Korok tinggal di sebuah desa yang biasa saja, di negara bagian Odisha, India. Tapi seperti terjadi di banyak tempat, orang-orang kota dilanda wabah ‘noble savage’. Yaitu, “suatu keadaan ketika manusia modern yang tidak begitu bahagia dengan kehidupan yang mereka jalani, percaya bahwa orang-orang seperti [Korok dan] suku Gondi bisa dibilang sempurna atau lebih baik atau tak seberapa rumit.”
Sang ibu
telah tiada. Sementara bapaknya dibui atas tuduhan kriminal yang tidak pernah
dia lakukan. Dan lagi-lagi seperti terjadi di banyak tempat, tak banyak yang
bisa diharapkan dari polisi. Orang-orang kampung seperti bapaknya hanya bisa
bungkam, menunggu kepastian hukum yang entah. Atau seperti diungkapkan Siddhartha
Sarma sang penulis buku ini:
“Setelah ayahnya ditahan, Korok diperkenalkan
pada mesin paling rumit di negeri ini: sistem hukum. Mesin yang menelan
orang-orang biasa dan menggiling mereka perlahan-lahan.”
Bocah putus sekolah yang berusia
belasan tahun ini berkawan dengan Anchita, putri seorang pejabat pindahan. Dia
dan orang tuanya menempati rumah yang kebunnya dirawat oleh Korok. Dari
Anchita, Korok mengetahui banyak hal baru. Begitu juga sebaliknya.
Semuanya berjalan baik-baik saja
hingga suatu hari--ketika asyik bermain--keduanya berjumpa dengan orang-orang
perusahaan tambang yang dikawal sejumlah polisi. Kabar buruk: bukit yang disakralkan
suku Gondi (Perbukitan Devi) hendak ditambang demi mengeruk kandungan
mineralnya.
Korok yang lugu mulanya tak banyak
omong, tipikal orang desa yang sering ditampilkan dalam pelbagai konstruksi
orang kota. Namun, Anchita akhirnya memberi tahu, “Kau tidak tahu banyak
tentang pemerintah, Korok. Ia adalah makhluk yang sangat, sangat besar. Begitu
besar bahkan, sampai-sampai tak mengenal dirinya sendiri.”
Lewat informasi yang ia dapatkan di
internet, Anchita tahu, permufakatan jahat tengah berjalan antara perusahaan dengan pemerintah. Mereka hendak mengusir suku Gondi, merusak bukit yang mereka
sakralkan, dan mengeruk isi perutnya.
Protes sempat dilakukan orang-orang
Gondi dengan cara memblokir jalan, tetapi segera dipukul mundur oleh siapa lagi
kalau bukan polisi. Komandannya, komandan polisi itu terkenal bengis dan korup.
Patnaik namanya. Dia dibutuhkan para “penyelundup kayu, pengusaha, dan
perusahaan-perusahaan, mereka semua mengandalkannya.”
Penghalauan warga yang disertai
kekerasan akhirnya terdengar ke pelbagai tempat. Kabar menyebar secepat sampar.
Komandan polisi mendapat teguran keras dari atasannya. Tak lama kemudian sejumlah
aktivis berdatangan ke desa tempat suku Gondi tinggal. Namun, ya seperti
terjadi di banyak tempat, keberadaan mereka tak pernah lama, bahkan nyaris
seperti turis, lebih banyak merepotkan daripada membantu.
Meski demikian, pemberitaan tentang
bobroknya rencana perusahaan dan pemerintah kian kencang. Untuk mengatasinya,
perusahaan akhirnya menurunkan ‘orang pintar’ yang bertugas mengembuskan isu
tak sedap hingga narasi berbalik. Orang-orang suku Gondi dituduh disusupi oleh
kelompok bersenjata yang kerap melawan pemerintah.
Perhatikan polanya. Mereka yang
hendak merusak Perbukitan Devi itu mula-mula merepresi masyarakat dengan
kekerasan yang dilakukan aparat. Itu tak mempan, lalu narasi dibalikkan. Kiwari,
kita mengenalnya sebagai praktik kriminalisasi yang menyeret warga menjadi
pesakitan. Terdengar sangat familier dengan yang kerap terjadi hari-hari ini,
di banyak tempat, di Indonesia.
Bagaimana dengan pemerintah? Apakah mereka membantu perjuangan suku Gondi?
“Lihat saja. Begitulah pemerintah bekerja. Ia cepat lupa. Kadang-kadang, Korok, yang terbaik adalah jika pemerintah melupakan kita,” ujar Anchita.
Atau seperti yang diungkapkan Jadob,
warga yang ikut memelopori perlawanan suku Gondi terhadap rencana penghancuran
Perbukitan Devi, “Seperti dewa yang berjarak, atau raksasa yang linglung,
meminta bantuan pemerintah akan mendatangkan lebih banyak kerugian daripada
kebaikan.”
Sekali waktu, saat Korok mengurus
kebun di rumah Achita, dia diberitahu kawannya itu bahwa perusahaan dan
pemerintah serupa gulma. Ya, gulma. Tak seorang pun mampu menghentikan mereka.
Mereka mengambil paksa apa yang mereka mau. Kompak, penuh tekad, sangat kuat,
dan punya banyak uang.
“Kalau mereka menginginkan petak
bungamu atau desamu atau bukitmu, mereka akan mendapatkannya. Pemerintah akan
memaksamu pindah, dan memberikan tanahnya kepada mereka,” imbuh Anchita.
Sementara menurut Korok, gulma tak
sejahat itu. Mereka tidak begitu saja menyerobot petak bunga atau kebun. Mereka
juga tidak bersekongkol atau membuat rencana-rencana rahasia dan sebagainya.
Artinya, perusahaan dan pemerintah lebih buruk daripada gulma. Namun korok mengerti
apa yang ingin disampaikan Anchita. “Gulma tak pernah menjadi kabar baik bagi
sebuah kebun.”
Akhir perjuangan Korok dan suku Gondi lainnya dalam melawan para gulma adalah sesuatu yang langka terjadi di Indonesia. Mereka menang. Siddhartha Sarma barangkali ingin memberikan pengalaman membaca yang tidak terlalu traumatik bagi para remaja.
Ya, Tahun Penuh Gulma (2020) merupakan seri Pustaka Mekar, buku dari Marjin Kiri yang ditujukan untuk para pembaca muda. Dalam kasus ini, agar mereka sedari dini terbiasa melawan gulma J (irf)
1 comment:
hmm, menarik. buku dgn genre seperti ini termasuk yang masih jarang beredar di Indonesia, terlebih yg memang menyasar pembaca muda.
Post a Comment