12 June 2021

Babancong Garut: Jejak Mataram dan Gelora Si Bung Besar


Kabupaten Garut tak hanya menyajikan pesona alam, tapi juga jejak bangunan bersejarah yang sampai hari ini masih terawat dengan baik. Salah satu tinggalan bersejarah tersebut adalah babancong, sebuah bangunan yang menyerupai podium yang terletak di sisi selatan Alun-alun Garut.

Posisi babancong Garut tak jauh dari pendopo dan masjid agung. Ornamen sisik ikan mas yang menghiasi dinding tangganya sama dengan yang ada di pendopo Kota Bandung dan Pasar Limbangan. Konon, ornamen ini adalah hiasan khas daerah Priangan.

Dibandingkan dengan babancong yang ada di Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Bandung, babancong di Kabupaten Garut jauh lebih baik dan terawat. Kiwari, babancong di Garut ini kerap digunakan oleh pembina upacara saat memperingati HUT Republik Indonesia.

Peruntukkan tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Olivier Johannes Raap dalam Kota di Djawa Tempo Doeloe (2017) yang menerangkan bahwa babancong adalah “Sebuah bangunan bundar yaitu paseban khas Sunda yang berfungsi sebagai panggung tempat berpidato.”

Raap menambahkan, meski Alun-alun Garut dan bangunan di sekelilingnya mulai dibangun pada tahun 1813, namun babancong justru baru dibangun pada tahun 1880.

Bermula dari Alun-alun Prakolonial

Keberadaan beberapa babancong di sejumlah kota di wilayah Priangan tak bisa dilepaskan dari pengaruh Kesultanan Mataram yang pernah sangat lama menguasai tanah Sunda.

Menurut Mikihiro Moriyama dalam Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19 (2013), kebudayaan Sunda memang sangat terpengaruh oleh Jawa sejak Priangan jatuh ke tangan Mataram pada abad ke-17.

“Bukan hanya ranah kesenian, tapi juga administrasi pemerintahan, gaya hidup, dan bahasa yang terkena dampaknya: selama hampir duaratus tahun kesastraan Sunda berkembang menurut estetika Jawa,” tulisnya (hlm. 2).

Hegemoni Mataram di tanah Priangan dimulai ketika kerajaan Hindu-Buddha di Jawa bagian barat telah runtuh. Islam yang mulai berjaya di Jawa sebelah timur mulai meluaskan kekuasaannya ke bagian barat.

Kehadiran babancong di Garut dan di beberapa kota lainnya di Priangan sebagai pengaruh kebudayaan Mataram, mula-mula dapat diurut dari keberadaan alun-alun. Dan pada perkembangannya, menurut catatan Handinoto dalam makalah bertajuk “Alun-alun sebagai Identitas Kota Jawa, Dulu dan Sekarang” (Jurnal Dimensi edisi 18 September 1992), alun-alun terbagi ke dalam tiga periode, yakni masa prakolonial, kolonial, dan era setelah kolonial.

Tiga pembelahan zaman itu terutama dibedakan oleh pergeseran konsep alun-alun. Kecenderungannya bergradasi dari sakral ke profan, seiring dengan perubahan kompleks bangunan yang menyertainya.

Pada periode pertama, alun-alun telah hadir sejak zaman Kerajaan Majapahit yang berdiri pada abad ke-13. Mengutip dari naskah Negarakretagama yang ditulis Prapanca, Handinoto menjelaskan bahwa di sebelah utara kompleks keraton Majapahit terdapat dua alun-alun yang bernama Bubat dan Waguntur.

Menurutnya, alun-alun Bubat bersifat profan yang digunakan untuk pesta rakyat berupa pertunjukan dan permainan. Sementara alun-alun Waguntur yang sakral digunakan untuk upacara penobatan dan resepsi kenegaraan.

“Meskipun keterangan Prapanca dalam Negarakretagama kurang begitu jelas, tapi masih bisa ditangkap betapa pentingnya peran alun-alun sebagai bagian dari pusat kota,” imbuhnya.

Panembahan Senopati yang mendirikan Kerajaaan Mataram Islam kemudian mengadopsi dan mengembangkan konsep alun-alun dari Kerajaan Majapahit. Alun-alun selalu menjadi bagian dari kompleks keraton. Dan keraton merupakan pusat pemerintahan dan pusat kebudayaan tempat raja tinggal, sehingga keraton dan alun-alun adalah miniatur makrokosmos yang disakralkan.

Catatan Handinoto tentang alun-alun beririsan dengan yang dikemukakan oleh Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 3: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris (2018). Menurutnya, konsepsi ruang yang disusun Kesultanan Mataram adalah pengembangan dari tata ruang Candi Plaosan Lor yang diperkirakan berasal dari abad ke-19.

Denah candi tersebut memperlihatkan tempat-tempat suci yang dikelilingi ratusan candi kecil dan stupa. Mengutip hasil penelitian J.G. de Casparis, Lombard mencatat bahwa candi-candi kecil itu mewakili wilayah-wilayah vasal.

Menurut Selo Soemardjan dalam Perubahan Sosial di Yogyakarta (2009), Mataram kemudian mengembangkannya menjadi konsep lingkaran-lingkaran konsentris yang terdiri atas Keraton, Nagara, Nagaragung, dan Mancanagara.

Keraton merupakan lingkaran terdalam tempat sultan dan keluarganya tinggal. Pemerintah di dalamnya disebut paréntah jero. Sementara Nagara (ibu kota) yang lingkarannya semakin keluar, ditinggali para pangeran, patih, dan para pejabat tinggi lainnya. Pemerintahannya disebut paréntah njaba.

Selanjutnya Nagaragung, yakni ibu kota dalam arti yang luas. Tanah dalam wilayah ini berupa tanah lungguh yang dipercayakan kepada para pangeran dan pejabat tinggi.

Dan terakhir yakni Mancanagara yang wilayahnya paling luar dalam lingkaran konsentris, yang diperintah para bupati yang ditunjuk sultan, serta bertanggung jawab kepada patih. Para bupati di wilayah Priangan termasuk ke dalam lapisan lingkaran konsentris ini.

Dalam konsepsi ruang seperti itulah alun-alun hadir menjadi bagian dari lingkaran terdalam kekuasaan Jawa.

Tafsir Babancong dalam Poros Utara-Selatan

Kompleks keraton Mataram diatur dalam dua poros, yakni barat-timur dan selatan-utara. Poros pertama menentukan ruang pribadi, akrab, dan keramat. Sementara satu lagi, yakni selatan-utara, menentukan ruang umum, resmi, dan tempat upacara.

“Poros inilah (selatan-utara) yang paling nyata karena menghubungkan alun-alun utara dengan alun-alun selatan melalui tujuh halaman berturut-turut yang saling berhubungan lewat pintu gerbang,” tulis Lombard.

Dari masing-masing gerbang (selatan dan utara)—sebelum benar-benar sampai ke kediaman sultan—setelah melintasi alun-alun, seseorang mesti melalui beberapa tempat yang bernama Sitinggil, Brajanala, Kemandhungan, dan Srimanganti. Tempat-tempat tersebut untuk menanti sebelum memasuki halaman pusat atau pelataran.

Sitinggil sebagai tempat menanti paling luar dan posisinya paling dekat dengan alun-alun, kerap digunakan raja untuk berhadapan dengan para pejabat dan seluruh rakyat.

“Di Sitinggil lor terdapat sebuah serambi tinggi yang didatangi oleh raja pada kesempatan-kesempatan tertentu untuk duduk di kursi kebesaran, menghadap ke utara,” imbuh Lombard.

Di tempat ini pula menurut Olivier Johannes Raap dalam Kota di Djawa Tempo Doeloe (2017), raja menemui pejabat dan rakyat yang di antaranya untuk menghadiri pelaksanaan hukuman pancung, pesta rakyat, dan pertunjukan kesenian. Sitinggil inilah yang kemungkinan besar diadopsi menjadi babancong oleh para bupati di Priangan ketika alun-alun mengalami pergeseran makna.  

Alun-alun Era Kolonial dan Sekarang

Setelah Belanda benar-benar menguasai Jawa pada abad ke-19, alun-alun mengalami sejumlah pergeseran makna. Meski demikian, para bupati yang bekerja di bawah kekuasaan pemerintah kolonial masih meneruskan warisan Mataram.

“Rumah bupati di Jawa selalu dibangun untuk menjadi miniatur keraton di Surakarta dan Yogyakarta,” tulis Handinoto dalam “Alun-alun sebagai Identitas Kota Jawa, Dulu dan Sekarang” (Jurnal Dimensi edisi 18 September 1992).

Di depan rumah para bupati dibangun pendopo dan di alun-alun diadakan pelbagai acara seperti sodoran, grebegan, dan sebagainya. Warisan tradisional ini menarik pemerintah kolonial untuk mengembangkannya dalam sistem pemerintahan tidak langsung yang mereka jalankan.

Pemerintahan kabupaten yang dipimpin seorang asisten residen (orang Belanda) dan bupati (pribumi), dipusatkan di sekitar alun-alun. Jika rumah bupati dan pendopo berada di sebelah selatan, maka rumah asisten residen biasanya di sebelah utara alun-alun.        

Pada masa itu di sekeliling alun-alun, seperti dicatat Olivier Johannes Raap, selain rumah bupati dan pendopo, juga terdapat masjid, gedung pengadilan, penjara, pasar, kantor pos, halte kendaraan umum, kantor polisi dan fasilitas lainnya. Ia tak menyebutkan kehadiran babancong, atau mungkin sudah terangkum dalam kalimat “dan fasilitas lainnya”.

“Sifat sakral alun-alun di zaman kolonial kemudian berkembang lebih merakyat. Pada zaman kolonial ini menjadi semacam ‘civic space’. Bahkan pada akhir zaman kolonial berkembang menjadi semacam plaza di Eropa,” tulis Handinoto.

Meski demikian, jika mengacu pada pembangunan babancong Garut yang didirikan pada paruh akhir abad ke-19, kiranya sistem feodalisme belum sepenuhnya luntur. Ya, karena bangunan tersebut yang biasa digunakan oleh para bupati masih melambangkan hubungan yang tidak egaliter antara pemimpin dengan rakyatnya.

Gelora Si Bung Besar   

Ketika membicarakan babancong, sebagian besar masyarakat Garut kerap mengaitkannya dengan peristiwa kedatangan dan pidato Sukarno. Didampingi Wakil Presiden Mohammad Hatta, Bung Karno pernah berkunjung ke Garut pada tahun 1946, 1947, dan 1951. Ia dengan semangatnya yang khas berpidato di babancong Alun-alun Garut.

Pada kunjungan pertamanya sebelum pengakuan kedaulatan, kedatangan Sukarno ke Garut dalam rangka menyosialisasikan hasil Perundingan Linggarjati yang banyak menyulut sikap pro dan kontra.

Sedangkan pada tahun 1947, Sukarno datang ke Garut untuk memastikan bahwa rakyat Jawa Barat tidak mendukung Negara Pasundan yang diproklamasikan pada 4 Mei 1947 oleh mantan Bupati Garut Raden Adipati Aria Moehammad Moesa Soeria Kartalegawa.

Sebagai catatat, Negara Pasundan pimpinan Soeria Kartalegawa adalah negara boneka bentukan Belanda yang minim dukungan dari rakyat Jawa Barat. Kartalegawa hanya seorang menak, politikus oportunis, yang menginginkan kembali ke zaman normal sebelum era Revolusi.

Sukarno sebetulnya tidak perlu bekerja keras untuk mendapatkan dukungan rakyat Jawa Barat, sebab mayoritas para aristokrat Sunda berdiri di belakang Republik.

Sebagai contoh, seperti ditulis Agus Mulyana dalam Negara Pasundan 1947-1950: Gejolak Menak Sunda Menuju Integrasi Nasional (2018), Wiranatakusumah V atau Dalem Haji yang mempunyai pamor besar di kalangan orang Sunda, menyebutkan bahwa Negara Pasundan yang diproklamasikan Kartalegawa tidak mempunyai dasar sejarah seperti perjuangan kemerdekaan Indonesia.

“Orang Pasundan hanya mengenal satu negara yaitu Negara Republik Indonesia,” ucap R. Enoch, mantan pengurus Paguyuban Pasundan menanggapi kelakuan Kartalegawa seperti dikutip Agus Mulyana.

Dalam lintasan sejarah itulah babancong Garut hadir seiring zaman yang terus bergerak. Ia tak bisa dipisahkan dari silih bergantinya hegemoni kekuasaan yang hadir di tanah Priangan.

Babancong bukan sekadar bangunan yang berdiri di sisi selatan Alun-alun Garut, tapi riwayatnya terkait dengan sejarah panjang Garut dalam berjalan di titian zaman. (irf)

     

Referensi:

1.     Nusa Jawa Silang Budaya Jilid III: Warisan-warisan Kerajaan Konsentris (2018) karya Denys Lombard.

2.     Negara Pasundan 1947-1950: Gejolak Menak Sunda Menuju Integrasi Nasional (2018) karya Agus Mulyana.

3.     Kota di Djawa Tempo Doeloe (2017) karya Olivier Johannes Raap.

4.     Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19 (2013) karya Mikihiro Moriyama.

5.     Perubahan Sosial di Yogyakarta (2009) karya Selo Soemardjan.

6.     “Alun-alun sebagai Identitas Kota Jawa, Dulu dan Sekarang” (Jurnal Dimensi 18/ARS September 1992) karya Handinoto.

7.     https://naratasgaroet.net/2015/05/08/foto-foto-kunjungan-soekarno-hatta-di-garoet-tahun-1947/

No comments: