“Adalah kau tuangkan cinta
ke dalam tungku yang tengah panas menyala
Adalah kau padamkan bara
Tatkala hangat mulai membuai jiwa”
--KLA Project
Sebetulnya lirik lagu itu kurang begitu tepat dengan kisah ini. Ya, ini bukan cerita tentang muda-mudi yang tengah dibuai asmara. Tetapi ihwal rumah tangga yang retak setelah punya anak tiga, setelah posisi si suami lumayan dalam pekerjaannya, dan setelah mampu membeli sepetak sawah. Singkatnya tengah menanjak. Bukankah ini juga semacam “tungku yang tengah panas menyala?”
Seorang istri akhirnya hanya mampu
menangis. Betapa tidak, ia meski terpisah dengan dua orang anaknya yang masih
bocah. Juga karena perpisahan ini bukan kehendaknya, juga bukan kehendak
suaminya, tapi kemauan sang mertua.
Orang tua ini “pidunya (mata duitan)”
dan “umaing (bersikap sekehendak hati)”. Sawah yang ia dan suaminya beli dari
hasil menabung, dipinta mertua. Alasannya klasik: masa lebih membela istri
daripada berbakti kepada orang tua. Si suami tak bisa berbuat banyak, atau
lebih tepatnya lemah, tak punya pendirian: sawah pun lepas.
Hal-hal seperti inilah yang juga
akhirnya menyeret mereka pada “pipisahan” atau perpisahan. Setelah itu, yang
tersisa hanyalah kepiluan: baik bagi si istri, maupun si suami, juga
anak-anaknya.
Rahmatullah Ading Affandie (RAF)
begitu piawai menceritakan betapa hancurnya hati seorang perempuan ketika mulai
menyandang status janda karena perceraian. Sedih, malu, marah, kesal, sesal,
letih, cemas, muak, semuanya berselempang dalam hati.
Apalagi saat ia harus pulang ke rumah
orang tuanya hanya berdua dengan anaknya yang paling kecil, rasanya seperti
dicampakkan sebenar betul. Suaminya tak bisa mengantar karena kerja. Anaknya
yang pertama sekolah. Anaknya yang kedua, perhatiannya tengah dialihkan oleh
pembantunya agar tak tahu ibunya pergi. Maka hanya si perempuan dan anaknya
yang masih di gendongan, yang berat mengemasi air mata, kesedihan terlampau
berpilin.
Ia lihat lagi untuk yang terakhir
kali kamarnya, ruangan tempat ia dan suaminya—meminjam kutipan puisi Sapardi
Djoko Damono—“pernah bercinta, pernah saling berbohong, saling lebur.” Juga
kamar anaknya, dapur, ruang tengah, halaman. Ia membayangkan bagaimana nanti
saat anak pertamanya pulang? Anak itu pasti mencari ibunya yang telah pergi.
Juga anaknya yang kedua, pasti menangis keras karena kehilangan dirinya.
Lemari, hiasan dinding, kursi,
seprai, benda-benda itu akan segera ditinggalkannya dan meranggas bersama
kenangan. Saat itulah air matanya seperti hendak kering. Letih sudah menangis
terus, kalbu koyak tak menentu. Dan saat suara delman yang hendak menjemputnya
mulai terdengar, ia pun melangkah dengan perasaan remuk redam.
Ketika tiba di stasiun, semua mata
seperti tertuju padanya. Kereta api mulai datang dan akan membawanya ke
kampung, tempat yang juga akan menghukumnya dengan beribu tatapan dan dugaan. Di
dalam gerbong, lagi-lagi semua orang seolah merundungnya dengan pelbagai
pertanyaan:
“Ke mana bapaknya? Kok bepergian
hanya berdua saja?”; “Kenapa mata sampai bengkak? Apa yang ditangisi selama
itu?”; dan lain-lain, dan lain-lain. Tudingan seolah bertubi-tubi. Bahkan,
petugas karcis pun seolah hendak bertanya, “Berdua saja? Ayahnya ke mana?”
Padahal semuanya berjalan seperti
biasa. Tak ada seorang pun yang bertanya. Hanya hatinya yang mereka-reka.
Ketakutan mengepung. Cemas. Letih. Begini buruk akhir rumah tangga, hanya
mencampakkannya menjadi seorang janda.
Tapi rumah dan orang tua selamanya
menjadi payung. Ia dihibur, segala luka batin berusaha diobati. Saudara-saudaranya
bergantian menginap di rumahnya, agar ia tak merasa sendiri dan kesepian. Para
tetangga datang silih berganti: membawa makanan, membawa penghiburan.
Namun, menjadi janda selamanya tak
pernah mudah. Segala perhatian dan penghiburan itu seolah tak berbekas. Langit
batinnya tetap mendung. Maka akhirnya Mama (bapaknya) berkata:
“Mangka inget, urang téh teu bisa hayoh waé nyeungceurikan
‘kalakay murag’, midangdam hayang alam nu kaliwat kasorang deui. Teu bisa urang
mah. Poé anu kamari, mustahil datang deui. Nu pasti, aya poé isuk nu ku urang
kudu disanghareupan.”
Mama membesarkan hatinya. Ya, masa
lalu tak bisa kembali, juga tak bisa didatangi lagi. Sekarang yang terpenting
adalah menatap masa depan.
Sementaranya kakaknya yang paling besar
berucap, “Pantrang urang mah maké jeung
kudu béak déngkak, pédah rancatan karasa rengat.”
Ya, tak boleh kehabisan langkahnya,
hanya karena jalur yang ditempuh menjadi buntu. Masih banyak jalan, masih
banyak cara, dunia terlampau luas, kesempatan terhampar di mana-mana.
Maka ia pun mulai bangkit. Hari demi
hari diisinya dengan menjahit. Satu dua tatangga mulai datang membawa kain,
minta dibuatkan kebaya, kemeja, celana, dan sebagainya. Lama kelamaan pesanan
mulai menggunung. Selanjutnya ia mulai berjualan kain. Tiap bulan belanja ke
kota, lalu menjualnya berkeliling dari kampung ke kampung. Singkatnya, langit
kembali cerah, kehidupan berdenyut lagi.
Sementara mantan suaminya justru
perlahan terbenam. Meski telah beristri lagi, tapi cintanya kepada istri
pertama tak bisa dihapuskan. Penyakit mulai berdatangan. Kondisinya kian lemah,
bertambah-tambah lemah. Ya, selemah dia yang tak mampu menolak keinginan orang
tua yang menghancurkan hidupnya.
Bagaimana mungkin selamanya tunduk kepada
orang tua jika kebahagiaan sendiri justru tercerabut? RAF seolah ingin menohok
lelaki seperti ini: tunduk pada orang tua, sementara keluarganya hancur. Ya,
inilah tipe suami yang tak patut dikasihani. Suami yang peragu, bimbang, dan tak
berani bersuara.
Namun saya kira, saya sepakat dengan
pendapat Joko Anwar. Dia mengatakan bahwa film atau sinema tak wajib membawa
pelajaran atau pesan, tugasnya hanya memberikan pengalaman. Begitu pula dengan
karya sastra: pengalaman membaca lebih penting daripada tetek bengek pesan dan
pelajaran. (irf)
No comments:
Post a Comment