Showing posts with label kartosoewirjo. Show all posts
Showing posts with label kartosoewirjo. Show all posts

26 June 2021

Digorok Gerombolan: Kesaksian Penyintas Kekejaman DI/TII di Bandung

Éméh masih ingat dengan baik peristiwa itu. Suatu hari pada 1958, pasukan DI/TII menghabisi beberapa anggota TNI yang sedang berpatroli di Desa Cipedes. Ia menyebut TNI dengan kata “tentara”, sementara DI/TII dengan sebutan “gerombolan”.

Setiap sore ia dan semua warga kampung mengungsi ke balai desa. Malam adalah saat-saat tak aman, sebab gerombolan selalu datang menyatroni kampung. Sebelum meninggalkan rumah, semua warga kampung menyediakan nasi dalam bakul untuk gerombolan. Mereka bukan mendukung gerombolan, melainkan agar rumahnya tidak dirusak atau dibakar.

Sangu disimpen di dapur, panto dipolongokeun. Mun teu kitu, bumi tiasa direksak atanapi dirérab (Nasi disimpan di dapur, pintu dibuka. Kalau tidak begitu, rumah bisa dirusak atau dibakar),” ujarnya.

Ia biasanya meninggalkan rumah setelah asar. Namun hari itu agak terlambat. Ia baru pergi menjelang magrib, saat gelap mulai membayang. Baru beberapa langkah meninggalkan rumah, terdengar rentetan senjata. Ia langsung tiarap.

Dari celah pepohonan, pandangannya mengarah ke jalan raya, ke sumber kegaduhan. Sekilas terlihat olehnya beberapa tentara menjelempah bersimbah darah. Éméh tak berani melihat lama. Pelan-pelan ia bangun dan segera pergi ke balai desa.

Di tempat kejadian itu, persis di pinggir jalan raya, sejak 1995 didirikan tugu setinggi kurang lebih dua meter oleh Yonif 304 Kodam Siliwangi, bertuliskan:

“Di sini gugurnya

Letda Karim

Serda Makmur

Praka Sa’ari

Praka Kardi

Praka Sidik

Akibat keganasan DI/TII

Thn. 1958”

Peristiwa tersebut terjadi di Kampung Jamban, Desa Cipedes, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung, tak jauh dari rumah Éméh. Saat itu Desa Cipedes memang salah satu daerah rawan DI/TII. Warga yang hampir setiap hari harus menyediakan nasi untuk gerombolan, juga menjalankan rutinitas harian: sore mengungsi, pagi sebelum terang kembali ke rumah.

Menurut Éméh, setiap hari warga mendapat beras di balai desa yang dibagikan oleh kulisi (pegawai desa yang bertugas menjaga keamanan lingkungan desa). Bukan untuk dirinya, melainkan untuk gerombolan DI/TII.

Tong poho asakan éta beas, améh imah teu diduruk (Jangan lupa, masak berasnya, agar rumah [kalian] tidak dibakar),” kata kepala desa (kades) kepada warga, seperti disampaikan Éméh.

Situasi di balai desa cukup aman, sebab dijaga kulisi dan beberapa orang anggota Organisasi Keamaan Desa (OKD)—milisi setempat yang dilatih tentara dan bertugas menjaga keamanan. Émén, suami Éméh, adalah anggota OKD yang bertugas di Balai Desa.

Dalam Kartu Keluarga (KK), tertulis bahwa Émén lahir pada 1924, sementara istrinya tahun 1951. Namun, kata salah seorang anaknya, catatan itu keliru, sebab usia kedua orang tuanya tidak terlalu berjauhan.

Émén meninggal dua tahun lalu. Dalam beberapa lembar foto yang diperlihatkan anaknya, dalam usia tua ia nampak masih gagah berseragam militer dengan logo Kodam Siliwangi di lengan baju kirinya. Badannya tegap, meski raut mukanya telah dipenuhi keriput.

Nu di imah mah da sok mimilu Létnan Karim (yang di rumah suka ikut Letnan Karim),” kata Éméh.

“Yang di rumah” maksudnya adalah suaminya, Émén. Ia tak pernah memanggil nama atau panggilan lain yang biasa diucapkan seorang istri kepada suami. Hal itu, menurutnya, lantaran hubungan ia dan suaminya “teu hadé” alias tidak baik.

Ulah dibéjakeun atuh Mak sual éta mah (Persoalan itu tidak usah disampaikan, Mak),” kata anaknya. Namun, Éméh terus saja membicarakan hubungan tersebut.

Saat saya temui, Éméh tengah berada di dapur dekat perapian. Oleh anaknya ia dibawa ke teras rumah tetangga yang tersedia sofa. Jalannya agak membungkuk, pendengarannya sudah tidak terlalu baik. Saya harus setengah berteriak setiap kali melontarkan pertanyaan.

Agak risi sebenarnya, sebab pertanyaan-pertanyaan setengah teriak itu takut mengganggu para tetangganya yang barangkali tengah tidur siang atau membangunkan bayi. Dan benar saja, tak lama kemudian para tetangganya berdatangan, ikut mengerubungi kami.

Jika jeda dan pertanyaan saya tak terdengar, pandangan Éméh selalu menerawang. Karena pendengarannya sudah tidak terlalu prima, saya mesti mengulangi beberapa pertanyaan sampai dua atau tiga kali. Saat pertanyaan saya mendarat mulus di kupingnya, mata Éméh hidup kembali, dan ia mulai bercerita.

Sekali waktu, ia terlambat menanak nasi saat gerombolan keburu datang. Kepalanya dihajar popor bedil sebanyak tiga kali. Matanya berkunang-kunang dan ambruk. Setelah sadar, ia segera membereskan pekerjaannya di dapur. Beruntung, gerombolan agak sedikit bersabar, meski barang-barang di rumahnya habis ditendangi. Setelah masak, nasi segera ia suguhkan, dan gerombolan membawa nasi beserta bakulnya.

Isukna boboko geus aya deui di imah (Esoknya, bakul [yang dibawa gerombolan] telah ada lagi di rumah),” ujarnya.

Dalam ingatannya, sejumlah ustaz dan kiai kampung ikut dalam gerakan pemberontakan tersebut. Ia menyebutnya ada empat orang, tapi hanya satu nama yang ia ingat, yaitu Mama Bustomi. “Mama” adalah salah satu panggilan orang Sunda kepada ulama.

Menurutnya, waktu kecil ia belajar mengaji kepada Mama Bustomi. Namun, ia kaget, saat DI/TII mengganas, ia melihat guru ngajinya itu ikut bersama pasukan yang ia sebut “gerombolan”.

Duka di mana Mama anyeuna, pasti tos maot, ah atuda tos lami kajantenanna (Tidak tahu di mana Mama sekarang, pasti sudah meninggal, kan sudah lama kejadiannya),” ujarnya.

Belakangan, jauh setelah pemberontakan DI/TII berakhir, anaknya berusaha mengajukan agar bapaknya, Émén, diangkat menjadi Legiun Veteran, agar mendapatkan tunjungan. Namun sampai hari ini ia, yang mengajukannya lewat calo, tak kunjung mendapatkan kabar gembira. Bahkan setelah dana sebesar tiga juta lebih ia berikan kepada orang yang mengurus pengajuan tersebut.

Éméh yang sudah tua, rupanya tahu juga soal pengajuan ini. Pada akhir pembicaraan ia berkata, “Emak mah teu boga nanaon. Batur mah geus diarangkat. ‘Nu di imah’ mah teu diangkat nepi anyeuna (Emak tak punya apa-apa. Orang lain [yang ikut membantu tentara dalam penumpasan DI/TII] sudah pada diangkat [menjadi Legiun Veteran]. ‘Yang di rumah’ tak diangkat sampai sekarang),” ucapnya.


Mencari Kisah di Ciwangi

Dari rumah Éméh di Desa Cipedes, saya menuju Koramil Paseh yang terletak di Desa Cipaku. Barangkali mereka mempunyai secuplik catatan tentang peristiwa penumpasan DI/TII di wilayahnya. Namun, seorang prajurit jaga yang rambutnya sudah agak memutih menyarankan saya agar menemui para orang tua yang masih tersisa yang mengalami peristiwa tersebut.

Tak jauh dari Koramil Paseh memang terdapat tugu yang dibuat Kodam Siliwangi. Pada tugu tersebut terdapat ucapan terima kasih TNI kepada masyarakat atas peran aktifnya dalam menjaga keamanan.

Dua tahun lalu, saya bersama Komunitas Aleut (komunitas sejarah di Kota Bandung) pernah menyambangi tugu tersebut dan bertemu dengan Omay—mantan dalang wayang golek dan wayang orang—saat mengunjungi sebuah makam keramat di Kampung Ciwangi, Desa Cipaku. Waktu itu Omay sempat bercerita sekilas tentang penumpasan DI/TII di Kampung Ciwangi.

Namun, saya tak segera mencari dan menemuinya dengan pertimbangan bahwa orang tersebut tidak akan terlalu sulit dicari, karena saya pernah bertemu dengannya. Bahkan wajahnya pun saya masih ingat.

Prajurit jaga Koramil Paseh lantas memanggil seorang juru parkir untuk menunjukkan sejumlah rumah orang tua yang mengalami zaman gerombolan. Barangkali karena tengah sibuk, juru parkir itu hanya menunjukkan rumah-rumah tersebut berdasarkan beberapa tanda.

“Rumah Bu Hajjah Iwing dekat pemancar, tak jauh dari pabrik. Akang terus saja jalan ke atas, ke arah Ciwangi. Ia pernah mengalami [masa pemberontakan DI/TII],” ujarnya.

Setelah bertanya ke sejumlah orang, akhirnya saya menemukan rumah yang dimaksud. Suasana di halaman dan di dalam rumah tampak sepi. Berkali-kali saya permisi, tapi tak juga ada jawaban dari dalam. Seorang tetangganya memberi tahu, mungkin Hajjah Iwing sedang pergi ke majelis taklim mengikuti pengajian, dan pulangnya biasanya sore.

Saya akhirnya pergi ke sebuah warung yang di depannya terdapat beberapa tukang ojek, tak jauh dari Koramil Paseh. Seorang di antara mereka mengatakan, saya bisa menemui Haji Omon yang rumahnya dekat pangkalan keretek (dokar) di Kampung Pasir Kukun.


Gerombolan Menggorok Teman Kakaknya

Dari jalan raya, jalan menuju rumahnya semakin mengecil, hanya setapak, tahi kuda berceceran. Saat menemui saya, Omon, yang kini tinggal di rumah anaknya, mengenakan kopiah putih, barangkali habis salat zuhur.

Pendengarannya sama dengan Éméh, tidak terlalu baik. Ia mengaku kelahiran 1941. Omon lahir di Kampung Sayang, Desa Cipaku, Kecamatan Paseh. Dari Koramil Paseh, letak kampungnya agak ke atas, yang jika terus disusuri ke atas akan bersambung dengan Kabupaten Garut.

Saat mula-mula pasukan DI/TII kerap menjarah perkampungan, usianya belum dewasa. Namun, ia ingat betul bahwa rumahnya pernah “dikunjungi” gerombolan sebanyak empat kali.

Opat kali unggah ka imah. Biasa wé néangan kadaharan. Bapa jeung kolot mah ngan ukur bisa cicing (Empat kali [gerombolan] naik/masuk ke rumah. Seperti biasa [mereka] mencari makanan. Bapak dan orang tua hanya bisa diam),” ujarnya.

Saat situasi semakin genting, ia dan orang tuanya mengungsi ke Majalaya. Kakaknya adalah salah seorang anggota OKD—ia menyebutnya hansip—yang diincar gerombolan karena nyalinya besar. Menurutnya, para anggota OKD termasuk kakaknya memang orang-orang pemberani yang selalu ikut dalam pertempuran melawan gerombolan.

Namun, karena hal itulah mereka juga menjadi incaran utama untuk dibunuh. Sial menimpa Onda, teman kakaknya sesama anggota OKD. Ia tertembak gerombolan, dan saat warga menemukan jenazahnya, luka besar menganga tampak pada bagian lehernya.

Dipeuncit gorombolan (Digorok gerombolan),” ujarnya.

Meski tak seberani kakaknya, Omon pernah ikut dalam Operasi Pagar Betis (Pasukan Gabungan ABRI Rakyat Berantas Tentara Islam) di kaki Gunung Rakutak, Kecamatan Pacet, saat kekuatan DI/TII semakin lemah. Setiap dua puluh meter, pos-pos penjagaan berupa pondok didirikan. Setiap pos diisi lima orang yang bersenjatakan golok.

Loba pisan nu milu pager bitis, Rakutak nepi eundeur (Banyak sekali yang ikut [operasi] Pagar Betis, [Gunung] Rakutak sampai bergetar),” ungkapnya.

Rakyat bergantian menjaga pos. Omon kebagian tiga hari. Saat ikut berjaga, rutinitasnya hanya memasak, makan, dan tidur. Pasukan DI/TII yang pasokan logistiknya mulai terbatas dan kelaparan mulai mengganas, satu-persatu turun dari gunung lalu menyerahkan diri.

Berkali-kali ia mengatakan yang diakhiri tawa berderai-derai: saat berjaga dirinya enak makan dan enak tidur.

Namun, wajahnya juga memancarkan keprihatinan saat menceritakan pembakaran kampung-kampung yang dilakukan gerombolan, seperti Kampung Cijengkol dan Kampung Pabeyan. Keduanya terletak di Kecamatan Paseh.


Markas Tentara dan Makam Keramat

Sebelum pamit, Omon menyarankan saya untuk menemui Dalang Omay karena katanya mereka seangkatan, sama-sama kelahiran 1941.

Tak lama mencari, akhirnya saya dapat menemukan rumah Omay. Kini seluruh rambutnya telah memutih. Namun, pendengarannya masih sangat baik. Dan barangkali karena ia telah puluhan tahun mendalang, kisah yang dituturkannya pun mengalir lancar.

Menurut Omay, ia lahir di Ciwangi pada 1941 dan tak pernah pindah dari kampung halamannya. Rumah Omay tak jauh dari Koramil Paseh, tempat yang dulu menjadi markas salah satu kompi dalam usaha pemadaman pembrontakan DI/TII. Kompi tersebut dipimpin Letda Karim, tentara yang tewas disergap gerombolan di Desa Cipedes.

Omay menuturkan, berbeda dengan komandan-komandan kompi yang lain, yang membuat rakyat menjaga jarak karena merasa segan, Letda Karim adalah komandan kompi yang disegani sekaligus dekat dengan rakyat.

Ia tak merasa heran saat saya menceritakan apa yang disampaikan Éméh tentang suaminya yang suka ikut berpatroli dengan Letda Karim.

Letnan Karim memang caket pisan sareng rahayat (Letnan Karim memang sangat dekat dengan rakyat),” ujarnya.

Peristiwa di Cipedes yang menewaskan Letda Karim beserta beberapa anggotanya, menurut Omay, adalah tonggak dalam hidupnya, sebab ia masih ditakdirkan hidup sampai sekarang.

Sekali waktu, saat ia bersiap pergi ke Desa Sukamanah, Kecamatan Paseh untuk mendalang dalam pertunjukan wayang orang, Letda Karim mengajaknya berpatroli ke Cipedes. Ia sebetulnya merasa tak enak hati menolak ajakan tersebut, tapi jadwal mendalang jauh-jauh hari telah ditentukan. Akhirnya ia tak ikut berpatroli yang berujung jentaka itu.

Kampung Ciwangi tempat ia tinggal, selain karena menjadi markas tentara, juga karena keberadaan makam keramat sehingga dari awal sampai akhir pemberontakan DI/TII tak pernah jatuh ke pihak gerombolan.

Percanten teu percanten, tapi sigana makom éta gé nu janten sabab gorombolan teu tiasa ngarebut Ciwangi (Percaya gak percaya, tapi sepertinya makam [keramat] juga menjadi penyebab gerombolan tidak bisa merebut Ciwangi [dari tentara]),” ucapnya.

Ia menyaksikan dua peristiwa berdarah yang menimpa gerombolan yang berhasil ditangkap tentara. Pertama, saat sekitar lima sampai enam gerombolan ditangkap dan tangannya diborgol. Oleh tentara, mereka dibawa ke permakaman tak jauh dari rumahnya. Lubang kuburan telah tersedia. Di tepi kubur, para gerombolan itu dihabisi dan langsung masuk ke lubang kuburan.

Sementara peristiwa lainnya lebih mengerikan. Dua gedung sekolah dasar di Cipaku saat itu dijadikan tempat untuk mengurung dua puluh satu gerombolan yang tertangkap. Sekali waktu, saat kompi dipecah ke dalam sejumlah regu untuk berpatroli, kekuatan tentara yang berada di markas tidak terlalu besar.

Jumlah tentara yang tidak besar itu dikejutkan oleh teriakan-teriakan dari kejauhan, tanda gerombolan hendak menyerbu markas. Tentara berpikir, jika gerombolan berhasil menembus markas dan meloloskan para tahanan, maka kekuatan mereka akan berlipat. Untuk menghindari kemungkinan tersebut, sebelum menghadapi gerombolan yang akan datang menyerbu, tentara terlebih dulu menghabisi para tahanan. Gedung sekolah pun dibanjiri darah. Dalam gelimang darah, seorang tahanan pura-pura mati.

Abdi sareng nu sanésna sasarengan ngangkutan mayit ka kuburan (Saya dan warga lainnya bahu-membahu membawa mayat-mayat tahanan ke kuburan),” ujar Omay.

Saat dibawa ke kuburan itulah seorang tahanan yang pura-pura mati berusaha meloloskan diri, tapi kepalanya segera dihajar batu oleh seorang warga yang bernama Sadma—terkenal bernyali besar—hingga tewas.

Karena terburu-buru, kuburan massal untuk para tahanan yang tewas itu digali tak terlalu dalam. Berhari-hari kemudian, bau busuk menguar. Dipimpin seorang kiai, warga akhirnya membuat lubang baru yang dalam untuk memindahkan mayat-mayat tersebut.

Sebagai seorang dalang, saat pemberontakan DI/TII berkecamuk, Omay pernah berada pada posisi tak menguntungkan. Ia pernah mendalang di sebuah kampung yang ternyata telah dikuasai gerombolan. Pimpinan kompi markas tentara di Kecamatan Ibun menganggapnya sebagai bagian dari gerombolan.

Beruntung, saat ia menghadap pimpinan kompi tersebut, Omay didampingi Mayor Halim dari Kompi Kecamatan Paseh. Mayor Halim bersaksi bahwa Omay bukan bagian dari gerombolan sehingga ia akhirnya selamat.

Meski kampungnya dijadikan markas tentara, tapi hari-hari genting tak pernah absen. Tutur kata amat dijaga, sebab gerombolan kerap menyamar menjadi pedagang, atau bahkan warga kampung sendiri bagian dari gerombolan. Beberapa pemuda kampung yang pada siang hari beraktivitas seperti biasa, pada malam hari kerap menghilang. Kemungkinan pergi ke pergunungan bergabung dengan gerombolan.

Menurut Omay, sekali waktu Kepala Desa Sindangsari datang ke kampungnya untuk suatu keperluan. Kepala Desa tersebut sempat belanja ke warung ibunya dan dengan penuh kesal berkata bahwa gerombolan harus ditumpas.

Énjingna, anjeunna ngantunkeun. Bumina di diserang gorombolan (Esoknya, ia—Kepala Desa Sindangsari—meninggal. Rumahnya diserang gerombolan),” terangnya.

Setelah pemberontakan DI/TII berakhir, seorang kawannya yang bernama Démé, yang penah menjadi “camat gerombolan”—pimpinan yang disegani di kalangan pasukan DI/TII—menyerahkan diri ke Koramil Paseh. Ia diampuni dan kembali ke masyarakat seperti sedia kala.

Démé telah meninggal tiga tahun lalu. Saat ia masih hidup, Omay suka menggodanya dengan memanggilnya “camat”.

Ah, ulah ngageroan camat, éta mah jaman baheula, nu enggeus mah enggeus wé (Ah, jangan memanggil camat, itu zaman dulu, yang lalu biarlah berlalu),” jawab Démé seperti diceritakan Omay.


Kabupaten Bandung sebagai Pangkalan Darul Islam

Dalam sejumlah buku yang membahas ataupun hanya menyinggung soal pemberontakan DI/TII di Kabupaten Bandung, cerita-cerita lisan seperti yang Éméh, Omon, dan Omay kisahkan sangat sedikit ditulis. Rata-rata hanya mencatatnya secara garis besar.

Dalam Natsir: Politik Santun di antara Dua Rezim (2011) yang disusun Tempo, terdapat sebuah catatan mengenai pertempuran di Desa Cipaku, Kecamatan Paseh—Tempo menulisnya Kecamatan Ciparay, padahal di Kecamatan Ciparay tidak terdapat desa yang bernama Cipaku—yang membuat pasukan Kartosoewirjo semakin terjepit.

“Mental pasukan makin jatuh ketika, dalam pertempuran di Desa Cipaku, Ciparay, sekitar lima kilometer dari Cicalengka, sebulan sebelum penangkapan itu, kaki sang imam kena tembak,” tulis Tempo.

Puncak kekuatan DI/TII di Jawa Barat menurut Cornelis van Dijk dalam Darul Islam: Sebuah Pemberontakan (1995), berdasarkan catatan Kodam Siliwangi—dulu Divisi Siliwangi—terjadi pada 1957, saat mereka terdiri dari 13.129 personel dengan perlengkapan 3.000 senjata api, termasuk bren dan mortir.

Kekuatan tersebut paling besar berada di Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Ciamis. Namun, di kabupaten lain di Jawa Barat bukan berarti tak kuat.

Van Dijk menambahkan, di Kabupaten Bandung, Cianjur, Sukabumi, dan Bogor pun terdapat pangkalan-pangkalan DI/TII yang cukup kuat, sehingga membuat daerah-daerah tersebut tidak aman.

“Di sebelah timur Bandung, Darul Islam menimbulkan banyak kesulitan sekitar Cicalengka dan Ciparay. Pada Februari 1956 saja pasukan Darul Islam di daerah ini—yang ditaksir berjumlah kira-kira 600 orang—melancarkan tujuh belas serangan, dengan membakar 200 rumah,” tulisnya. (irf)


Tayang pertama kali di Tirto.id pada 8 Maret 2019

22 November 2019

Kartosoewirjo dan Pandangan Politiknya di Surat Kabar Fadjar Asia



Tulisan-tulisan politik Kartosoewirjo dalam surat kabar Fadjar Asia tak lepas dari propaganda Sarekat Islam tentang pentingnya berorganisasi dan kembali ke jalan Islam.

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo lahir pada tahun 1905. Lima puluh tujuh tahun kemudian pendiri Negara Islam Indonesia ini meninggal dunia di hadapan regu tembak di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu.

Narasi yang membalur hampir sekujur hayatnya adalah seorang pemberontak. Kekecewaannya terhadap pemerintah Republik di pengujung era revolusi membuat ia memilih bergerilya selama belasan tahun di hutan-hutan di Jawa Barat.

Jika melihat ulang masa lalunya sebelum perang berkecamuk di Pasifik, Kartosoewirjo muda sejatinya adalah karib Sukarno, Presiden Indonesia pertama yang menandatangai surat hukuman mati bagi dirinya. Mereka juga lahir dari rahim tokoh pergerakan yang sama, yakni Tjokroaminoto.

Tahun 1920-an, Kartosoewirjo dan Sukarno sempat bersama-sama menjadi penulis di surat kabar Fadjar Asia. Dalam harian yang didirikan Agus Salim dan Tjokroaminoto ini, terserak jejak pandangan politik Kartosoewirjo sebelum mereka berpisah jalan.


Lahir di Tengah Kemunduran Sarekat Islam

 Fadjar Asia pertama kali terbit pada November 1927. Surat kabar yang dibidani orang-orang Sarekat Islam ini lahir setelah organisasi pergerakan tersebut mengalami kemunduran setelah pecah karena masuknya pengaruh komunis.

Surat kabar pertama dan utama di kalangan Sarekat Islam adalah Oetoesan Hindia yang mula-mula terbit pada Desember 1912. Pembacanya sangat banyak dan setia.

Memasuki 1924, Sarekat Islam menerbitkan surat kabar baru bernama Bendera Islam sebagai respons terhadap isu khilafah yang menghangat di kalangan negara-negara Islam seiring runtuhnya Kekhalifahan Turki Utsmani.

Namun, Bendera Islam ternyata hanya bertahan selama tiga tahun. Sarekat Islam pun kembali fokus kepada nasionalisme Indonesia. Saat itulah Fadjar Asia lahir dan dianggap sebagai penerus Bendera Islam.

Dalam Seratus Tahun Haji Agus Salim (1984), surat kabar yang terbit dengan jumlah halaman 10 sampai 12 ini awalnya mendapat suntikan dana dari Raja Arab Saudi yang terkesan dengan cita-cita Agus Salim untuk menyadarkan rakyat Indonesia, agar mampu membebaskan diri dan tanah airnya dari penjajahan bangsa asing.

Pertemuannya dengan raja tersebut terjadi saat Agus Salim pulang dari Mekah pada tahun 1927 ketika menghadiri Muktamar Alam Islami.

“Raja tersebut lalu berkenan menyumbangkan sejumlah uang, sesuatu pemberian yang oleh Agus Salim langsung dimanfaatkan untuk menerbitkan surat kabar. Usaha ini dilakukan bersama dengan Tjokroaminoto dan seorang teman lagi yang memiliki modal kuat,” tulis penyusun buku tersebut.

Fadjar Asia yang mempunyai tujuan sebagai “penerangan Islam tentang agama, adab, dan politik” kemudian dipimpin oleh Agus Salim dan Tjokroaminoto. Sementara Kartosoewirjo sebagai redaktur.

Surat kabar ini berkantor di Pasar Senen, Batavia. Tjokroaminoto sesekali mengisi halaman pertama, misalnya seperti pada 21 Juli 1929 saat ia menulis soal budi pekerti Islam buat kaum miskin.

Takashi Shiraishi penulis buku Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (2005) mengatakan dalam Tjokroaminoto: Guru Para Pendiri Bangsa (2016) bahwa terdapat perbedaan mendasar antara Oetoesan Hindia dan Fadjar Asia.

Jika Oetoesan Hindia adalah koran Sarekat Islam yang sangat berpengaruh karena dibaca banyak orang, maka Fadjar Asia hanyalah jurnal internal Sarekat Islam, koran yang terbit pada masa-masa kemunduran organisasi tersebut.

“Fadjar Asia muncul saat Sarekat Islam tengah merosot dan berada di bawah bayang-bayang surat kabar sebelumnya,” ujar Shiraishi.

Meski demikian, Fadjar Asia tetap memperlihatkan kesungguhannya dalam membela rakyat yang tertindas. Agus Salim sebagai pimpinan sampai harus turun ke lapangan, masuk ke daerah-daerah perkebunan di pedalaman Pulau Jawa, Sumatra, dan Kalimantan.

“Ia (Agus Salim) melaporkan keadaan buruh-buruh yang diperas tenaganya dengan upah yang sangat minim,” tulis penyusun Seratus Tahun Haji Agus Salim (1984).


Membela Rakyat dan Anjuran Kembali kepada Islam

 Sebagai redaktur, Kartosoewirjo pun banyak menulis di surat kabar itu. Beberapa tulisannya di Fadjar Asia belakangan dikumpulkan dan diterbitkan bertajuk Nasib Rakyat di Tanah Jajahan (2018).

Seperti tulisan-tulisan Agus Salim yang banyak melaporkan kondisi rakyat yang menderita, Kartosoewirjo pun menulis dengan langgam serupa. Namun, dalam beberapa artikel ia berkali-kali menekankan tentang pentingnya berserah kepada Allah Swt dan kembali kepada jalan Islam. Hal ini sebetulnya tak mengherankan karena seperti ditulis sebelumnya, surat kabar ini memosisikan dirinya sebagai “penerangan Islam tentang agama, adab, dan politik”.

Dalam Fadjar Asia edisi 12 Februari 1929, Kartosoerwirjo menulis artikel bertajuk “Rakyat dan Nasibnya”. Ia menyinggung soal nasib kuli-kuli kontrak perkebunan yang bernasib buruk, kaum pergerakan yang telah berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun mendekam di terungku, juga nasib kaum pergerakan lain yang diasingkan.

“Kita tahu atau sekurang-kurangnya kita mengerti, bagaimana besar untung-malang yang menimpa kaum buruh bangsa kita di pantai Sumatra Timur itu, yang terikat oleh suatu perjanjian yang sangat merendahkan derajat kaum buruh,” tulisnya.

Menurutnya, persoalan-persoalan tersebut merupakan perpanjangan nasib buruk rakyat Indonesia yang dari dulu belum pernah merdeka secara luas dan benar. Sejak zaman kerajaan hingga kedatangan bangsa Eropa, rakyat selalu menjadi golongan yang tertindas.

“[…] maka yang boleh dianggap merdeka cuma rajanya saja, tetapi rakyatnya sejak zaman itu sampai kini tinggal dalam gelombang penghambaan dan penghinaan yang serendah-rendahnya dan sedalam-dalamnya,” imbuhnya.

Menghadapi persoalan seperti itu, Kartosoewirjo menawarkan solusi yang tak lebih dari sekadar pariwara: bergabung dengan Sarekat Islam.

Mula-mula ia mengatakan bahwa dalam kondisi seperti itu, tak ada suatu apa pun yang dapat dijadikan sebagai sandaran dan perlindungan, melainkan hanya kepada Allah Swt.

Sebelum mengimbau untuk bergabung dengan Sarekat Islam, ia terlebih dulu menyalahkan rakyat (umat Islam) yang dianggap kondisi keislamannya saat itu sangat “ganjil”—tanpa menerangkan maksud dari kata tersebut—sehingga nasibnya begitu buruk. Setelah itu ia pun melanjutkan:

“Sekalipun begitu kita bergirang hati dan tidak akan berkecil hati sedikit pun, karena di tanah air kita ini ada suatu pergerakan yang semata-mata bersandarkan kepada Islam dan keislaman, yang hanya bercita-cita akan memuliakan Islam di atas segala-galanya.”

Tulisan Kartosoewirjo dengan langgam seperti itu bertebaran di Fadjar Asia, di antaranya: “Rakyat Mulai Sadar Akan Hak-haknya” (16/2/1929), “Mudahnya Hak Rakyat Jajahan Dilanggar” (23/2/1929), “Beban Penderitaan Rakyat” (27/4/1929), “Mana Hak Rakyat?” (8/6/1929), dan lain-lain.

Pada edisi 3 Juni 1929, Kartosoewirjo menulis artikel berjudul “Soal Kaum Buruh dan Majikan”. Ia mengabarkan dua orang buruh yang kena pecat perusahaannya.

Menurut Kartosoewirjo, kedua buruh ini tak mempunyai kekuatan karena mereka tidak berserikat. Padahal mereka berhak dan bahkan wajib menuntut haknya. Dan sekali lagi, Kartosoewirjo kembali mengajak pembacanya untuk bergabung dengan organisasi yang ia termasuk di dalamnya.

“Oleh karena itu, maka saya mengharap saudara-saudara sekalian kaum buruh […] hendaklah suka menyertakan diri dalam kalangan pergerakan kita, agar supaya segala apa yang kita harapkan dapat dibuktikan dengan kekuatan tenaga dan pikiran kita sendiri,” tulisnya.

Selain menekankan tentang pentingnya kembali kepada jalan Islam dan berorganisasi demi mengumpulkan kekuatan, Kartosoewirjo juga sempat menyinggung soal perilaku bangsa Belanda terhadap kaum perempuan terutama yang berada di perkebunan.

Dalam Fadjar Asia edisi 3 Juni 1929, ia menulis artikel yang penuh kegeraman bertajuk “Belanda Kebun yang Suka Mempermainkan Anak Istri Orang”.

Ia dengan tegas mengatakan bahwa orang-orang kulit putih yang bekerja di perkebunan-perkebunan adalah kaum yang terasing dari kesopanan dan kemajuan. Mereka amat doyan mempermainkan perempuan, baik yang dijadikan nyai atau pun sekadar menggodanya.

“Perempuan bangsa kita yang selalu terganggu keamanan dirinya oleh orang-orang yang bertabiat hewan, yang seolah-olah tidak kenal atau memang tidak kenal akan budi bahasa,” tulisnya.

Pada artikelnya, Kartosoewirjo mengutip tulisan pengalaman seseorang yang bernama Siti Masiah di Sumatra. Perempuan itu mengisahkan sebuah perjalanan dari Siantar ke Prapat dengan memakai mobil. Pada mobil tersebut, selain dirinya dan perempuan-perempuan lain yang berasal dari Toba dan Jawa, terdapat pula dua orang Belanda. Ia duduk di antara dua orang Belanda itu.

Mula-mula, bule-bule itu mengajaknya ngobrol dan ia anggap wajar saja sebab kalau sekadar ngomong dalam perjalanan baginya sudah biasa. Kemudian seorang di antara mereka bertanya soal isi bungkusan barang bawaannya: sebuah mesin tulis. Sementara Belanda itu menyangka isinya sebuah gramofon.

“Aeee, ini dia gramofon, en boleh bikin senang-senang, en minta dia punya mangkok kita boleh putar en saya dansa,” ucap si bule kegirangan.

Saudara Siti Masih yang juga turut dalam mobil berkata, “Bukan gramofon Tuan, itu hanya mesin tulis kepunyaan adik saya.”

“Mesin tulis?” tanya si Belanda kaget.

“Ya, tuan,” jawabnya lagi.

Kowe punya adik mana?” tanya si Belanda.

Saudaranya kemudian menunjuk kepada Siti Masiah. Dan sebelum Belanda itu berkata lagi, Siti Masiah telah menghajarnya dengan cepat memakai bahasa Belanda.

“Apa Tuan kira kaum ibu bangsa Indonesia tidak dapat menduduki bangku sekolah?” ucap Siti Masiah.

“Dari Java sampai ke Deli saya berjalan dan saya tulis apa pandangan saya dengan pertolongan mesin tulis ini, tulisan itu kelak ada yang saya siarkan dalam surat kabar dan ada yang saya akan jadikan buku,” lanjutnya.

Mendengar perkataan seperti itu, si Belanda langsung merah mukanya karena malu. Sikapnya berubah menjadi sopan. Sementara Belanda satunya lagi kemudian mencoba menawarkan makanan, tapi ia tolak.

Menurut Siti Masiah, orang-orang Belanda itu terlalu lama tinggal di perkebunan dan mereka terbiasa berlaku kurang ajar kepada para perempuan pribumi. Lebih dari itu mereka juga kerap berlaku kasar dan mengejek kuli-kuli kontrak. Hal ini membuat mereka tidak tahu dunia luar, terutama perkotaan, di mana golongan terpelajar mampu melawannya.

“Sekali ia (orang Belanda) keluar kota atau sedang di perjalanan, hendak dicobakan [menggoda] kaum ibu yang terpelajar, sudah tentu tidak dapat,” ucapnya.

Dengan menyertakan kisah ini, Kartosoewirjo hendak mengkritisi orang-orang Belanda yang kurang ajar, juga membangunkan kesadaran kaum perempuan pribumi atas perlakuan bule-bule itu terutama di perkebunan.

“[…] bangsa kita sudah terkenal akan kemurahan harganya. Malah seringkali tidak ada harganya sama sekali, atau lebih tegas lagi tidak dihargai sedikit pun juga!” imbuhnya geram.

Sampai akhirnya Fadjar Asia berhenti terbit, pandangan-pandangan politik Kartosoewirjo senantiasa hadir dalam surat kabar itu. Secara garis besar—karena surat kabar ini dinakhodai oleh orang-orang Sarekat Islam—persoalan-persoalan penderitaan rakyat yang dihamparkannya pun kerap diakhiri dengan solusi atau ajakan untuk bergabung dengan organisasi itu.

Ketika zaman berubah, dan ia bertualang dengan menjadi musuh Republik, akar pikirannya bisa kita telusuri dari cuplikan-cuplikan pemikirannya saat ia menjadi penulis di Fadjar Asia. Islam senantiasa menjadi pokok pikirannya.

Dan setelah itu, ia pun tandas di hadapan sejarah. Dalam sebuah pidato yang terkumpul dalam Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Sukarno: 30 September 1965-Pelengkap Nawaksara, Sukarno berucap:

“Lantas bersama-sama dengan Kartosoewirjo almarhum saya mengemudikan surat kabar Fadjar Asia. Ini pikiran, Saudara-saudara, yang keluar dalam Fadjar Asia itu saya pupuk terus, saya pupuk terus, saya pupuk terus. Oleh karena ini akan menjadi salah satu pilar daripada revolusi […] yang Bung Karno selamat sampai sekarang sebagai pemimpin gerakan dan revolusi, yang Kartosoewirjo digiling oleh revolusi, sehingga dia tidak lagi masuk sejarah sekarang ini.”
(irf)




Ket:

-Tayang pertama kali di tirto.id pada 11 April 2019
-Foto: elshinta.com

22 July 2017

Mang Koko Mengabadikan Hijrah Siliwangi dan Tragedi DI/TII




Pada suatu pagi di pekarangan rumah, seorang ibu tengah memungut bunga tanjung yang jatuh berserakan. Ibu itu tengah mengandung, lalu tiba-tiba datang kabar bahwa suaminya, yang ikut operasi pagar betis mengepung gerombolan DI/TII, ternyata tewas. Ketika jenazah sang suami datang, ia menangis pilu tak tertahankan. Waktu jenazah hendak dibawa ke kuburan, ia teringat bunga tanjung yang dipungutnya. Lalu rangkaian bunga itu dikalungkan di atas keranda sang suami sebagai tanda kasih penghabisan.

Fragmen kisah tersebut ditulis oleh Mang Koko dalam lagu Kembang Tanjung Panineungan. Lagu itu mengabadikan dengan begitu pilu ceceran kisah dari masa-masa ketika revolusi masih menentukan banyak hal di negeri ini.

Koko Koswara atau lebih dikenal dengan panggilan Mang Koko lahir di Indihiang, Tasikmalaya, pada 10 April 1917. Ia adalah maestro karawitan Sunda. Karya-karyanya terpatri di hati masyarakat Sunda, dinyanyikan di sekolah-sekolah, acara pernikahan, dan peringatan hari kemerdekaan.

Mang Koko juga menulis banyak hal, tiga di antaranya terkait dengan peristiwa sejarah perjalanan bangsa. Ia mengenang para pahlawan kemerdekaan, peristiwa hijrah Divisi Siliwangi, juga pemberontakan DI/TII pimpinan Kartosoewirjo yang banyak melibatkan rakyat.

Kisah hijrahnya Divisi Siliwangi memang terpatri secara khusus dalam ingatan kolektif rakyat Jawa Barat. Ketika perjanjian Renville digelar di Teluk Jakarta pada 17 Januari 1948, dan hasilnya mengharuskan pasukan republik mengosongkan kantong-kantong gerilya di daerah pendudukan Belanda, termasuk Jawa Barat, maka dengan berat hati Divisi Siliwangi harus meninggalkan Tatar Sunda.

Hijrah Siliwangi bukan pekerjaan mudah. Ada harga mahal yang harus dibayar. Letjen (Purn) J.C. Princen, kombatan Belanda yang membelot ke republik, seperti ditulis Hendi Jo, melukiskan proses hijrah itu sebagai perjalanan panjang yang menyiksa hati nuraninya sebagai manusia.

“Ratusan Multatuli tak akan dapat menggambarkan penderitaan ribuan Saija dan Adinda dalam perjalanan ini,” ujarnya.

Meski efek yang ditimbulkan dari perjalanan panjang tersebut menguras rasa kemanusiaan, namun di sisi lain dari sudut pandang militer, keluarnya “maung-maung” Siliwangi dari kantong gerilya memberikan kesempatan untuk unjuk kekuatan pasukan republik yang kerap hanya dianggap sebagai rampok pengacau keamanan.

“Orang-orang Belanda itu terlihat kaget setengah mati melihat kami keluar dari hutan-hutan dan gunung-gunung dengan baju rombeng, tanpa sepatu namun dalam disiplin laiknya tentara profesional dari sebuah negara merdeka. Secara tidak langsung, tujuan mereka membasmi rampok dan garong terbantahkan sudah, karena kami adalah tentara profesional laiknya mereka,” kata almarhum Letkol (Purn) Eddie Soekardi kepada Hendi Jo.
Mang Koko mengabadikan peristiwa hijrah Siliwangi dengan metafora. Pasukan yang meninggalkan tanah Sunda itu disebutkannya sebagai layangan yang akan kembali ke tanah tempat ia dilepas dan diterbangkan. Ada upaya menguatkan dan penghiburan bagi yang ditinggalkan, namun tugas adalah tugas, perintah yang harus ditaati sebagai gambaran kedisiplinan para prajurit berpenampilan semenjana itu:

“Bulan téh langlayangan peuting/ nu ditatar dipulut ku tali gaib/ entong salempang mun kuring miang/ ditatar ti Tatar Sunda/ dipulut nya balik deui ka dieu/ ieuh, masing percaya.

"Bedil geus dipéloran/ granat geus disoréndang/ ieu kuring arék miang/ jeung pasukan Siliwangi/ ka Jogja hijrah taat paréntah.”

(Bulan adalah layangan malam / yang dikendalikan dan ditarik oleh tali gaib / jangan khawatir kalau aku pergi / dikendalikan dari Tatar Sunda / kalau ditarik tentu akan kembali ke sini / hai, harus percaya.

Senapan sudah terisi peluru / granat sudah dibawa / ini aku akan pergi / dengan pasukan Siliwangi / ke Jogja hijrah taat pada perintah)

Ketika Divisi Siliwangi harus hijrah sebagai konsekuensi dari perjanjian Renville yaitu ditetapkannya garis Van Mook (batas wilayah Indonesia dengan Belanda), ada beberapa pihak yang kecewa, salah satunya yaitu Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Ia yang merasa ditinggalkan pemerintah karena Divisi Siliwangi ditarik ke Yogyakarta, bersama laskar Sabilillah dan Hizbullah menolak untuk turut mengosongkan Jawa Barat, lalu membentuk Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
M.H. Budi Santoso dalam buku Darul Islam: Pemberontakan di Jawa Barat yang diterbitkan Pustaka Jaya, menjelaskan bahwa sejatinya Kartosoewirjo telah memproklamasikan Negara Islam Indonesia pada 14 Agustus 1945. Namun karena tiga hari kemudian Sukarno-Hatta membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia di Pegangsaan Timur, maka ia menarik kembali proklamasinya.

Di awal kemerdekaan ia berkiprah di Masyumi, namun karena konflik internal partai membuatnya kembali ke Malangbong, Garut, dengan status tetap sebagai Sekretaris I serta sekaligus ditunjuk sebagai wakil Masyumi di Jawa Barat. Pada 1947, Kartosoewirjo kemudian mendirikan Dewan Pertahanan Ummat Islam Indonesia untuk menghadapi Belanda pada Agresi Militer yang pertama. Sampai tahun 1947, ia kiranya masih tetap loyal kepada republik, sebelum hasil perjanjian Renville pada 1948 membuatnya bersikap berhadap-hadapan dengan pemerintah.

Konflik antara pasukan pemerintah dengan DI/TII, seperti halnya perang yang berkecamuk di manapun, selalu meminta tumbal rakyat sipil. Cadangan logistik pasukan Kartosoewirjo tak jarang dipenuhi dari hasil menjarah harta benda masyarakat. Orang tua dulu menyebutnya sebagai pasukan gerombolan. Situasi ini kemudian dimanfaatkan oleh pemerintah untuk memutus alur logistik, juga mengikutsertakan masyarakat dalam operasi militer yang kemudian dikenal dengan operasi Pagar Betis.
Operasi ini perlahan menuai hasil, karena gerak pasukan DI/TII semakin terbatasi dan cadangan logistik mereka semakin menipis.

“Setelah tiga belas tahun bergerilya melawan pemerintah, Kartosoewirjo dan pasukannya memang makin terpojok. Cadangan logistik yang terus menipis membuat mereka terpaksa makan daun-daunan. Mental pasukan makin jatuh ketika dalam pertempuran di Desa Cipaku, Ciparay, sekitar lima kilometer dari Cicalengka, sebulan sebelum penangkapan, kaki sang imam kena tembak,” tulis tim Tempo dalam "Kalau Aku Mati, Ikuti Natsir" yang terdapat di buku Natsir: Politik Santun di antara Dua Rezim.

Di balik keberhasilan operasi Pagar Betis, tentu korban berjatuhan, termasuk rakyat sipil yang ikut serta dalam operasi tersebut. Kisah kepedihan rakyat inilah yang kemudian diabadikan Mang Koko seperti yang saya tulis di awal paragraf. Kesedihan sang ibu yang waktu suaminya meninggal tengah mengandung, berlanjut di waktu-waktu berikutnya ketika ia memungut bunga tanjung bersama anaknya yang telah dilahirkan dan mulai tumbuh.

“Anaking jimat awaking/ lamun ema mulung tanjung reujeung hidep/ kasuat-suat nya pikiran / tapina kedalna ngan ku hariring

Hariring éling ku éling / kana tanjung nu dipulung/ nu nyeungitan pakarangan/ nu nyeungitan haté urang, panineungan.”

(Anakku permata bunda/ kalau ibu memungut tanjung bersamamu/ teringat kembali dalam pikiran / tapi yang keluar hanya senandung

Senandung ingatan/ kepada tanjung yang dipungut/ yang mengharumkan pekarangan/ yang mengharumkan hati kita, tinggal kenangan)

Semasa hidupnya Mang Koko melalui berbagai gejolak zaman dan mengalami rupa-rupa perjalanan bangsa. Lewat jalan kesenian, ia menjadi saksi dan mencatat berbagai peristiwa. Tanah Sunda sebagai tempat lahir, berkiprah, dan menutup mata, telah membuatnya jatuh hati. Masyarakat Sunda yang menjadi korban dalam pusaran revolusi dan konflik sparatis, ia bela dengan lagu-lagu yang liriknya merawankan hati.

4 Oktober 1985, Mang Koko wafat di Bandung di usia 68 tahun. Tak terhitung jasanya di bidang kesenian, khususnya karawitan. Namanya terus hidup di hati masyarakat Sunda sebagai seorang seniman yang penuh seluruh dalam merawat dan mencintai kesenian Sunda. Ia yang juga pernah aktif di berbagai profesi (pegawai tata usaha, pegawai jawatan penerangan, wartawan, guru)  dan organisasi (Taman Murangkalih, Taman Cangkurileung, Kliningan Ganda Mekar, Taman Bincarung, dll) mungkin tak pernah menyangka akan menjadi seorang maestro karawitan Sunda.

Seperti dalam lagu "Karatagan Pahlawan" yang pernah ditulisnya, barangkali begitu pula sikapnya dalam berkesenian:
 “Teu honcéwang sumoréang/ tékadna pahlawan bangsa/ cadu mundur pantrang mulang/ mun maksud tacan laksana/ berjoang keur lemah cai/ lali rabi tur téga pati/ taya basa ménta pamulang tarima/ ihlas rido keur korban merdéka.” 
(Tidak khawatir dan tidak mencemaskan yang ditinggalkan/ tekad bulat pahlawan bangsa/ pantang mundur tabu kembali/ jika maksud belum terlaksana/ berjuang untuk tanah air/ lupa keluarga dan siap mati/ tiada bahasa minta balas jasa/ ikhlas rida berkorban demi kemerdekaan). (tirto.id - irf/zen)
Tayang pertama kali di tirto.id
tanggal 15 Juli 2017