Dalam sejumlah wabah yang pernah melanda dunia, terdapat beberapa tokoh yang berinisitif terlibat dalam penanggulangannya. Tiga di antaranya adalah Cipto Mangunkusumo, Slamet Atmosudiro, dan Ernesto “Che” Guevara de la Serna. Ketiga tokoh ini berasal dari keluarga menengah yang mampu mengenyam pendidikan tinggi sehingga menjadi dokter.
Kita mulai dari Cipto Mangunkusumo.
Ia dilahirkan pada 4 Maret 1886 di Desa Pecangakan, Ambarawa. Ayahnya adalah
seorang guru HIS yang sempat dipindahkan ke Semarang.
Pada usia 12 tahun, Cipto mengikuti
ujian Klein Ambtenaar atau calon pegawai Pangreh Praja. Ia lulus dengan nilai
terbaik, tetapi kesempatan itu tak diambil. Alasannya, Cipto tidak mau menjadi
amtenar yang disembah rakyat dan menyembah kepada Belanda.
Setahun setelah itu, ia masuk STOVIA
yang letaknya di Batavia untuk belajar ilmu kedokteran. Enam tahun kemudian
Cipto lulus dan diwajibkan menjalankan ikatan dinas selama 10 tahun sebagaimana
umumnya para lulusan STOVIA.
Ia mula-mula ditugaskan di
Banjarmasin dan sejumlah kota lainnnya di Kalimantan. Warsa 1907, Cipto
dipindahkan ke Demak. Di kota inilah ia semakin sering menyaksikan ketimpangan
kehidupan sosial. Kehidupan rakyat bumiputra susah, sementara orang-orang Belanda
dan para priyayi hidupnya lebih baik. Apalagi karena ia kerap keluar masuk
perkampungan dengan mengendarai bendi, maka kehidupan sosial yang tidak sehat
akibat feodalisme dapat ia lihat langsung dan kian menyusahkan hati dan
pikirannya.
Pokok-pokok pikirannya tentang
kondisi sosial kala itu ia tuangkan dalam sejumlah tulisan yang kemudian dimuat
di surat kabar De Locomotief yang
terbit di Semarang.
Hal ini kemudian mendorongnya
memutuskan untuk keluar dari dinas pemerintah. Karena ia belum genap 10 tahun
menjalankan kewajiban, maka Cipto mesti membayar denda yang cukup besar.
Pada 1907 pula Cipto menikah dengan
seorang gadis pilihan ibunya yang berasal dari Temanggung. Hubungan Cipto
dengan sang ibu amat dekat sehingga ia tak bisa menolak pernikahan itu.
Setahun kemudian, saat kaum
pergerakan berhimpun dalam Budi Utomo dan menyelenggarakan kongresnya yang
pertama di Yogyakarta, Cipto ikut serta. Sebagai orang yang mempunyai visi
tajam, Cipto menghendaki Budi Utomo menjadi organisasi terbuka yang bisa menghimpun
semua rakyat bumiputra yang menghendaki kemerdekaan. Sayang, gagasannya itu berseberangan
dengan mayoritas peserta kongres yang justru menghendaki sebaliknya. Golongan
ini terutama diwakili oleh Rajiman Widyodiningrat yang menginginkan Budi Utomo
hanya diisi oleh para priyayi Jawa. Karena buntu, maka Cipto memilih
mengundurkan diri.
Pada 1909, Cipto membuka praktek
dokter partikelir di Solo. Dalam melayani masyarakat yang mayoritas tidak
mampu, ia kerap menggratiskan dan bahkan memberi uang kepada si pasien. Hal ini
membuat masyarakat bersimpati kepadanya. Namun, ia justru lagi-lagi tidak
disukai oleh golongan priyayi seperti Susuhunan Pakubuawan. Raja Jawa ini
menganggap Cipto melanggar etika keraton karena kerap mondar-mandir di sekitar
Alun-alun tanpa seizinnya.
Wabah Pes di Malang
Warsa 1911, wabah pes atau sampar
terjadi di Malang. Kala itu, dokter-dokter Eropa enggan turun ke lapangan untuk
menolong rakyat bumiputra yang paling banyak menjadi korban. Mereka hanya mau
membantu sesama bangsanya. Kondisi ini segera mendorong Cipto untuk mendaftar
menjadi dokter sukarelawan untuk diterjunkan di Malang.
Dalam melaksanakan tugasnya, Cipto
memasrahkan dirinya pada takdir. Saat keluar masuk perkampungan untuk menolong
para korban pes, ia tidak menggunakan masker dan sarung tangan.
Dalam keprihatinan, ia melihat
kebodohan masyarakat yang tidak menyadari bahwa gubuk-gubuk bambunya yang kotor
telah menjadi sarang tikus yang menyebarkan wabah. Namun, ia melihat bahwa hal
itu terjadi karena penjajahan. Masyarakat tidak mempunyai informasi yang
memadai tentang pes dan segi kehidupan lainnya sehingga mereka terbelakang,
karena lagi-lagi kehiduan sosial yang tidak sehat.
Gubuk-gubuk sarang tikus itu kemudian
dibakar. Dalam sebuah gubuk yang setengah terbakar, Cipto menemukan seorang
bayi perempuan yang kedua orang tuanya telah meninggal dunia karena pes. Cipto
mengambil anak tersebut dan diberi nama Pesjati sebagai pengingat wabah yang
telah merenggut orang tua si bayi.
Kegigihan Cipto dalam penanggulangan
wabah pes di Malang kemudian diganjar penghargaan bintang Orde van Oranje
Nassau dari pemerintah Hindia Belanda. Namun, tak lama kemudian penghargaan itu
ia kembalikan karena dirinya tidak diizinkan terjun ke Solo untuk kembali
terlibat dalam penanggulangan wabah pes yang telah menyebar ke kota itu.
Dari Pembungan ke Pembuangan
Setelah mengembalikan penghargaan,
Cipto kemudian pindah ke Bandung untuk bergabung dengan orang-orang pergerakan
yang lebih progresif seperti Douwes Dekker dan Suwardi Suryaningrat yang kelak
lebih dikenal dengan sebutan Ki Hajar Dewantara.
Douwes Dekker adalah pemimpin surat
kabar De Express, maka itu Cipto pun
bergabung dengan harian tersebut, juga menjadi anggota redaksi het Tjidschrifjt. Selanjutnya, bersama
Suwardi Suryaningrat mereka mendirikan Indische Partij dengan syarat keanggotan
adalah pengakuan Indonesia sebagai tanah air.
Sejalan dengan cita-cita Cipto,
partai ini sangat radikal dengan melawan eksploitasi kolonialisme dan
diskriminasi ras, serta menentang kekuasaan Belanda di Hindia.
Pada 1913, mereka membentuk Komite
Bumiputra untuk menentang perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Prancis.
Suwardi Suryaningrat menulis esai berjudul “Als Ik Een Nederlander Was” yang
artinya “Seandainya Aku Orang Belanda”. Tulisan itu kemudian diterjemahan oleh
Abdul Muis sehingga banyak rakyat bumiputra bisa memahaminya.
Akibat tulisan yang menohok jantung
kolonialisme itu, Cipto beserta Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker dibuang
ke Belanda. Di negeri penjajah, Cipto sempat menyampaikan ceramah tentang
pengalamannya saat terlibat dalam menanggulangi wabah pes di Malang.
Dalam ceramahnya ia berkisah tentang
seorang warga yang diasingkan kelompoknya karena terpapar pes. Orang itu dengan
memilukan akhirnya tinggal seorang diri di bawah pohon kamboja sampai ia
meninggal dunia. Dari cerita tersebut Cipto menekankan pentingnya pemerintah
Hindia Belanda untuk sigap dalam penanggulangan wabah pes. Karena malapetaka
itu tak hanya merenggut nyawa, tapi juga mengoyak kehidupan sosial kaum
bumiputra yang semula terkenal ramah menjadi barbar.
Tak seperti kawan-kawannya, Cipto tak
lama tinggal di Belanda karena penyakit asma yang ia derita kian parah. Ia
diizinkan untuk pulang ke Indonesia lebih cepat. Sesampainya di tanah air, Cipto
mula-mula tinggal di Semarang tapi kemudian pindah ke Solo.
Beberapa tahun kemudian ia menikah
dengan seorang indo bernama Marie Vogel, setelah sebelumnya bercerai dengan
istri pertamanya karena terlalu banyak perbedaan. Marie Vogel bersimpati pada gerakan
Indische Partij.
Meski baru pulang dari pembuangan,
tetapi Cipto tak kapok untuk kembali terjun dalam dunia pergerakan. Pada 1917
ia menghidupan kembali Indische Partij dengan nama Insulinde. Di samping itu,
ia juga memimpin dua media yang mendukung gerakannya, yakni Panggoegah dan De Indische Beweging. Tulisan-tulisannya di kedua media itu tetap
keras mengkritisi kolonialisme.
Barangkali siasat pemerintah Hindia
Belanda untuk “menjinakkan” Cipto, maka pada 1918 ia diminta untuk masuk
Volksraad atau Dewan Rakyat. Cipto menerima permintaan itu meski sempat
mendapat cibiran dari sejumlah kaum pergerakan non-kooperatif yang menganggap
Cipto telah melunak. Namun, Cipto berargumen bahwa masuk Volksraad setidaknya
dapat memperjuangkan pelbagai aspirasi rakyat dan berpeluang untuk terwujud.
Dan Cipto tetaplah Cipto. Pada 21
Maret 1920, dalam Kongres Sarekat Hindia di Surakarta, sebagai pembicara kunci
ia menceritakan kisah perseteruan Ki Ageng Mangir Wanayaba dengan Panembahan
Senopati. Inti dari kisah itu adalah tentang sikap priyayi (Panembahan
Senopati) yang lancung.
“Jika pendirinya saja sudah ksatria
gadungan, maka seluruh keturunannya, termasuk Susuhunan Pakubuwana X dan
Mangkunegara VII juga ksatria gadungan. Klaim moral dan historis raja-raja
Mataram atas kerajaan oleh karenanya perlu ditolak,” tulis Takashi Shiraishi
dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat
di Jawa 1912-1926 (1997).
Selain sikap kerasnya terhadap
kepalsuan para priyayi yang terus ia serang, Cipto juga tetap keras mengkritisi
pemerintah. Hal ini membuatnya dikeluarkan dari Volksraad dan dipindahkan ke
Bandung, ke daerah yang mayoritas penduduknya tidak bisa berbahasa Jawa.
Di Bandung, Cipto tinggal di
Tegallega, di sebuah rumah yang terdapat paviliun. Dalam sejumlah buku biografi
tentang dirinya, letak rumah ini tak jelas persisnya di sebalah mana. Dalam
buku karangan M. Balfas misalnya, hanya disebutkan bahwa rumah Cipto di Bandung
dihiasi oleh beberapa pot besar dan dua pokok cemara.
Keberadaan Cipto di Bandung menjadi
inspirasi gerakan kaum muda. Sukarno yang kuliah di Technische Hoogeschool te
Bandoeng (sekarang bernama ITB) kerap mengunjunginya. Jika waktu tinggal di
Surabaya mentor Sukarno adalah HOS Tjokroaminoto, maka di Bandung ia
menemukannya pada diri Cipto.
Popularitas Cipto sebagai tokoh yang
besar perhatiannya terhadap rakyat kecil membuatnya dikagumi juga oleh
orang-orang pergerakan berhaluan komunis. Pada Kongres PKI tahun 1923, foto
Cipto dipajang bersanding dengan Tan Malaka, Karl Marx, Lenin, Gandhi, dan
Multatuli.
Tiga tahun setelah kongres tersebut,
PKI melakukan pemberontakan terhadap pemerintah, dan Cipto dianggap terlibat
sehingga ia dibuang ke Banda Neira, tepatnya pada 1928. Di pembuangan, Cipto
ditemani istri dan tiga anak angkatnya. Kata salah seorang dari mereka, ayah
angkatnya kerap gusar karena dijauhkan dari masyarakat yang selema ini ia
tolong dan perhatikan.
Selama 12 tahun dalam pembuangan, penyakit
asma yang diderita Cipto kian parah. Maka itu, pada 1940, ia diizinkan untuk
pindah ke Makassar agar dapat mengobati asmanya. Namun tak setelah itu, ia
lagi-lagi dibuang ke Sukabumi bersama Hatta dan Sjahrir.
Di Sukabumi yang dingin, kesehatan
Cipto kian memburuk. Ia kemudian pindah ke Batavia dan mendapat tumpangan dari
seorang Tionghoa yang merasa berhutang budi padanya. Saat kondisinya semakin
payah, kepada adiknya (Murtinah) ia berpesan, bahwa jika ia wafat agar
dimakamkan di pekuburan secara sederhana.
“Tanggal 8 Maret [1942] pemerintah
Belanda menyerah [kepada Jepang], dan pada tanggal 8 bulan itu juga aku mau
menyerahkan diriku kepada Yang Maha Kuasa,” ucap Cipto kepada adiknya.
Cipto Mangunkusumo wafat pada 8 Maret
1943, dua tahun sebelum proklamasi kemerdekaan dibacakan oleh dwitunggal
Sukarno-Hatta, tokoh-tokoh pergerakan yang meneruskan cita-citanya.
Slamet Sang Martir
Setelah menimpa Malang pada 1911 dan
merembet ke Solo pada tahun berikutnya, wabah pes terus merangsek ke Jawa
bagian barat dan menghebat di Garut. Di kota inilah kelak Slamet Atmosudiro mengakhiri
hidupnya.
Slamet lahir di Lampegan, Cianjur,
pada 31 Desember 1891. Pada usia belasan tahun ia masuk STOVIA dan lulus pada
1916. Seperti para dokter lainnya, ia juga mesti menjalani ikatan dinas selama
10 tahun dengan bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Hindia Belanda.
Slamet mula-mula ditempatkan di Buegerlijken
Geneeskundigen Dienst (Dinas Pelayanan Medis Sipil) di Centrale Burgerlijke
Ziekenhuis atau sekarang bernama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Setelah itu,
ia dipindahkan ke Tobelo, Halmahera, dari tahun 1918 sampai 1921. Lalu
dipindahkan lagi ke Batavia, dan pada 1925 ia betugas di Garut.
Ketika pes mulai menghebat di kota
tersebut pada 1927, Slamet ditugaskan menjadi ketua tim penanggulangan. Dan warsa
1929, saat pes belum kunjung mereda, ia diangkat menjadi kepala rumah sakit di
tempatnya bekerja, yakni di Algemeen Ziekenhuis Garoet.
Pada 1930, seorang anak pasien pes
datang untuk dirawat di rumah sakit Garut tempat Slamet bekerja. Pasien itu
baru dijemput dari Bojongloa, Bandung. Namun, baru sehari dalam perawatan anak
itu meninggal dunia. Dokter Slamet—yang memeriksa pasien—dan sejumlah orang
yang berada di sekitar anak itu mengalami demam tinggi karena terpapar pes.
Tanggal 10 Mei 1930, Slamet dibawa ke
Tasikmalaya untuk diperiksa di rumah sakit yang memiliki peralatan lebih baik
daripada rumah sakit di Garut. Dalam sehari, kondisi Slamet kian memburuk. Dan
keesokan harinya ia pun meninggal dunia.
Berdasarkan pemeriksaan dokter
Parjono dan dokter Soekardjo di Tasikmalaya, Slamet dinyatakan terpapar pes. Oleh
karena itulah Slemet kemudian kerap disebut sebagai martir dalam penanggulangan
wabah pes di Hindia Belanda.
Slamet meninggalkan seorang istri dan
lima orang anak yang masih kecil. Anak bungsunya bahkan baru berusia dua minggu
ketika ia tinggalkan untuk selamanya. Menurut laporan De Indische Courant (19/08/1930) pemerintah memberikan santunan
kepada keluarga Slamet sebesar 246.50 gulden per bulan.
Sebagai penghormatan kepada dokter
berdedikasi itu, upacara pemakamannya dihadiri oleh sejumlah tokoh penting seperti
Bupati Garut Suriakartalegawa, Bupati Tasikmalaya, Asisten Residen AAC Linek,
para wedara, dan para administratur perkebunan. Gubernur Jenderal Hindia
Belanda bahkan mengirimkan telegram kepada Bupati Tasikmalaya menyampaikan
belasungkawa.
Puluhan tahun kemudian nama Slamet
dijadian nama rumah sakit di Garut tempatnya pernah bertugas, yakni Rumah Sakit
Umum dr. Slamet.
Hikayat Perjalanan Che Guevara
Selain kedua dokter bumiputra tadi,
ada pula tokoh dunia yang juga berinisiatif dalam melakukan pelbagai gerakan,
termasuk dalam bidang kesehatan, yaitu Che Guevara.
Nama aslinya adalah Ernesto Guevara
de la Serna. “Che” adalah sapaan di beberapa negara Amerika Selatan, termasuk
Argentina, yang artinya kira-kira “kawan”, “rekan”, “bro”, dan sebagainya.
Che dilahirkan di Rosario, Argentina,
pada 14 Juni 1928, dari pasangan Ernesto Guevara Lynch dan Celia de la Serna
Llosa. Keluarga Che merupakan kelas menengah keturunan Spanyol dan Irlandia. Ia
adalah anak sulung dari lima bersaudara.
Sejak remaja, ia menaruh minat pada
karya sastra dunia dan filsafat. Dalam membaca, ia sering menuliskan hal-hal
yang dianggapnya menarik, baik berupa ide, konsep, maupun filsafat. Ia mengutip
para penulis dalam obrolan sehari-hari.
Tahun 1932, karena menderita penyakit
asma yang parah, maka ia keluarganya pindah dari Buenos Aires ke Alta Gracia,
Cordoba. Pada usia 20 tahun, ia masuk Universitas Buenos Aires jurusan
kedokteran. Masih dalam masa-masa kuliah, tepatnya pada 1950, Che melakukan
perjalanan sepanjang 4.000 mil keliling Argentina Utara menggunakan sepeda
motor.
Tahun berikutnya, ia melakukan
perjalanan lagi dengan sepeda motor, kali ini bersama Alberto Granado—spesialis
leprologi—keliling Amerika Selatan. Tujuan mereka hanya bersenang-senang. Namun
kelak perjalanan ini menetukan jalan hidup Che.
Pada Juni 1952, perjalanan mereka
telah sampai di Peru. Keduanya menyempatkan diri berkunjung ke koloni lepra di
San Pablo, Peru. Kunjungan itu hanya sekitar dua minggu, dan Che tak melulu
menyuntuki para pasien, tapi juga bermain sepak bola, berenang, memancing.
Lain itu, ia juga memerhatikan
sejumlah kekurangan fasilitas sehari-hari yang diperuntukkan bagi pasien dan
para perawat serta dokter.
Kunjugan Che ke koloni lepra itu
bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-24. Dalam “pidato perayaannya”, ia
mengatakan tentang pentingnya persatuan Amerika. Di masa itu, mayoritas
negara-negara di Amerika Selatan dipimpin oleh para diktator. Artinya,
kehidupan sosial poltik tidak menguntungkan rakyat.
Setelah lulus sebagai dokter pada
1953, Che lagi-lagi bepergian ke sejumah negara Amerika Selatan. Di Bolivia, ia
menyaksikan mobilisasi buruh dan pergerakan kaum petani setelah Revolusi
Nasional.
Warsa 1954, saat ia berada di
Guetemala, Che menyaksikan pemerintahan Jacobo Arbenz digulingkan oleh Castillo
Armas yang didukung Amerika Serikat.
Setelah itu, ia pergi ke Meksiko dan
bertemu dengan Fidel Castro dan Raul Castro. Kedua kakak beradik ini adalah
orang Kuba yang tengah menyiapkan perang gerilya untuk menggulingkan
pemerintahan diktator Kuba Fulgencio Batista. Che diajak serta karena tenaganya
sebagai dokter sangat dibutuhkan. Namun pada perjalanannya, Che justru menjadi
kawan dekat Fidel Castro.
Pada 1956, pasukan Castro mendarat di
Kuba dan mengobarkan perang gerilya selama tiga tahun. Kemenangan yang diraih
Castro dan kawan-kawannya pada 1959 membuat Kuba memulai arah baru. Che
diangkat menjadi Gubernur Bank Nasional. Setelah itu menjadi Menteri Industri.
Lalu selama empat tahun ke depan, ia kerap bepergian ke luar negeri sebagai
duta besar Kuba. Di masa inilah Che bertemu dengan Sukarno.
Tahun 1965, Che meninggalkan Kuba. Ia
kembali terlibat langsung dalam perjuangan revolusioner internasional. Salah
satunya ia ikut berperang di Kongo. Setahun kemudian ia kembali Amerika Latin
dan bergabung dengan gerilyawan Bolivia. Sayang pada 1967 ia tertangkap dan
pada 8 Oktober tahun tersebut ia ditembak mati atas perintah Presiden Bolivia
Rene Barrientos Ortuno.
Warisan Che Guevara
Che memang tidak terlibat dalam penanggulangan
wabah, tetapi ia meletakkan fondasi revolusi kesehatan Kuba yang kelak
berdampak pada kondisi kesehatan dunia. Sejak Che membacakan pidato berjudul
“On Revolutionary Medicine” pada 19 Agustus 1960, kondisi kesehatan di Kuba
berangsur membaik dan jumlah dokter serta tenaga kesehatan lainnya terus
bertambah.
Pada 1998, Kuba mendirikan Escuela
Latinoamericana de Medicina (ELAM) atau Sekolah Kedokteran Amerika Latin.
Sekolah ini adalah kampus kedokteran terbesar di dunia dengan hampir 20.000 pelajar
dari 110 negara, termasuk Indonesia, yang belajar secara gratis.
Meski demikian, Kuba bukan tanpa
kekurangan. Berdasarkan penuturan para mahasiswa Indonesia yang belajar di
Kuba, di sana mereka hanya menerima uang saku sebesar 5 Peso Kuba atau setara
60.000 rupiah per bulan. Lain itu, masih terdapat kekurangan infrastruktur dan
obat-obatan, serta rendahnya penghasilan tenaga medis.
Dalam hidup yang sederhana, para
mahasiwa Indonesia di Kuba selalu ingat pesan dari para pengajarnya tentang
pentingnya kemanusiaan.
“Kemanusiaan itu selalu ditekankan.
Kami tidak boleh berpikir ingin menjadi kaya, memasang tarif, atau yang
bersifat materi,” ujar salah seorang dari mereka.
Hasil “didikan Che” dan sistem
kesehatan Kuba adalah Brigade Dokter Kuba yang telah betugas ke lebih 60 negara
untuk misi kemanusiaan. Ketika terjadi gempa besar di Yogyakarta pada 2006
misalnya, mereka ikut membantu warga Indonesia yang terdampak.
No comments:
Post a Comment