Setiap orang yang menulis kehidupan
masa kecilnya harus tahu, menulis masa bocah seolah dirinya keren adalah
pekerjaan sia-sia. Menulis masa lalu harus dilihat dari pandangan masa lalu,
bukan sebaliknya. Diri kita yang keren saat ini tak bisa diseret ke belakang,
kecuali angka-angka.
Tahun 1988 saat itu. Setahun sebelum
saya masuk sekolah dasar. Suatu malam, tiba-tiba saja final Piala Eropa telah
datang: Uni Soviet vs Belanda. Paman saya (alm) pegang Soviet, sementara
kami—saya dan keponakannya yang lain--pegang Belanda. Kesepakatan sederhana:
siapa yang timnya kalah, wajib digetok.
Gullit dan Van Basten cetak gol.
Kepala paman saya habis. Sejak itulah saya menjadi bobotoh atau pendukung
Belanda. Saat Trio Belanda—Marco Van Basten, Ruud Gullit, dan Frank Rijkaard—ke
AC Milan, klub ini juga jadi favorit saya, bertahun-tahun.
Menjadi bobotoh Belanda tak pernah
mudah. Sejak 1988, Belanda tak pernah juara lagi. Kutukan Piala Dunia 1974 dan
1978 selalu datang berulang.
Kita sisir Piala Eropa dulu. Warsa
1992 digelar di Swedia. Saya baru kelas 3 SD. Belanda lolos ke semifinal, namun
kalah oleh Denmark dalam drama adu pinalti. Pinalti Marco Van Basten gagal. Tim
dari Skandinavia ini sebetulnya hanya cadangan. Mereka menggantikan Yugoslavia
yang didera Perang Balkan. Namun mereka akhirnya jadi juara dan dijuluki
“dinamit”.
Piala Eropa 1996 digelar di Inggris. Saya
kelas 1 SMP. Kala itu ramai istilah “Football’s
Coming Home”. Nyatanya Inggris terlalu overrated.
Bagaimana dengan Belanda? Tersingkir lagi dalam adu pinalti. Kali ini yang
gagal mencetak gol adalah Clarence Seedorf.
Empat tahun kemudian Piala Eropa
digelar di dua negara: Belanda dan Belgia. Waktu itu saya telah kelas 2 SMA. Tabloid Bola pernah menulis headline
berjudul “No Frontier”, sepak bola tanpa batas. Belanda tampil begitu
meyakinkan dan lolos ke semifinal, tapi lagi-lagi kalah dalam adu pinalti.
Diganjal Italia dengan skor 1-3, padahal sejak menit ke-34 Italia bermain
dengan 10 pemain.
Empat warsa setelahnya, atau setahun
sebelum saya lulus kuliah, giliran Portugal jadi tuan rumah Piala Eropa. Di
perempat final Belanda mengalahkan Swedia lewat adu pinalti, tumben. Namun di
semifinal ditekuk Portugal 2-1. Kali ini yang jadi juara Yunani: sangat
mengejutkan.
Piala Eropa 2008—digelar di Austria
dan Swiss—adalah salah satu episode yang paling menjengkelkan. Di babak
penyisihan, Belanda sangat perkasa. Italia dibantai 3-0, Prancis dilumat 4-1,
dan menghajar Rumania 2-0. Namun saat berhadapan dengan Rusia di perempat
final, Belanda begitu loyo, diobrak-abrik Arshavin cs hingga kalah 1-3.
Edisi berikutnya Piala Eropa digelar
di Polandia dan Ukraina. Apa yang terjadi dengan Belanda pada pesta akbar
sepakbola tahun 2012 itu? Sampah belaka. Mereka jadi juru kunci setelah ditekuk
Denmark 0-1, dikalahkan Jerman 1-2, dan dipermalukan Portugal 2-1. Angkat kaki
lebih awal.
Kemudian tahun 2016 pun datang. Kali
ini Piala Eropa digelar di Prancis. Belanda lebih dari sampah. Mereka tak lolos
setelah hanya finish di urutan ke-4 dalam kualifikasi. Menang 4 kali, imbang 1
kali, dan kalah 5 kali. Di klasemen akhir berada di atas Kazakhtan dan Latvia,
tetapi di bawah Turki, Islandia, dan Ceko. Benar-benar busuk!
Piala Dunia Lebih Menyakitkan
Piala Dunia 1990 yang digelar di
Italia menjadi Piala Dunia pertama yang diikuti Belanda sejak saya menjadi
penggemarnya. Sebagai juara bertahan Piala Eropa dua tahun sebelumnya, dan
diperkuat sejumlah pemain bintang, Belanda tentu saja diunggulkan.
Namun, prestasi yang ditunjukkan
sebaliknya. Tiga pertandingan dalam babak penyisihan semuanya berakhir imbang:
vs Mesir 1-1, vs Inggris 0-0, dan vs Republik Irlandia 1-1. Untung masih lolos
ke perdelapan final gara-gara menjadi salah satu tim peringkat ketiga terbaik.
Di babak ini langsung bertemu Jerman
Barat yang akhirnya menjadi juara setelah mengalahkan Argentina 1-0. Maradona
menangis. Dalam partai itu Frank Rijkaard meludahi Rudi Voeller.
Setelah lolos dari Grup F bersama
Arab Saudi dan Belgia, Belanda harus berhadapan dengan Republik Irlandia.
Berhasil melewati tim semenjana itu, kemudian Brazil telah menanti. Saat itu
Romario dan Bebeto tengah menggila. Setelah Aron Winter berhasil menyamakan
kedudukan menjadi 2-2 pada menit ke-76, Branco akhirnya membawa Brazil ke
semifinal lewat gol dari jarak jauh pada menit ke-81. Belanda pulang.
Saya masuk SMA pada tahun 1998, saat
Prancis mendapat giliran menjadi tuan rumah Piala Dunia. Mulai merantau, mulai
jauh dari orang tua. Saya lupa, entah di mana saya bisa nonton Piala Dunia,
sebab saat itu saya indekos dan tak punya tv.
Induk semang memang punya tv, tapi saya sangat malu untuk ikut menonton
sepak bola.
Singkat cerita, Belanda lolos ke
perdelapan final lalu menghajar Yugoslavia 2-1. Kemudian membenamkan Argentina
di perempat final 2-1 setelah Dennis Bergkamp mencetak gol cantik di menit
ke-89. Di semifinal lagi-lagi diadang Brazil dan tersingkir lewat adu pinalti.
Phillip Cocu dan Ronald De Boer gagal mencetak gol.
Empat tahun berikutnya Belanda gagal
lolos ke Korea Selatan-Jepang. Kalah bersaing di kualifikasi Grup 2 Eropa.
Mereka hanya finish di peringkat tiga di bawah Republik Irlandia dan Portugal. Saat
itu saya tengah menganggur: sudah lulus SMA tapi tak lolos UMPTN.
Kemudian 2006 datang. Piala Dunia
kembali digelar. Jerman menjadi tuan rumah. Saya sudah lulus kuliah dan baru
sebulan kerja di sebuah travel di Bandara Sukarno-Hatta. Belanda lolos sih,
juga sanggup ke perdelapan final, tapi keburu dihajar Portugal 1-0. Tak
istimewa.
Dan saat yang paling menyakitkan pun
tiba. 2010 Piala Dunia datang ke Afrika Selatan. Ya, “Waka Waka”, “This Time
for Africa”. Saya sudah pindah kerja ke Pulogadung. Di penyisihan grup Belanda
sapu bersih: vs Denmark 2-0, vs Jepang 1-0, dan vs Kamerun 2-1. Juara grup.
Slovakia dihajar 2-1 di perdelapan final. Selanjutnya Brazil. Tim yang biasanya mengganjal Belanda itu tak berdaya, ditekuk 2-1 di perempat final. Belanda kian perkasa. Di semifinal giliran Uruguay yang digebuk 3-2. Giovanni Van Bronckhorst cetak gol spektakuler.
Spanyol sudah menunggu di final. Saya nonton di kamar si Jun, kawan indekos yang sehari-hari jualan di ITC Cempaka Mas. Deg-degan sejak menit pertama. Barangkali inilah saatnya menebus kekelahan pada tahun 1974 dan 1978. Arjen Robben berkali-kali mendapat pelung, namun semuanya gagal. Pertandingan dilanjutkan lewat perpanjangan waktu. Dan petaka pun datang pada menit ke-116. Iniesta menjebol gawang Stekelenburg!
Saya tertegun setelah menghamburkan
kata anjing.
Besoknya bangun kesiangan. Tiba di
kantor hampir pukul 10. Tapi bos tak banyak cincong. Hanya tersenyum. Dia tahu
saya bobotoh Belanda.
Tahun 2018, Belanda mengulang mimpi buruk 2002: kembali tak lolos. Di kualifikasi Grup A zona Eropa, Belanda hanya finish di urutan ke-3. Di bawah Swedia dan Prancis, dan hanya di atas Bulgaria, Luksemburg, dan Belarus.
Piala Eropa 2020 tengah berlangsung.
Ya, gara-gara pandemi, gelaran akbar itu diundur satu tahun. Setelah
mengalahkan Ukraina (3-2) dan Austria (2-0), Belanda akan menjalani partai ke-3
besok malam melawan Makedonia Utara. Saya kira tak akan menemui kendala
berarti. Belanda telah lolos sebagai juara grup, tinggal menanti lawan
berikutnya. Semoga Mola TV tidak terus-terusan menjadi medioker.
Pada kualifikasi Piala Dunia 2022,
Belanda sementara berada di urutan ke-2, di bawah Turki. Apakah akan lolos?
Saya sih optimis. Tapi kita lihat saja.
Waktu berlalu, masa berganti,
generasi berubah. Marco Van Basten, Dennis Bergkamp, dan Robin van Persie telah
pensiun. Kini saya menonton generasi Denzel Dumfries, Donyell Malen, dan Matthijs
de Ligt.
33 tahun hati saya selalu oranye, dan
selamanya. (irf)
No comments:
Post a Comment