05 June 2021

Bocah Kampung Melawan Mufakat Jahat Perusahaan dan Pemerintah


Korok tinggal di sebuah desa yang biasa saja, di negara bagian Odisha, India. Tapi seperti terjadi di banyak tempat, orang-orang kota dilanda wabah ‘noble savage’. Yaitu, “suatu keadaan ketika manusia modern yang tidak begitu bahagia dengan kehidupan yang mereka jalani, percaya bahwa orang-orang seperti [Korok dan] suku Gondi bisa dibilang sempurna atau lebih baik atau tak seberapa rumit.”

Sang ibu telah tiada. Sementara bapaknya dibui atas tuduhan kriminal yang tidak pernah dia lakukan. Dan lagi-lagi seperti terjadi di banyak tempat, tak banyak yang bisa diharapkan dari polisi. Orang-orang kampung seperti bapaknya hanya bisa bungkam, menunggu kepastian hukum yang entah. Atau seperti diungkapkan Siddhartha Sarma sang penulis buku ini:

“Setelah ayahnya ditahan, Korok diperkenalkan pada mesin paling rumit di negeri ini: sistem hukum. Mesin yang menelan orang-orang biasa dan menggiling mereka perlahan-lahan.”

Bocah putus sekolah yang berusia belasan tahun ini berkawan dengan Anchita, putri seorang pejabat pindahan. Dia dan orang tuanya menempati rumah yang kebunnya dirawat oleh Korok. Dari Anchita, Korok mengetahui banyak hal baru. Begitu juga sebaliknya.

Semuanya berjalan baik-baik saja hingga suatu hari--ketika asyik bermain--keduanya berjumpa dengan orang-orang perusahaan tambang yang dikawal sejumlah polisi. Kabar buruk: bukit yang disakralkan suku Gondi (Perbukitan Devi) hendak ditambang demi mengeruk kandungan mineralnya.

Korok yang lugu mulanya tak banyak omong, tipikal orang desa yang sering ditampilkan dalam pelbagai konstruksi orang kota. Namun, Anchita akhirnya memberi tahu, “Kau tidak tahu banyak tentang pemerintah, Korok. Ia adalah makhluk yang sangat, sangat besar. Begitu besar bahkan, sampai-sampai tak mengenal dirinya sendiri.”

Lewat informasi yang ia dapatkan di internet, Anchita tahu, permufakatan jahat tengah berjalan antara perusahaan dengan pemerintah. Mereka hendak mengusir suku Gondi, merusak bukit yang mereka sakralkan, dan mengeruk isi perutnya.

Protes sempat dilakukan orang-orang Gondi dengan cara memblokir jalan, tetapi segera dipukul mundur oleh siapa lagi kalau bukan polisi. Komandannya, komandan polisi itu terkenal bengis dan korup. Patnaik namanya. Dia dibutuhkan para “penyelundup kayu, pengusaha, dan perusahaan-perusahaan, mereka semua mengandalkannya.”

Penghalauan warga yang disertai kekerasan akhirnya terdengar ke pelbagai tempat. Kabar menyebar secepat sampar. Komandan polisi mendapat teguran keras dari atasannya. Tak lama kemudian sejumlah aktivis berdatangan ke desa tempat suku Gondi tinggal. Namun, ya seperti terjadi di banyak tempat, keberadaan mereka tak pernah lama, bahkan nyaris seperti turis, lebih banyak merepotkan daripada membantu.

Meski demikian, pemberitaan tentang bobroknya rencana perusahaan dan pemerintah kian kencang. Untuk mengatasinya, perusahaan akhirnya menurunkan ‘orang pintar’ yang bertugas mengembuskan isu tak sedap hingga narasi berbalik. Orang-orang suku Gondi dituduh disusupi oleh kelompok bersenjata yang kerap melawan pemerintah.

Perhatikan polanya. Mereka yang hendak merusak Perbukitan Devi itu mula-mula merepresi masyarakat dengan kekerasan yang dilakukan aparat. Itu tak mempan, lalu narasi dibalikkan. Kiwari, kita mengenalnya sebagai praktik kriminalisasi yang menyeret warga menjadi pesakitan. Terdengar sangat familier dengan yang kerap terjadi hari-hari ini, di banyak tempat, di Indonesia.

Bagaimana dengan pemerintah? Apakah mereka membantu perjuangan suku Gondi?             

“Lihat saja. Begitulah pemerintah bekerja. Ia cepat lupa. Kadang-kadang, Korok, yang terbaik adalah jika pemerintah melupakan kita,” ujar Anchita.

Atau seperti yang diungkapkan Jadob, warga yang ikut memelopori perlawanan suku Gondi terhadap rencana penghancuran Perbukitan Devi, “Seperti dewa yang berjarak, atau raksasa yang linglung, meminta bantuan pemerintah akan mendatangkan lebih banyak kerugian daripada kebaikan.”

Sekali waktu, saat Korok mengurus kebun di rumah Achita, dia diberitahu kawannya itu bahwa perusahaan dan pemerintah serupa gulma. Ya, gulma. Tak seorang pun mampu menghentikan mereka. Mereka mengambil paksa apa yang mereka mau. Kompak, penuh tekad, sangat kuat, dan punya banyak uang.

“Kalau mereka menginginkan petak bungamu atau desamu atau bukitmu, mereka akan mendapatkannya. Pemerintah akan memaksamu pindah, dan memberikan tanahnya kepada mereka,” imbuh Anchita.

Sementara menurut Korok, gulma tak sejahat itu. Mereka tidak begitu saja menyerobot petak bunga atau kebun. Mereka juga tidak bersekongkol atau membuat rencana-rencana rahasia dan sebagainya. Artinya, perusahaan dan pemerintah lebih buruk daripada gulma. Namun korok mengerti apa yang ingin disampaikan Anchita. “Gulma tak pernah menjadi kabar baik bagi sebuah kebun.”

Akhir perjuangan Korok dan suku Gondi lainnya dalam melawan para gulma adalah sesuatu yang langka terjadi di Indonesia. Mereka menang. Siddhartha Sarma barangkali ingin memberikan pengalaman membaca yang tidak terlalu traumatik bagi para remaja. 

Ya, Tahun Penuh Gulma (2020) merupakan seri Pustaka Mekar, buku dari Marjin Kiri yang ditujukan untuk para pembaca muda. Dalam kasus ini, agar mereka sedari dini terbiasa melawan gulma J (irf)

1 comment:

yogadwipa.com said...

hmm, menarik. buku dgn genre seperti ini termasuk yang masih jarang beredar di Indonesia, terlebih yg memang menyasar pembaca muda.