dan Latvia, tetapi di bawah Turki, Islandia, dan Ceko. Benar-benar busuk!

 

Piala Dunia Lebih Menyakitkan  

Piala Dunia 1990 yang digelar di Italia menjadi Piala Dunia pertama yang diikuti Belanda sejak saya menjadi penggemarnya. Sebagai juara bertahan Piala Eropa dua tahun sebelumnya, dan diperkuat sejumlah pemain bintang, Belanda tentu saja diunggulkan.

Namun, prestasi yang ditunjukkan sebaliknya. Tiga pertandingan dalam babak penyisihan semuanya berakhir imbang: vs Mesir 1-1, vs Inggris 0-0, dan vs Republik Irlandia 1-1. Untung masih lolos ke perdelapan final gara-gara menjadi salah satu tim peringkat ketiga terbaik.

Di babak ini langsung bertemu Jerman Barat yang akhirnya menjadi juara setelah mengalahkan Argentina 1-0. Maradona menangis. Dalam partai itu Frank Rijkaard meludahi Rudi Voeller.

Piala Dunia berikutnya digelar di Amerika Serikat. Terjadi gegar budaya. Penonton Indonesia yang biasanya menyaksikan sepak bola Eropa pada malam atau dini hari, kali ini harus menontonnya pagi hari. Kala itu saya masih kelas 5 sekolah dasar.

Setelah lolos dari Grup F bersama Arab Saudi dan Belgia, Belanda harus berhadapan dengan Republik Irlandia. Berhasil melewati tim semenjana itu, kemudian Brazil telah menanti. Saat itu Romario dan Bebeto tengah menggila. Setelah Aron Winter berhasil menyamakan kedudukan menjadi 2-2 pada menit ke-76, Branco akhirnya membawa Brazil ke semifinal lewat gol dari jarak jauh pada menit ke-81. Belanda pulang.

Saya masuk SMA pada tahun 1998, saat Prancis mendapat giliran menjadi tuan rumah Piala Dunia. Mulai merantau, mulai jauh dari orang tua. Saya lupa, entah di mana saya bisa nonton Piala Dunia, sebab saat itu saya indekos dan tak punya tv.  Induk semang memang punya tv, tapi saya sangat malu untuk ikut menonton sepak bola.

Singkat cerita, Belanda lolos ke perdelapan final lalu menghajar Yugoslavia 2-1. Kemudian membenamkan Argentina di perempat final 2-1 setelah Dennis Bergkamp mencetak gol cantik di menit ke-89. Di semifinal lagi-lagi diadang Brazil dan tersingkir lewat adu pinalti. Phillip Cocu dan Ronald De Boer gagal mencetak gol.

Empat tahun berikutnya Belanda gagal lolos ke Korea Selatan-Jepang. Kalah bersaing di kualifikasi Grup 2 Eropa. Mereka hanya finish di peringkat tiga di bawah Republik Irlandia dan Portugal. Saat itu saya tengah menganggur: sudah lulus SMA tapi tak lolos UMPTN.

Kemudian 2006 datang. Piala Dunia kembali digelar. Jerman menjadi tuan rumah. Saya sudah lulus kuliah dan baru sebulan kerja di sebuah travel di Bandara Sukarno-Hatta. Belanda lolos sih, juga sanggup ke perdelapan final, tapi keburu dihajar Portugal 1-0. Tak istimewa.

Dan saat yang paling menyakitkan pun tiba. 2010 Piala Dunia datang ke Afrika Selatan. Ya, “Waka Waka”, “This Time for Africa”. Saya sudah pindah kerja ke Pulogadung. Di penyisihan grup Belanda sapu bersih: vs Denmark 2-0, vs Jepang 1-0, dan vs Kamerun 2-1. Juara grup.

Slovakia dihajar 2-1 di perdelapan final. Selanjutnya Brazil. Tim yang biasanya mengganjal Belanda itu tak berdaya, ditekuk 2-1 di perempat final. Belanda kian perkasa. Di semifinal giliran Uruguay yang digebuk 3-2. Giovanni Van Bronckhorst cetak gol spektakuler.

Spanyol sudah menunggu di final. Saya nonton di kamar si Jun, kawan indekos yang sehari-hari jualan di ITC Cempaka Mas. Deg-degan sejak menit pertama. Barangkali inilah saatnya menebus kekelahan pada tahun 1974 dan 1978. Arjen Robben berkali-kali mendapat pelung, namun semuanya gagal. Pertandingan dilanjutkan lewat perpanjangan waktu. Dan petaka pun datang pada menit ke-116. Iniesta menjebol gawang Stekelenburg!

Saya tertegun setelah menghamburkan kata anjing.

Besoknya bangun kesiangan. Tiba di kantor hampir pukul 10. Tapi bos tak banyak cincong. Hanya tersenyum. Dia tahu saya bobotoh Belanda.

Empat tahun kemudian di Brazil, dendam terbalaskan. Spanyol dibantai 5-1 di babak penyisihan. Lolos ke perdelapan final sebagai juara grup, Belanda menekuk Meksiko 2-1. Di perempat final ditantang Kosta Rika: menang lewat adu pinalti. Tim Krul tampil cemerlang. Sayang, di semifinal yang lagi-lagi harus diakhiri dengan adu pinalti, Louis Van Gaal tak menurunkan Tim Krul. Dia malah memasang Jasper Cillessen. Belanda pun tersingkir setelah kalah dari Argentina.

Tahun 2018, Belanda mengulang mimpi buruk 2002: kembali tak lolos. Di kualifikasi Grup A zona Eropa, Belanda hanya finish di urutan ke-3. Di bawah Swedia dan Prancis, dan hanya di atas Bulgaria, Luksemburg, dan Belarus.


Piala Eropa 2020 dan Piala Dunia 2022  

Piala Eropa 2020 tengah berlangsung. Ya, gara-gara pandemi, gelaran akbar itu diundur satu tahun. Setelah mengalahkan Ukraina (3-2) dan Austria (2-0), Belanda akan menjalani partai ke-3 besok malam melawan Makedonia Utara. Saya kira tak akan menemui kendala berarti. Belanda telah lolos sebagai juara grup, tinggal menanti lawan berikutnya. Semoga Mola TV tidak terus-terusan menjadi medioker.

Pada kualifikasi Piala Dunia 2022, Belanda sementara berada di urutan ke-2, di bawah Turki. Apakah akan lolos? Saya sih optimis. Tapi kita lihat saja.

Waktu berlalu, masa berganti, generasi berubah. Marco Van Basten, Dennis Bergkamp, dan Robin van Persie telah pensiun. Kini saya menonton generasi Denzel Dumfries, Donyell Malen, dan Matthijs de Ligt.

33 tahun hati saya selalu oranye, dan selamanya. (irf)    

No comments: