Kabupaten Garut tak hanya menyajikan pesona alam, tapi juga jejak bangunan bersejarah yang sampai hari ini masih terawat dengan baik. Salah satu tinggalan bersejarah tersebut adalah babancong, sebuah bangunan yang menyerupai podium yang terletak di sisi selatan Alun-alun Garut.
Posisi babancong Garut tak jauh dari
pendopo dan masjid agung. Ornamen sisik ikan mas yang menghiasi dinding
tangganya sama dengan yang ada di pendopo Kota Bandung dan Pasar Limbangan.
Konon, ornamen ini adalah hiasan khas daerah Priangan.
Dibandingkan dengan babancong yang
ada di Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Bandung, babancong di Kabupaten Garut
jauh lebih baik dan terawat. Kiwari, babancong di Garut ini kerap digunakan
oleh pembina upacara saat memperingati HUT Republik Indonesia.
Peruntukkan tersebut
sesuai dengan yang dikemukakan oleh Olivier Johannes Raap dalam Kota di Djawa Tempo Doeloe (2017) yang
menerangkan bahwa babancong adalah “Sebuah bangunan bundar yaitu paseban khas
Sunda yang berfungsi sebagai panggung tempat berpidato.”
Raap menambahkan, meski Alun-alun Garut dan bangunan di sekelilingnya mulai dibangun pada tahun 1813, namun babancong justru baru dibangun pada tahun 1880.
Bermula dari Alun-alun Prakolonial
Keberadaan beberapa babancong di
sejumlah kota di wilayah Priangan tak bisa dilepaskan dari pengaruh Kesultanan
Mataram yang pernah sangat lama menguasai tanah Sunda.
Menurut Mikihiro Moriyama dalam Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak,
dan Kesastraan Sunda Abad ke-19 (2013), kebudayaan Sunda memang sangat
terpengaruh oleh Jawa sejak Priangan jatuh ke tangan Mataram pada abad ke-17.
“Bukan hanya ranah kesenian, tapi
juga administrasi pemerintahan, gaya hidup, dan bahasa yang terkena dampaknya:
selama hampir duaratus tahun kesastraan Sunda berkembang menurut estetika
Jawa,” tulisnya (hlm. 2).
Hegemoni Mataram di tanah
Priangan dimulai ketika kerajaan Hindu-Buddha di Jawa bagian barat telah
runtuh. Islam yang mulai berjaya di Jawa sebelah timur mulai meluaskan
kekuasaannya ke bagian barat.
Kehadiran babancong di
Garut dan di beberapa kota lainnya di Priangan sebagai pengaruh kebudayaan
Mataram, mula-mula dapat diurut dari keberadaan alun-alun. Dan pada
perkembangannya, menurut catatan Handinoto dalam makalah bertajuk “Alun-alun
sebagai Identitas Kota Jawa, Dulu dan Sekarang” (Jurnal Dimensi edisi 18
September 1992), alun-alun terbagi ke dalam tiga periode, yakni masa
prakolonial, kolonial, dan era setelah kolonial.
Tiga pembelahan zaman itu terutama
dibedakan oleh pergeseran konsep alun-alun. Kecenderungannya bergradasi dari
sakral ke profan, seiring dengan perubahan kompleks bangunan yang menyertainya.
Pada periode pertama, alun-alun telah
hadir sejak zaman Kerajaan Majapahit yang berdiri pada abad ke-13. Mengutip
dari naskah Negarakretagama yang
ditulis Prapanca, Handinoto menjelaskan bahwa di sebelah utara kompleks keraton
Majapahit terdapat dua alun-alun yang bernama Bubat dan Waguntur.
Menurutnya, alun-alun Bubat bersifat
profan yang digunakan untuk pesta rakyat berupa pertunjukan dan permainan.
Sementara alun-alun Waguntur yang sakral digunakan untuk upacara penobatan dan
resepsi kenegaraan.
“Meskipun keterangan Prapanca dalam Negarakretagama kurang begitu jelas,
tapi masih bisa ditangkap betapa pentingnya peran alun-alun sebagai bagian dari
pusat kota,” imbuhnya.
Panembahan Senopati yang mendirikan
Kerajaaan Mataram Islam kemudian mengadopsi dan mengembangkan konsep alun-alun
dari Kerajaan Majapahit. Alun-alun selalu menjadi bagian dari kompleks keraton.
Dan keraton merupakan pusat pemerintahan dan pusat kebudayaan tempat raja
tinggal, sehingga keraton dan alun-alun adalah miniatur makrokosmos yang
disakralkan.
Catatan Handinoto tentang alun-alun
beririsan dengan yang dikemukakan oleh Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 3: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris (2018).
Menurutnya, konsepsi ruang yang disusun Kesultanan Mataram adalah pengembangan
dari tata ruang Candi Plaosan Lor yang diperkirakan berasal dari abad ke-19.
Denah candi tersebut memperlihatkan
tempat-tempat suci yang dikelilingi ratusan candi kecil dan stupa. Mengutip
hasil penelitian J.G. de Casparis, Lombard mencatat bahwa candi-candi kecil itu
mewakili wilayah-wilayah vasal.
Menurut Selo Soemardjan dalam
Perubahan Sosial di Yogyakarta (2009), Mataram kemudian mengembangkannya
menjadi konsep lingkaran-lingkaran konsentris yang terdiri atas Keraton, Nagara, Nagaragung, dan Mancanagara.
Keraton merupakan lingkaran
terdalam tempat sultan dan keluarganya tinggal. Pemerintah di dalamnya disebut paréntah jero. Sementara Nagara (ibu kota) yang lingkarannya
semakin keluar, ditinggali para pangeran, patih, dan para pejabat tinggi
lainnya. Pemerintahannya disebut paréntah
njaba.
Selanjutnya Nagaragung, yakni ibu kota dalam arti yang luas. Tanah dalam
wilayah ini berupa tanah lungguh yang
dipercayakan kepada para pangeran dan pejabat tinggi.
Dan terakhir yakni Mancanagara yang wilayahnya paling luar
dalam lingkaran konsentris, yang diperintah para bupati yang ditunjuk sultan,
serta bertanggung jawab kepada patih. Para bupati di wilayah Priangan termasuk
ke dalam lapisan lingkaran konsentris ini.
Dalam konsepsi ruang seperti itulah
alun-alun hadir menjadi bagian dari lingkaran terdalam kekuasaan Jawa.
Tafsir Babancong dalam Poros Utara-Selatan
Kompleks keraton Mataram diatur dalam
dua poros, yakni barat-timur dan selatan-utara. Poros pertama menentukan ruang
pribadi, akrab, dan keramat. Sementara satu lagi, yakni selatan-utara,
menentukan ruang umum, resmi, dan tempat upacara.
“Poros inilah (selatan-utara) yang
paling nyata karena menghubungkan alun-alun utara dengan alun-alun selatan
melalui tujuh halaman berturut-turut yang saling berhubungan lewat pintu
gerbang,” tulis Lombard.
Dari masing-masing gerbang (selatan
dan utara)—sebelum benar-benar sampai ke kediaman sultan—setelah melintasi
alun-alun, seseorang mesti melalui beberapa tempat yang bernama Sitinggil, Brajanala, Kemandhungan, dan Srimanganti. Tempat-tempat tersebut
untuk menanti sebelum memasuki halaman pusat atau pelataran.
Sitinggil sebagai
tempat menanti paling luar dan posisinya paling dekat dengan alun-alun, kerap
digunakan raja untuk berhadapan dengan para pejabat dan seluruh rakyat.
“Di Sitinggil lor terdapat sebuah serambi tinggi yang didatangi oleh
raja pada kesempatan-kesempatan tertentu untuk duduk di kursi kebesaran,
menghadap ke utara,” imbuh Lombard.
Di tempat ini pula menurut Olivier
Johannes Raap dalam Kota di Djawa Tempo Doeloe
(2017), raja menemui pejabat dan rakyat yang di antaranya untuk menghadiri
pelaksanaan hukuman pancung, pesta rakyat, dan pertunjukan kesenian. Sitinggil inilah yang kemungkinan besar
diadopsi menjadi babancong oleh para bupati di Priangan ketika alun-alun
mengalami pergeseran makna.
Alun-alun Era Kolonial dan Sekarang
Setelah Belanda benar-benar menguasai
Jawa pada abad ke-19, alun-alun mengalami sejumlah pergeseran makna. Meski
demikian, para bupati yang bekerja di bawah kekuasaan pemerintah kolonial masih
meneruskan warisan Mataram.
“Rumah bupati di Jawa selalu dibangun
untuk menjadi miniatur keraton di Surakarta dan Yogyakarta,” tulis Handinoto
dalam “Alun-alun sebagai Identitas Kota Jawa, Dulu dan Sekarang” (Jurnal
Dimensi edisi 18 September 1992).
Di depan rumah para bupati dibangun
pendopo dan di alun-alun diadakan pelbagai acara seperti sodoran, grebegan, dan sebagainya. Warisan tradisional ini menarik
pemerintah kolonial untuk mengembangkannya dalam sistem pemerintahan tidak
langsung yang mereka jalankan.
Pemerintahan kabupaten yang dipimpin
seorang asisten residen (orang Belanda) dan bupati (pribumi), dipusatkan di
sekitar alun-alun. Jika rumah bupati dan pendopo berada di sebelah selatan,
maka rumah asisten residen biasanya di sebelah utara alun-alun.
Pada masa itu di sekeliling
alun-alun, seperti dicatat Olivier Johannes Raap, selain rumah bupati dan
pendopo, juga terdapat masjid, gedung pengadilan, penjara, pasar, kantor pos,
halte kendaraan umum, kantor polisi dan fasilitas lainnya. Ia tak menyebutkan
kehadiran babancong, atau mungkin sudah terangkum dalam kalimat “dan fasilitas
lainnya”.
“Sifat sakral alun-alun di zaman
kolonial kemudian berkembang lebih merakyat. Pada zaman kolonial ini menjadi
semacam ‘civic space’. Bahkan pada
akhir zaman kolonial berkembang menjadi semacam plaza di Eropa,” tulis
Handinoto.
Meski demikian, jika mengacu pada
pembangunan babancong Garut yang didirikan pada paruh akhir abad ke-19, kiranya
sistem feodalisme belum sepenuhnya luntur. Ya, karena bangunan tersebut yang
biasa digunakan oleh para bupati masih melambangkan hubungan yang tidak
egaliter antara pemimpin dengan rakyatnya.
Gelora Si Bung Besar
Ketika membicarakan babancong,
sebagian besar masyarakat Garut kerap mengaitkannya dengan peristiwa kedatangan
dan pidato Sukarno. Didampingi Wakil Presiden Mohammad Hatta, Bung Karno pernah
berkunjung ke Garut pada tahun 1946, 1947, dan 1951. Ia dengan semangatnya yang
khas berpidato di babancong Alun-alun Garut.
Pada kunjungan pertamanya sebelum
pengakuan kedaulatan, kedatangan Sukarno ke Garut dalam rangka
menyosialisasikan hasil Perundingan Linggarjati yang banyak menyulut sikap pro
dan kontra.
Sedangkan pada tahun 1947, Sukarno
datang ke Garut untuk memastikan bahwa rakyat Jawa Barat tidak mendukung Negara
Pasundan yang diproklamasikan pada 4 Mei 1947 oleh mantan Bupati Garut Raden
Adipati Aria Moehammad Moesa Soeria Kartalegawa.
Sebagai catatat, Negara Pasundan
pimpinan Soeria Kartalegawa adalah negara boneka bentukan Belanda yang minim
dukungan dari rakyat Jawa Barat. Kartalegawa hanya seorang menak, politikus
oportunis, yang menginginkan kembali ke zaman normal sebelum era Revolusi.
Sukarno sebetulnya tidak perlu
bekerja keras untuk mendapatkan dukungan rakyat Jawa Barat, sebab mayoritas
para aristokrat Sunda berdiri di belakang Republik.
Sebagai contoh, seperti ditulis Agus
Mulyana dalam Negara Pasundan 1947-1950:
Gejolak Menak Sunda Menuju Integrasi Nasional (2018), Wiranatakusumah V
atau Dalem Haji yang mempunyai pamor besar di kalangan orang Sunda, menyebutkan
bahwa Negara Pasundan yang diproklamasikan Kartalegawa tidak mempunyai dasar
sejarah seperti perjuangan kemerdekaan Indonesia.
“Orang Pasundan hanya mengenal satu
negara yaitu Negara Republik Indonesia,” ucap R. Enoch, mantan pengurus
Paguyuban Pasundan menanggapi kelakuan Kartalegawa seperti dikutip Agus
Mulyana.
Dalam lintasan sejarah itulah babancong
Garut hadir seiring zaman yang terus bergerak. Ia tak bisa dipisahkan dari
silih bergantinya hegemoni kekuasaan yang hadir di tanah Priangan.
Babancong bukan sekadar bangunan yang berdiri di sisi selatan Alun-alun Garut, tapi riwayatnya terkait dengan sejarah panjang Garut dalam berjalan di titian zaman. (irf)
Referensi:
1.
Nusa Jawa Silang Budaya Jilid III: Warisan-warisan Kerajaan
Konsentris (2018) karya Denys Lombard.
2.
Negara Pasundan 1947-1950: Gejolak Menak Sunda Menuju
Integrasi Nasional (2018) karya Agus
Mulyana.
3.
Kota di Djawa Tempo Doeloe
(2017) karya Olivier Johannes Raap.
4.
Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan
Sunda Abad ke-19 (2013) karya Mikihiro
Moriyama.
5.
Perubahan Sosial di Yogyakarta (2009) karya Selo Soemardjan.
6.
“Alun-alun sebagai
Identitas Kota Jawa, Dulu dan Sekarang” (Jurnal Dimensi 18/ARS September 1992)
karya Handinoto.
7.
https://naratasgaroet.net/2015/05/08/foto-foto-kunjungan-soekarno-hatta-di-garoet-tahun-1947/
No comments:
Post a Comment