Rak Literasi
Kembang warisan pusat
dokumentasi
“Jassin. Dalam kenangan kita sipat setengah-setengah
bersimaharajalela benar. Kau tentu tahu ini. Aku memasuki kesenian dengan
sepenuh hati. Tapi hingga kini lahir aku hanya bisa mencampuri dunia kesenian
setengah-setengah pula. Tapi untunglah bathin seluruh hasrat dan minatku sedari
umur 15 tahun tertuju ke titik satu saja, kesenian.”
Kartu pos bertitimangsa 8 Maret 1944 itu, yang
dimuat dalam kumpulan puisi Aku Ini Binatang Jalang, dikirimkan
Chairil Anwar dalam perjalanannya di Jawa Timur kepada Hans Bague Jassin. Si
penyair bohemian itu memang berkawan baik dengan mantan amtenar kelahiran
Gorontalo tersebut.
Curahan hati Chairil Anwar dalam kartu pos
kemudian disimpan dengan rapi bersama dokumentasi para sastrawan lain oleh
Jassin. Koleksi dokumentasi kesusastraan Jassin dari tahun ke tahun semakin
banyak, sampai akhirnya dihimpun dalam lembaga bernama Yayasan Dokumentasi
Sastra H.B. Jassin yang diresmikan pada 1977.
“Dokumentasi adalah alat untuk memperpanjang
ingatan, memperdalam, dan memperluasnya,” kata Jassin dalam acara peresmian
lembaga tersebut, seperti dikutip Pamusuk Eneste dalam pengantar di buku yang
ditulis Jassin, Surat-surat 1943-1983 (1984: xvii).
Bermula dari Usia 10
Seperti diungkap Pamusuk Eneste, minat Jassin terhadap
dokumentasi bukan bermula dari tahun 1940-an, tapi lebih awal lagi, yaitu
sekitar tahun 1920-an akhir saat usianya baru menginjak 10. Sejak sekolah di
HIS Balikpapan (1927-1929), Jassin sudah menyimpan buku-bukunya secara teratur
dan rapi.
“Saya tidak mau ada buku-buku saya yang robek
dan rusak,” ujar Jassin saat menceritakannya kepada Pamusuk Eneste.
Eneste menambahkan, saat masih kecil Jassin
sempat sakit dan ayahnya mencoba memberi penghiburan dengan bertanya kepadanya
tentang keinginannya. Jassin langsung menjawab bahwa ia ingin dibelikan buku.
Setelah tamat dari HIS Balikpapan, Jassin melajutkan ke
HBS Medan (1932-1939). Jika sehabis tamasya gurunya menyuruh murid-murid
menulis laporan di buku tersendiri, Jassin selalu menyimpannya. Buku-buku dan
karangan-karangan sejak sekolah sampai kuliah di Universitas Indonesia ia
simpan baik-baik.
“Masih tersimpan buku-buku harian yang dimulai
tahun 1932 dan tulisan-tulisan pertama dalam surat kabar dan majalah untuk
anak-anak sekolah semasa di sekolah menengah dan kemudian di Universitas
Indonesia. Karangan-karangan yang ditugaskan di kelas pun masih tersimpan
dengan rapi,” kenangnya dalam Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra
Dunia (hlm. 257, 1983).
Sejak sekolah di HBS Medan, Jassin sudah menulis
di surat kabar dan majalah. Setelah selesai sekolah di Medan, ia tak tak
langsung pulang ke Gorontalo, tapi singgah dulu ke Jakarta untuk menemui Sutan
Takdir Alisjahbana. Mereka membicarakan kesusastraan, bahasa, kebudayaan, dan
sebagainya. Dari Jakarta, ia melanjutkan perjalanan ke Bandung, Yogyakarta,
Solo, Semarang, Surabaya, Ujung Pandang (Makassar), dan akhirnya sampai di
Gorontalo.
Sutan Takdir Alisjahbana rupanya terkesan dengan
Jassin, sebab beberapa hari setelah tiba di kampung halamannya, Jassin menerima
surat dari salah satu pendiri majalah Poedjangga Baroe tersebut
yang isinya mengejak untuk bekerja sebagai redaktur buku di Balai Pustaka.
Jassin sebetulnya berminat bekerja di Balai
Pustaka, tapi tawaran tersebut tidak langsung diterimanya karena sang ayah
melarang bekerja di Jakarta. Selain karena ayahnya masih rindu pada Jassin yang
sudah lama merantau, juga karena ia menghendaki Jassin menjadi amtenar di
Kantor Asisten Residen Gorontalo.
Selama lima bulan Jassin bekerja sebagai amtenar
tanpa digaji satu sen pun. Inilah salah satu hal yang membuatnya tidak betah
bekerja di kantor tersebut. Oleh karena itu, maka pada 1 Februari 1940 Jassin
datang ke Jakarta, menuju Balai Pustaka untuk melamar kerja.
Berbekal surat dari Sutan Takdir Alisjahbana, ditambah
beberapa dokumentasi tulisannya yang telah diterbitkan, serta dokumentasi lain
yang pernah ia garap, Jassin akhirnya diterima di Balai Pustaka dan langsung
bekerja hari itu juga. Jassin mulai menggarap dokumentasi sastra secara
sistematis dan menjadi warisan berharga bagi kesusastraan Indonesia.
Satu hal yang tidak boleh dilupakan, kata
Pamusuk Eneste, adalah peran ayah Jassin, Bague Mantu Jassin, yang memiliki
perpustakaan pribadi di rumahnya.
“Di atas segala-galanya, hemat saya, sang
ayah-lah yang mengilhami sang anak […] Jassin sering membacai buku-buku
ayahnya, sekalipun ia belum mengerti betul apa yang tertulis di dalamnya” (hlm.
xiv).
Melihat Jassin Bekerja
Karya besar Jassin dalam mendokumentasikan sastra ia lewat
buku Tifa Penyair dan Daerahnya (1991), dalam bab
“Dokumentasi Kesusastraan”.
Ia menyebutkan bahwa salah satu hal penting
dalam dokumentasi sastra adalah untuk dimanfaatkan oleh kaum akademisi,
terutama para mahasiswa jurusan sastra yang tengah menyusun skripsi dan
tugas-tugas lainnya mengenai kesusastraan modern.
“Maka kalau sudah sampai membuat skripsi,
sibuklah mahasiswa mencari bahan untuk dijadikan pokok penyelidikannya. Yang
memilih jurusan kesusastraan tentu akan mencari bahan-bahan kesusastraan. Ia
pertama-tama akan mencari buku-buku karangan pengarang-pengarang yang akan
dibahas misalnya, sekadar riwayat hidup pengarang-pengarang itu, pendapat orang
mengenai karya-karya mereka, bahan-bahan mengenai latarbelakang sejarah dan
masyarakat dan sebagainya,” tulis Jassin (hlm. 157).
Jassin menjelaskan bahwa para pengunjung yang datang ke
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin mula-mula akan melihat lemari-lemari buku
dan majalah serta lemari-lemari lain yang berisi map-map berderet-deret.
Map-map tersebut disusun secara alfabetis.
Jenis pertama dari map-map tersebut adalah
perseorangan yang isinya dokumen-dokumen yang berkaitan dengan individu
pengarang: tulisan-tulisannya dalam majalah dan surat kabar, pembicaraan orang
mengenai bukunya, riwayat hidupnya, dan sebagainya.
Jenis kedua adalah deretan map yang berisi
permasalahan atau sesuatu soal. Misalnya: Angkatan 66, Balai Pustaka, Biografi
Pengarang, Gelanggang, Manifes Kebudayaan, Simposium Sastra.
Map-map berikutnya ia terangkan pula beserta
contoh detail isinya. Dalam sistem dokumentasi yang masih manual, Jassin juga
menjelaskan tentang pentingnya kartu tulisan dan kartu alamat
pengarang/instansi/organisasi pengarang. Jassin bahkan menerangkan bagaimana
cara menyimpan bahan-bahan dalam map dengan baik.
Dalam penutup catatannya, Jassin menerangkan dua
hal penting dan mendasar yang harus diperhatikan dalam dokumentasi sastra.
Pertama, ketekunan. Kedua, pemanfaatan dokumentasi tersebut.
Menurut Jassin, modal dasar untuk
membentuk dan memelihara dokumentasi adalah ketekunan dan ketelitian mengikuti
segala kejadian di lapangan kesusastraan seperti penerbitan buku,
tulisan-tulisan dalam majalah, surat kabar, dan lain-lain.
“Dokumentator harus rajin mengumpulkan bahan-bahan itu dan menyimpannya secara
sistematis,” tulisnya.
Hal kedua yang tak kalah penting adalah soal pemanfaatan dokumentasi sastra.
Sampai hari ini, tak sedikit lembaga yang mempunyai arsip dan dokumen yang bisa
diakses publik, tapi justru memperlakukannya sebagai barang mati. Jassin
mengharapkan dokumentasi sastra yang ia bangun dijadikan bahan penyelidikan dan
hasilnya diterbitkan dalam berbagai publikasi seperti buku, koran, majalah, dan
lain-lain.
Warisan Jassin Paling Berharga
“Jassin adalah seorang kritikus yang
sudah mendapatkan tempat yang jelas dalam sejarah kesusastraan kita.
Penemuannya terhadap karya puisi penyair Angkatan 45, Chairil Anwar,
dedikasinya yang luar biasa mendokumentasikan karya sastra, menyebabkan kita
harus respek terhadapnya,” tulis Sutardji Calzoum Bachri dalam Isyarat:
Kumpulan Esai (2007: 427)
Salah satu kelebihan Jassin sebagai dokumentator sastra adalah ia peduli dengan
karya-karya para pengarang yang belum berhasil dan kurang begitu baik. Menurutnya,
karya-karya seperti itu akan sangat berarti sebagai bahan sejarah perkembangan
pengarang, apabila karyanya sudah diakui baik.
“Surat-suratnya pun, biar hanya secarik kertas kecil, akan menjadi besar
artinya ditinjau dari sudut sejarah,” tambahnya.
Pada 11 Maret 2000, tepat hari ini 18 tahun lalu, Jassin meninggal di Jakarta
dalam usia 83. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan upacara
kebesaran militer. Berkat jasanya bagi dunia kesusastraan, ia dijuluki
"paus sastra Indonesia"—sebuah julukan yang memang tidak berlebihan.
Warisan terbesar Jassin bagi bangsa adalah hasil kerjanya selama berpuluh-puluh
tahun yang tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin di Jalan
Cikini Raya No. 73, kompleks Taman Ismail Marzuki.
Nasib PDS sempat terkatung-katung karena kekurangan dana. Radar Panca Dahana
dalam Kebenaran dan Dusta dalam Sastra (2001) sempat juga
mengkhawatirkan keberlangsungan hidup kantong literasi tersebut.
“Namun siapa pun mengetahui, warisan besar tersebut seolah menjadi khasanah
pustaka kecemasan raksasa. Tidak hanya karena ancaman pemeliharaan yang buruk
dan pemanfaatan yang minim, juga kekhawatiran ia tinggal menjadi monumen yang
ketinggiannya tak mampu dijangkau” (hlm. 197).
Pada November 2017, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, seperti dilansir Media Indonesia, sempat mengunjungi PDS
H.B. Jassin dan memutuskan untuk mengelolanya di bawah UPT (Unit Pelayanan
Teknis) Khusus. Anis mengatakan, seluruh aset Yayasan Dokumentasi Sastra H.B.
Jassin akan diberikan kepada Pemda DKI dan akan dilakukan digitalisasi terhadap
seluruh naskah dan arsip. UPT yang mengelola PDS H.B. Jassin, tambah Anis, akan
bekerja efektif mulai Januari 2018.
Kamis, 8 Maret 2018, PDS H.B. Jassin terlihat tengah direnovasi. Warung kecil
di bawah sudah tergusur. Saya masuk dan menuju ke atas. Tiga orang pengunjung
tengah menyigi dokumen sastra yang terdapat dalam beberapa map. Setelah mengisi
buku tamu, seorang petugas bertanya, “Mencari apa?”
“H.B. Jassin,” jawab saya singkat. (irf)
No comments:
Post a Comment