26 June 2021

Digorok Gerombolan: Kesaksian Penyintas Kekejaman DI/TII di Bandung

Éméh masih ingat dengan baik peristiwa itu. Suatu hari pada 1958, pasukan DI/TII menghabisi beberapa anggota TNI yang sedang berpatroli di Desa Cipedes. Ia menyebut TNI dengan kata “tentara”, sementara DI/TII dengan sebutan “gerombolan”.

Setiap sore ia dan semua warga kampung mengungsi ke balai desa. Malam adalah saat-saat tak aman, sebab gerombolan selalu datang menyatroni kampung. Sebelum meninggalkan rumah, semua warga kampung menyediakan nasi dalam bakul untuk gerombolan. Mereka bukan mendukung gerombolan, melainkan agar rumahnya tidak dirusak atau dibakar.

Sangu disimpen di dapur, panto dipolongokeun. Mun teu kitu, bumi tiasa direksak atanapi dirérab (Nasi disimpan di dapur, pintu dibuka. Kalau tidak begitu, rumah bisa dirusak atau dibakar),” ujarnya.

Ia biasanya meninggalkan rumah setelah asar. Namun hari itu agak terlambat. Ia baru pergi menjelang magrib, saat gelap mulai membayang. Baru beberapa langkah meninggalkan rumah, terdengar rentetan senjata. Ia langsung tiarap.

Dari celah pepohonan, pandangannya mengarah ke jalan raya, ke sumber kegaduhan. Sekilas terlihat olehnya beberapa tentara menjelempah bersimbah darah. Éméh tak berani melihat lama. Pelan-pelan ia bangun dan segera pergi ke balai desa.

Di tempat kejadian itu, persis di pinggir jalan raya, sejak 1995 didirikan tugu setinggi kurang lebih dua meter oleh Yonif 304 Kodam Siliwangi, bertuliskan:

“Di sini gugurnya

Letda Karim

Serda Makmur

Praka Sa’ari

Praka Kardi

Praka Sidik

Akibat keganasan DI/TII

Thn. 1958”

Peristiwa tersebut terjadi di Kampung Jamban, Desa Cipedes, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung, tak jauh dari rumah Éméh. Saat itu Desa Cipedes memang salah satu daerah rawan DI/TII. Warga yang hampir setiap hari harus menyediakan nasi untuk gerombolan, juga menjalankan rutinitas harian: sore mengungsi, pagi sebelum terang kembali ke rumah.

Menurut Éméh, setiap hari warga mendapat beras di balai desa yang dibagikan oleh kulisi (pegawai desa yang bertugas menjaga keamanan lingkungan desa). Bukan untuk dirinya, melainkan untuk gerombolan DI/TII.

Tong poho asakan éta beas, améh imah teu diduruk (Jangan lupa, masak berasnya, agar rumah [kalian] tidak dibakar),” kata kepala desa (kades) kepada warga, seperti disampaikan Éméh.

Situasi di balai desa cukup aman, sebab dijaga kulisi dan beberapa orang anggota Organisasi Keamaan Desa (OKD)—milisi setempat yang dilatih tentara dan bertugas menjaga keamanan. Émén, suami Éméh, adalah anggota OKD yang bertugas di Balai Desa.

Dalam Kartu Keluarga (KK), tertulis bahwa Émén lahir pada 1924, sementara istrinya tahun 1951. Namun, kata salah seorang anaknya, catatan itu keliru, sebab usia kedua orang tuanya tidak terlalu berjauhan.

Émén meninggal dua tahun lalu. Dalam beberapa lembar foto yang diperlihatkan anaknya, dalam usia tua ia nampak masih gagah berseragam militer dengan logo Kodam Siliwangi di lengan baju kirinya. Badannya tegap, meski raut mukanya telah dipenuhi keriput.

Nu di imah mah da sok mimilu Létnan Karim (yang di rumah suka ikut Letnan Karim),” kata Éméh.

“Yang di rumah” maksudnya adalah suaminya, Émén. Ia tak pernah memanggil nama atau panggilan lain yang biasa diucapkan seorang istri kepada suami. Hal itu, menurutnya, lantaran hubungan ia dan suaminya “teu hadé” alias tidak baik.

Ulah dibéjakeun atuh Mak sual éta mah (Persoalan itu tidak usah disampaikan, Mak),” kata anaknya. Namun, Éméh terus saja membicarakan hubungan tersebut.

Saat saya temui, Éméh tengah berada di dapur dekat perapian. Oleh anaknya ia dibawa ke teras rumah tetangga yang tersedia sofa. Jalannya agak membungkuk, pendengarannya sudah tidak terlalu baik. Saya harus setengah berteriak setiap kali melontarkan pertanyaan.

Agak risi sebenarnya, sebab pertanyaan-pertanyaan setengah teriak itu takut mengganggu para tetangganya yang barangkali tengah tidur siang atau membangunkan bayi. Dan benar saja, tak lama kemudian para tetangganya berdatangan, ikut mengerubungi kami.

Jika jeda dan pertanyaan saya tak terdengar, pandangan Éméh selalu menerawang. Karena pendengarannya sudah tidak terlalu prima, saya mesti mengulangi beberapa pertanyaan sampai dua atau tiga kali. Saat pertanyaan saya mendarat mulus di kupingnya, mata Éméh hidup kembali, dan ia mulai bercerita.

Sekali waktu, ia terlambat menanak nasi saat gerombolan keburu datang. Kepalanya dihajar popor bedil sebanyak tiga kali. Matanya berkunang-kunang dan ambruk. Setelah sadar, ia segera membereskan pekerjaannya di dapur. Beruntung, gerombolan agak sedikit bersabar, meski barang-barang di rumahnya habis ditendangi. Setelah masak, nasi segera ia suguhkan, dan gerombolan membawa nasi beserta bakulnya.

Isukna boboko geus aya deui di imah (Esoknya, bakul [yang dibawa gerombolan] telah ada lagi di rumah),” ujarnya.

Dalam ingatannya, sejumlah ustaz dan kiai kampung ikut dalam gerakan pemberontakan tersebut. Ia menyebutnya ada empat orang, tapi hanya satu nama yang ia ingat, yaitu Mama Bustomi. “Mama” adalah salah satu panggilan orang Sunda kepada ulama.

Menurutnya, waktu kecil ia belajar mengaji kepada Mama Bustomi. Namun, ia kaget, saat DI/TII mengganas, ia melihat guru ngajinya itu ikut bersama pasukan yang ia sebut “gerombolan”.

Duka di mana Mama anyeuna, pasti tos maot, ah atuda tos lami kajantenanna (Tidak tahu di mana Mama sekarang, pasti sudah meninggal, kan sudah lama kejadiannya),” ujarnya.

Belakangan, jauh setelah pemberontakan DI/TII berakhir, anaknya berusaha mengajukan agar bapaknya, Émén, diangkat menjadi Legiun Veteran, agar mendapatkan tunjungan. Namun sampai hari ini ia, yang mengajukannya lewat calo, tak kunjung mendapatkan kabar gembira. Bahkan setelah dana sebesar tiga juta lebih ia berikan kepada orang yang mengurus pengajuan tersebut.

Éméh yang sudah tua, rupanya tahu juga soal pengajuan ini. Pada akhir pembicaraan ia berkata, “Emak mah teu boga nanaon. Batur mah geus diarangkat. ‘Nu di imah’ mah teu diangkat nepi anyeuna (Emak tak punya apa-apa. Orang lain [yang ikut membantu tentara dalam penumpasan DI/TII] sudah pada diangkat [menjadi Legiun Veteran]. ‘Yang di rumah’ tak diangkat sampai sekarang),” ucapnya.


Mencari Kisah di Ciwangi

Dari rumah Éméh di Desa Cipedes, saya menuju Koramil Paseh yang terletak di Desa Cipaku. Barangkali mereka mempunyai secuplik catatan tentang peristiwa penumpasan DI/TII di wilayahnya. Namun, seorang prajurit jaga yang rambutnya sudah agak memutih menyarankan saya agar menemui para orang tua yang masih tersisa yang mengalami peristiwa tersebut.

Tak jauh dari Koramil Paseh memang terdapat tugu yang dibuat Kodam Siliwangi. Pada tugu tersebut terdapat ucapan terima kasih TNI kepada masyarakat atas peran aktifnya dalam menjaga keamanan.

Dua tahun lalu, saya bersama Komunitas Aleut (komunitas sejarah di Kota Bandung) pernah menyambangi tugu tersebut dan bertemu dengan Omay—mantan dalang wayang golek dan wayang orang—saat mengunjungi sebuah makam keramat di Kampung Ciwangi, Desa Cipaku. Waktu itu Omay sempat bercerita sekilas tentang penumpasan DI/TII di Kampung Ciwangi.

Namun, saya tak segera mencari dan menemuinya dengan pertimbangan bahwa orang tersebut tidak akan terlalu sulit dicari, karena saya pernah bertemu dengannya. Bahkan wajahnya pun saya masih ingat.

Prajurit jaga Koramil Paseh lantas memanggil seorang juru parkir untuk menunjukkan sejumlah rumah orang tua yang mengalami zaman gerombolan. Barangkali karena tengah sibuk, juru parkir itu hanya menunjukkan rumah-rumah tersebut berdasarkan beberapa tanda.

“Rumah Bu Hajjah Iwing dekat pemancar, tak jauh dari pabrik. Akang terus saja jalan ke atas, ke arah Ciwangi. Ia pernah mengalami [masa pemberontakan DI/TII],” ujarnya.

Setelah bertanya ke sejumlah orang, akhirnya saya menemukan rumah yang dimaksud. Suasana di halaman dan di dalam rumah tampak sepi. Berkali-kali saya permisi, tapi tak juga ada jawaban dari dalam. Seorang tetangganya memberi tahu, mungkin Hajjah Iwing sedang pergi ke majelis taklim mengikuti pengajian, dan pulangnya biasanya sore.

Saya akhirnya pergi ke sebuah warung yang di depannya terdapat beberapa tukang ojek, tak jauh dari Koramil Paseh. Seorang di antara mereka mengatakan, saya bisa menemui Haji Omon yang rumahnya dekat pangkalan keretek (dokar) di Kampung Pasir Kukun.


Gerombolan Menggorok Teman Kakaknya

Dari jalan raya, jalan menuju rumahnya semakin mengecil, hanya setapak, tahi kuda berceceran. Saat menemui saya, Omon, yang kini tinggal di rumah anaknya, mengenakan kopiah putih, barangkali habis salat zuhur.

Pendengarannya sama dengan Éméh, tidak terlalu baik. Ia mengaku kelahiran 1941. Omon lahir di Kampung Sayang, Desa Cipaku, Kecamatan Paseh. Dari Koramil Paseh, letak kampungnya agak ke atas, yang jika terus disusuri ke atas akan bersambung dengan Kabupaten Garut.

Saat mula-mula pasukan DI/TII kerap menjarah perkampungan, usianya belum dewasa. Namun, ia ingat betul bahwa rumahnya pernah “dikunjungi” gerombolan sebanyak empat kali.

Opat kali unggah ka imah. Biasa wé néangan kadaharan. Bapa jeung kolot mah ngan ukur bisa cicing (Empat kali [gerombolan] naik/masuk ke rumah. Seperti biasa [mereka] mencari makanan. Bapak dan orang tua hanya bisa diam),” ujarnya.

Saat situasi semakin genting, ia dan orang tuanya mengungsi ke Majalaya. Kakaknya adalah salah seorang anggota OKD—ia menyebutnya hansip—yang diincar gerombolan karena nyalinya besar. Menurutnya, para anggota OKD termasuk kakaknya memang orang-orang pemberani yang selalu ikut dalam pertempuran melawan gerombolan.

Namun, karena hal itulah mereka juga menjadi incaran utama untuk dibunuh. Sial menimpa Onda, teman kakaknya sesama anggota OKD. Ia tertembak gerombolan, dan saat warga menemukan jenazahnya, luka besar menganga tampak pada bagian lehernya.

Dipeuncit gorombolan (Digorok gerombolan),” ujarnya.

Meski tak seberani kakaknya, Omon pernah ikut dalam Operasi Pagar Betis (Pasukan Gabungan ABRI Rakyat Berantas Tentara Islam) di kaki Gunung Rakutak, Kecamatan Pacet, saat kekuatan DI/TII semakin lemah. Setiap dua puluh meter, pos-pos penjagaan berupa pondok didirikan. Setiap pos diisi lima orang yang bersenjatakan golok.

Loba pisan nu milu pager bitis, Rakutak nepi eundeur (Banyak sekali yang ikut [operasi] Pagar Betis, [Gunung] Rakutak sampai bergetar),” ungkapnya.

Rakyat bergantian menjaga pos. Omon kebagian tiga hari. Saat ikut berjaga, rutinitasnya hanya memasak, makan, dan tidur. Pasukan DI/TII yang pasokan logistiknya mulai terbatas dan kelaparan mulai mengganas, satu-persatu turun dari gunung lalu menyerahkan diri.

Berkali-kali ia mengatakan yang diakhiri tawa berderai-derai: saat berjaga dirinya enak makan dan enak tidur.

Namun, wajahnya juga memancarkan keprihatinan saat menceritakan pembakaran kampung-kampung yang dilakukan gerombolan, seperti Kampung Cijengkol dan Kampung Pabeyan. Keduanya terletak di Kecamatan Paseh.


Markas Tentara dan Makam Keramat

Sebelum pamit, Omon menyarankan saya untuk menemui Dalang Omay karena katanya mereka seangkatan, sama-sama kelahiran 1941.

Tak lama mencari, akhirnya saya dapat menemukan rumah Omay. Kini seluruh rambutnya telah memutih. Namun, pendengarannya masih sangat baik. Dan barangkali karena ia telah puluhan tahun mendalang, kisah yang dituturkannya pun mengalir lancar.

Menurut Omay, ia lahir di Ciwangi pada 1941 dan tak pernah pindah dari kampung halamannya. Rumah Omay tak jauh dari Koramil Paseh, tempat yang dulu menjadi markas salah satu kompi dalam usaha pemadaman pembrontakan DI/TII. Kompi tersebut dipimpin Letda Karim, tentara yang tewas disergap gerombolan di Desa Cipedes.

Omay menuturkan, berbeda dengan komandan-komandan kompi yang lain, yang membuat rakyat menjaga jarak karena merasa segan, Letda Karim adalah komandan kompi yang disegani sekaligus dekat dengan rakyat.

Ia tak merasa heran saat saya menceritakan apa yang disampaikan Éméh tentang suaminya yang suka ikut berpatroli dengan Letda Karim.

Letnan Karim memang caket pisan sareng rahayat (Letnan Karim memang sangat dekat dengan rakyat),” ujarnya.

Peristiwa di Cipedes yang menewaskan Letda Karim beserta beberapa anggotanya, menurut Omay, adalah tonggak dalam hidupnya, sebab ia masih ditakdirkan hidup sampai sekarang.

Sekali waktu, saat ia bersiap pergi ke Desa Sukamanah, Kecamatan Paseh untuk mendalang dalam pertunjukan wayang orang, Letda Karim mengajaknya berpatroli ke Cipedes. Ia sebetulnya merasa tak enak hati menolak ajakan tersebut, tapi jadwal mendalang jauh-jauh hari telah ditentukan. Akhirnya ia tak ikut berpatroli yang berujung jentaka itu.

Kampung Ciwangi tempat ia tinggal, selain karena menjadi markas tentara, juga karena keberadaan makam keramat sehingga dari awal sampai akhir pemberontakan DI/TII tak pernah jatuh ke pihak gerombolan.

Percanten teu percanten, tapi sigana makom éta gé nu janten sabab gorombolan teu tiasa ngarebut Ciwangi (Percaya gak percaya, tapi sepertinya makam [keramat] juga menjadi penyebab gerombolan tidak bisa merebut Ciwangi [dari tentara]),” ucapnya.

Ia menyaksikan dua peristiwa berdarah yang menimpa gerombolan yang berhasil ditangkap tentara. Pertama, saat sekitar lima sampai enam gerombolan ditangkap dan tangannya diborgol. Oleh tentara, mereka dibawa ke permakaman tak jauh dari rumahnya. Lubang kuburan telah tersedia. Di tepi kubur, para gerombolan itu dihabisi dan langsung masuk ke lubang kuburan.

Sementara peristiwa lainnya lebih mengerikan. Dua gedung sekolah dasar di Cipaku saat itu dijadikan tempat untuk mengurung dua puluh satu gerombolan yang tertangkap. Sekali waktu, saat kompi dipecah ke dalam sejumlah regu untuk berpatroli, kekuatan tentara yang berada di markas tidak terlalu besar.

Jumlah tentara yang tidak besar itu dikejutkan oleh teriakan-teriakan dari kejauhan, tanda gerombolan hendak menyerbu markas. Tentara berpikir, jika gerombolan berhasil menembus markas dan meloloskan para tahanan, maka kekuatan mereka akan berlipat. Untuk menghindari kemungkinan tersebut, sebelum menghadapi gerombolan yang akan datang menyerbu, tentara terlebih dulu menghabisi para tahanan. Gedung sekolah pun dibanjiri darah. Dalam gelimang darah, seorang tahanan pura-pura mati.

Abdi sareng nu sanésna sasarengan ngangkutan mayit ka kuburan (Saya dan warga lainnya bahu-membahu membawa mayat-mayat tahanan ke kuburan),” ujar Omay.

Saat dibawa ke kuburan itulah seorang tahanan yang pura-pura mati berusaha meloloskan diri, tapi kepalanya segera dihajar batu oleh seorang warga yang bernama Sadma—terkenal bernyali besar—hingga tewas.

Karena terburu-buru, kuburan massal untuk para tahanan yang tewas itu digali tak terlalu dalam. Berhari-hari kemudian, bau busuk menguar. Dipimpin seorang kiai, warga akhirnya membuat lubang baru yang dalam untuk memindahkan mayat-mayat tersebut.

Sebagai seorang dalang, saat pemberontakan DI/TII berkecamuk, Omay pernah berada pada posisi tak menguntungkan. Ia pernah mendalang di sebuah kampung yang ternyata telah dikuasai gerombolan. Pimpinan kompi markas tentara di Kecamatan Ibun menganggapnya sebagai bagian dari gerombolan.

Beruntung, saat ia menghadap pimpinan kompi tersebut, Omay didampingi Mayor Halim dari Kompi Kecamatan Paseh. Mayor Halim bersaksi bahwa Omay bukan bagian dari gerombolan sehingga ia akhirnya selamat.

Meski kampungnya dijadikan markas tentara, tapi hari-hari genting tak pernah absen. Tutur kata amat dijaga, sebab gerombolan kerap menyamar menjadi pedagang, atau bahkan warga kampung sendiri bagian dari gerombolan. Beberapa pemuda kampung yang pada siang hari beraktivitas seperti biasa, pada malam hari kerap menghilang. Kemungkinan pergi ke pergunungan bergabung dengan gerombolan.

Menurut Omay, sekali waktu Kepala Desa Sindangsari datang ke kampungnya untuk suatu keperluan. Kepala Desa tersebut sempat belanja ke warung ibunya dan dengan penuh kesal berkata bahwa gerombolan harus ditumpas.

Énjingna, anjeunna ngantunkeun. Bumina di diserang gorombolan (Esoknya, ia—Kepala Desa Sindangsari—meninggal. Rumahnya diserang gerombolan),” terangnya.

Setelah pemberontakan DI/TII berakhir, seorang kawannya yang bernama Démé, yang penah menjadi “camat gerombolan”—pimpinan yang disegani di kalangan pasukan DI/TII—menyerahkan diri ke Koramil Paseh. Ia diampuni dan kembali ke masyarakat seperti sedia kala.

Démé telah meninggal tiga tahun lalu. Saat ia masih hidup, Omay suka menggodanya dengan memanggilnya “camat”.

Ah, ulah ngageroan camat, éta mah jaman baheula, nu enggeus mah enggeus wé (Ah, jangan memanggil camat, itu zaman dulu, yang lalu biarlah berlalu),” jawab Démé seperti diceritakan Omay.


Kabupaten Bandung sebagai Pangkalan Darul Islam

Dalam sejumlah buku yang membahas ataupun hanya menyinggung soal pemberontakan DI/TII di Kabupaten Bandung, cerita-cerita lisan seperti yang Éméh, Omon, dan Omay kisahkan sangat sedikit ditulis. Rata-rata hanya mencatatnya secara garis besar.

Dalam Natsir: Politik Santun di antara Dua Rezim (2011) yang disusun Tempo, terdapat sebuah catatan mengenai pertempuran di Desa Cipaku, Kecamatan Paseh—Tempo menulisnya Kecamatan Ciparay, padahal di Kecamatan Ciparay tidak terdapat desa yang bernama Cipaku—yang membuat pasukan Kartosoewirjo semakin terjepit.

“Mental pasukan makin jatuh ketika, dalam pertempuran di Desa Cipaku, Ciparay, sekitar lima kilometer dari Cicalengka, sebulan sebelum penangkapan itu, kaki sang imam kena tembak,” tulis Tempo.

Puncak kekuatan DI/TII di Jawa Barat menurut Cornelis van Dijk dalam Darul Islam: Sebuah Pemberontakan (1995), berdasarkan catatan Kodam Siliwangi—dulu Divisi Siliwangi—terjadi pada 1957, saat mereka terdiri dari 13.129 personel dengan perlengkapan 3.000 senjata api, termasuk bren dan mortir.

Kekuatan tersebut paling besar berada di Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Ciamis. Namun, di kabupaten lain di Jawa Barat bukan berarti tak kuat.

Van Dijk menambahkan, di Kabupaten Bandung, Cianjur, Sukabumi, dan Bogor pun terdapat pangkalan-pangkalan DI/TII yang cukup kuat, sehingga membuat daerah-daerah tersebut tidak aman.

“Di sebelah timur Bandung, Darul Islam menimbulkan banyak kesulitan sekitar Cicalengka dan Ciparay. Pada Februari 1956 saja pasukan Darul Islam di daerah ini—yang ditaksir berjumlah kira-kira 600 orang—melancarkan tujuh belas serangan, dengan membakar 200 rumah,” tulisnya. (irf)


Tayang pertama kali di Tirto.id pada 8 Maret 2019

No comments: