19 June 2021

Mertua Penyebab Perceraian dan Janda yang Bangkit dari Keterpurukan

“Adalah kau tuangkan cinta

ke dalam tungku yang tengah panas menyala

Adalah kau padamkan bara

Tatkala hangat mulai membuai jiwa”

--KLA Project

Sebetulnya lirik lagu itu kurang begitu tepat dengan kisah ini. Ya, ini bukan cerita tentang muda-mudi yang tengah dibuai asmara. Tetapi ihwal rumah tangga yang retak setelah punya anak tiga, setelah posisi si suami lumayan dalam pekerjaannya, dan setelah mampu membeli sepetak sawah. Singkatnya tengah menanjak. Bukankah ini juga semacam “tungku yang tengah panas menyala?”     

Seorang istri akhirnya hanya mampu menangis. Betapa tidak, ia meski terpisah dengan dua orang anaknya yang masih bocah. Juga karena perpisahan ini bukan kehendaknya, juga bukan kehendak suaminya, tapi kemauan sang mertua.

Orang tua ini “pidunya (mata duitan)” dan “umaing (bersikap sekehendak hati)”. Sawah yang ia dan suaminya beli dari hasil menabung, dipinta mertua. Alasannya klasik: masa lebih membela istri daripada berbakti kepada orang tua. Si suami tak bisa berbuat banyak, atau lebih tepatnya lemah, tak punya pendirian: sawah pun lepas.

Hal-hal seperti inilah yang juga akhirnya menyeret mereka pada “pipisahan” atau perpisahan. Setelah itu, yang tersisa hanyalah kepiluan: baik bagi si istri, maupun si suami, juga anak-anaknya.

Rahmatullah Ading Affandie (RAF) begitu piawai menceritakan betapa hancurnya hati seorang perempuan ketika mulai menyandang status janda karena perceraian. Sedih, malu, marah, kesal, sesal, letih, cemas, muak, semuanya berselempang dalam hati.   

Apalagi saat ia harus pulang ke rumah orang tuanya hanya berdua dengan anaknya yang paling kecil, rasanya seperti dicampakkan sebenar betul. Suaminya tak bisa mengantar karena kerja. Anaknya yang pertama sekolah. Anaknya yang kedua, perhatiannya tengah dialihkan oleh pembantunya agar tak tahu ibunya pergi. Maka hanya si perempuan dan anaknya yang masih di gendongan, yang berat mengemasi air mata, kesedihan terlampau berpilin.

Ia lihat lagi untuk yang terakhir kali kamarnya, ruangan tempat ia dan suaminya—meminjam kutipan puisi Sapardi Djoko Damono—“pernah bercinta, pernah saling berbohong, saling lebur.” Juga kamar anaknya, dapur, ruang tengah, halaman. Ia membayangkan bagaimana nanti saat anak pertamanya pulang? Anak itu pasti mencari ibunya yang telah pergi. Juga anaknya yang kedua, pasti menangis keras karena kehilangan dirinya.

Lemari, hiasan dinding, kursi, seprai, benda-benda itu akan segera ditinggalkannya dan meranggas bersama kenangan. Saat itulah air matanya seperti hendak kering. Letih sudah menangis terus, kalbu koyak tak menentu. Dan saat suara delman yang hendak menjemputnya mulai terdengar, ia pun melangkah dengan perasaan remuk redam.

Ketika tiba di stasiun, semua mata seperti tertuju padanya. Kereta api mulai datang dan akan membawanya ke kampung, tempat yang juga akan menghukumnya dengan beribu tatapan dan dugaan. Di dalam gerbong, lagi-lagi semua orang seolah merundungnya dengan pelbagai pertanyaan:

“Ke mana bapaknya? Kok bepergian hanya berdua saja?”; “Kenapa mata sampai bengkak? Apa yang ditangisi selama itu?”; dan lain-lain, dan lain-lain. Tudingan seolah bertubi-tubi. Bahkan, petugas karcis pun seolah hendak bertanya, “Berdua saja? Ayahnya ke mana?”

Padahal semuanya berjalan seperti biasa. Tak ada seorang pun yang bertanya. Hanya hatinya yang mereka-reka. Ketakutan mengepung. Cemas. Letih. Begini buruk akhir rumah tangga, hanya mencampakkannya menjadi seorang janda.

Tapi rumah dan orang tua selamanya menjadi payung. Ia dihibur, segala luka batin berusaha diobati. Saudara-saudaranya bergantian menginap di rumahnya, agar ia tak merasa sendiri dan kesepian. Para tetangga datang silih berganti: membawa makanan, membawa penghiburan.

Namun, menjadi janda selamanya tak pernah mudah. Segala perhatian dan penghiburan itu seolah tak berbekas. Langit batinnya tetap mendung. Maka akhirnya Mama (bapaknya) berkata:    

“Mangka inget, urang téh teu bisa hayoh waé nyeungceurikan ‘kalakay murag’, midangdam hayang alam nu kaliwat kasorang deui. Teu bisa urang mah. Poé anu kamari, mustahil datang deui. Nu pasti, aya poé isuk nu ku urang kudu disanghareupan.”

Mama membesarkan hatinya. Ya, masa lalu tak bisa kembali, juga tak bisa didatangi lagi. Sekarang yang terpenting adalah menatap masa depan.

Sementaranya kakaknya yang paling besar berucap, “Pantrang urang mah maké jeung kudu béak déngkak, pédah rancatan karasa rengat.”

Ya, tak boleh kehabisan langkahnya, hanya karena jalur yang ditempuh menjadi buntu. Masih banyak jalan, masih banyak cara, dunia terlampau luas, kesempatan terhampar di mana-mana.

Maka ia pun mulai bangkit. Hari demi hari diisinya dengan menjahit. Satu dua tatangga mulai datang membawa kain, minta dibuatkan kebaya, kemeja, celana, dan sebagainya. Lama kelamaan pesanan mulai menggunung. Selanjutnya ia mulai berjualan kain. Tiap bulan belanja ke kota, lalu menjualnya berkeliling dari kampung ke kampung. Singkatnya, langit kembali cerah, kehidupan berdenyut lagi.

Sementara mantan suaminya justru perlahan terbenam. Meski telah beristri lagi, tapi cintanya kepada istri pertama tak bisa dihapuskan. Penyakit mulai berdatangan. Kondisinya kian lemah, bertambah-tambah lemah. Ya, selemah dia yang tak mampu menolak keinginan orang tua yang menghancurkan hidupnya.

Bagaimana mungkin selamanya tunduk kepada orang tua jika kebahagiaan sendiri justru tercerabut? RAF seolah ingin menohok lelaki seperti ini: tunduk pada orang tua, sementara keluarganya hancur. Ya, inilah tipe suami yang tak patut dikasihani. Suami yang peragu, bimbang, dan tak berani bersuara.

Namun saya kira, saya sepakat dengan pendapat Joko Anwar. Dia mengatakan bahwa film atau sinema tak wajib membawa pelajaran atau pesan, tugasnya hanya memberikan pengalaman. Begitu pula dengan karya sastra: pengalaman membaca lebih penting daripada tetek bengek pesan dan pelajaran. (irf)

No comments: