12 June 2021

Para Dokter di Tengah Kecamuk Wabah: Dari Cipto sampai Che Guevara

Dalam sejumlah wabah yang pernah melanda dunia, terdapat beberapa tokoh yang berinisitif terlibat dalam penanggulangannya. Tiga di antaranya adalah Cipto Mangunkusumo, Slamet Atmosudiro, dan Ernesto “Che” Guevara de la Serna. Ketiga tokoh ini berasal dari keluarga menengah yang mampu mengenyam pendidikan tinggi sehingga menjadi dokter.

Kita mulai dari Cipto Mangunkusumo. Ia dilahirkan pada 4 Maret 1886 di Desa Pecangakan, Ambarawa. Ayahnya adalah seorang guru HIS yang sempat dipindahkan ke Semarang.

Pada usia 12 tahun, Cipto mengikuti ujian Klein Ambtenaar atau calon pegawai Pangreh Praja. Ia lulus dengan nilai terbaik, tetapi kesempatan itu tak diambil. Alasannya, Cipto tidak mau menjadi amtenar yang disembah rakyat dan menyembah kepada Belanda.

Setahun setelah itu, ia masuk STOVIA yang letaknya di Batavia untuk belajar ilmu kedokteran. Enam tahun kemudian Cipto lulus dan diwajibkan menjalankan ikatan dinas selama 10 tahun sebagaimana umumnya para lulusan STOVIA.

Ia mula-mula ditugaskan di Banjarmasin dan sejumlah kota lainnnya di Kalimantan. Warsa 1907, Cipto dipindahkan ke Demak. Di kota inilah ia semakin sering menyaksikan ketimpangan kehidupan sosial. Kehidupan rakyat bumiputra susah, sementara orang-orang Belanda dan para priyayi hidupnya lebih baik. Apalagi karena ia kerap keluar masuk perkampungan dengan mengendarai bendi, maka kehidupan sosial yang tidak sehat akibat feodalisme dapat ia lihat langsung dan kian menyusahkan hati dan pikirannya.

Pokok-pokok pikirannya tentang kondisi sosial kala itu ia tuangkan dalam sejumlah tulisan yang kemudian dimuat di surat kabar De Locomotief yang terbit di Semarang.

Hal ini kemudian mendorongnya memutuskan untuk keluar dari dinas pemerintah. Karena ia belum genap 10 tahun menjalankan kewajiban, maka Cipto mesti membayar denda yang cukup besar.

Pada 1907 pula Cipto menikah dengan seorang gadis pilihan ibunya yang berasal dari Temanggung. Hubungan Cipto dengan sang ibu amat dekat sehingga ia tak bisa menolak pernikahan itu.

Setahun kemudian, saat kaum pergerakan berhimpun dalam Budi Utomo dan menyelenggarakan kongresnya yang pertama di Yogyakarta, Cipto ikut serta. Sebagai orang yang mempunyai visi tajam, Cipto menghendaki Budi Utomo menjadi organisasi terbuka yang bisa menghimpun semua rakyat bumiputra yang menghendaki kemerdekaan. Sayang, gagasannya itu berseberangan dengan mayoritas peserta kongres yang justru menghendaki sebaliknya. Golongan ini terutama diwakili oleh Rajiman Widyodiningrat yang menginginkan Budi Utomo hanya diisi oleh para priyayi Jawa. Karena buntu, maka Cipto memilih mengundurkan diri.

Pada 1909, Cipto membuka praktek dokter partikelir di Solo. Dalam melayani masyarakat yang mayoritas tidak mampu, ia kerap menggratiskan dan bahkan memberi uang kepada si pasien. Hal ini membuat masyarakat bersimpati kepadanya. Namun, ia justru lagi-lagi tidak disukai oleh golongan priyayi seperti Susuhunan Pakubuawan. Raja Jawa ini menganggap Cipto melanggar etika keraton karena kerap mondar-mandir di sekitar Alun-alun tanpa seizinnya.

Wabah Pes di Malang

Warsa 1911, wabah pes atau sampar terjadi di Malang. Kala itu, dokter-dokter Eropa enggan turun ke lapangan untuk menolong rakyat bumiputra yang paling banyak menjadi korban. Mereka hanya mau membantu sesama bangsanya. Kondisi ini segera mendorong Cipto untuk mendaftar menjadi dokter sukarelawan untuk diterjunkan di Malang.

Dalam melaksanakan tugasnya, Cipto memasrahkan dirinya pada takdir. Saat keluar masuk perkampungan untuk menolong para korban pes, ia tidak menggunakan masker dan sarung tangan.

Dalam keprihatinan, ia melihat kebodohan masyarakat yang tidak menyadari bahwa gubuk-gubuk bambunya yang kotor telah menjadi sarang tikus yang menyebarkan wabah. Namun, ia melihat bahwa hal itu terjadi karena penjajahan. Masyarakat tidak mempunyai informasi yang memadai tentang pes dan segi kehidupan lainnya sehingga mereka terbelakang, karena lagi-lagi kehiduan sosial yang tidak sehat.

Gubuk-gubuk sarang tikus itu kemudian dibakar. Dalam sebuah gubuk yang setengah terbakar, Cipto menemukan seorang bayi perempuan yang kedua orang tuanya telah meninggal dunia karena pes. Cipto mengambil anak tersebut dan diberi nama Pesjati sebagai pengingat wabah yang telah merenggut orang tua si bayi.

Kegigihan Cipto dalam penanggulangan wabah pes di Malang kemudian diganjar penghargaan bintang Orde van Oranje Nassau dari pemerintah Hindia Belanda. Namun, tak lama kemudian penghargaan itu ia kembalikan karena dirinya tidak diizinkan terjun ke Solo untuk kembali terlibat dalam penanggulangan wabah pes yang telah menyebar ke kota itu.

Dari Pembungan ke Pembuangan           

Setelah mengembalikan penghargaan, Cipto kemudian pindah ke Bandung untuk bergabung dengan orang-orang pergerakan yang lebih progresif seperti Douwes Dekker dan Suwardi Suryaningrat yang kelak lebih dikenal dengan sebutan Ki Hajar Dewantara.

Douwes Dekker adalah pemimpin surat kabar De Express, maka itu Cipto pun bergabung dengan harian tersebut, juga menjadi anggota redaksi het Tjidschrifjt. Selanjutnya, bersama Suwardi Suryaningrat mereka mendirikan Indische Partij dengan syarat keanggotan adalah pengakuan Indonesia sebagai tanah air.

Sejalan dengan cita-cita Cipto, partai ini sangat radikal dengan melawan eksploitasi kolonialisme dan diskriminasi ras, serta menentang kekuasaan Belanda di Hindia.

Pada 1913, mereka membentuk Komite Bumiputra untuk menentang perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Prancis. Suwardi Suryaningrat menulis esai berjudul “Als Ik Een Nederlander Was” yang artinya “Seandainya Aku Orang Belanda”. Tulisan itu kemudian diterjemahan oleh Abdul Muis sehingga banyak rakyat bumiputra bisa memahaminya.  

Akibat tulisan yang menohok jantung kolonialisme itu, Cipto beserta Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker dibuang ke Belanda. Di negeri penjajah, Cipto sempat menyampaikan ceramah tentang pengalamannya saat terlibat dalam menanggulangi wabah pes di Malang.

Dalam ceramahnya ia berkisah tentang seorang warga yang diasingkan kelompoknya karena terpapar pes. Orang itu dengan memilukan akhirnya tinggal seorang diri di bawah pohon kamboja sampai ia meninggal dunia. Dari cerita tersebut Cipto menekankan pentingnya pemerintah Hindia Belanda untuk sigap dalam penanggulangan wabah pes. Karena malapetaka itu tak hanya merenggut nyawa, tapi juga mengoyak kehidupan sosial kaum bumiputra yang semula terkenal ramah menjadi barbar.

Tak seperti kawan-kawannya, Cipto tak lama tinggal di Belanda karena penyakit asma yang ia derita kian parah. Ia diizinkan untuk pulang ke Indonesia lebih cepat. Sesampainya di tanah air, Cipto mula-mula tinggal di Semarang tapi kemudian pindah ke Solo.

Beberapa tahun kemudian ia menikah dengan seorang indo bernama Marie Vogel, setelah sebelumnya bercerai dengan istri pertamanya karena terlalu banyak perbedaan. Marie Vogel bersimpati pada gerakan Indische Partij.

Meski baru pulang dari pembuangan, tetapi Cipto tak kapok untuk kembali terjun dalam dunia pergerakan. Pada 1917 ia menghidupan kembali Indische Partij dengan nama Insulinde. Di samping itu, ia juga memimpin dua media yang mendukung gerakannya, yakni Panggoegah dan De Indische Beweging. Tulisan-tulisannya di kedua media itu tetap keras mengkritisi kolonialisme.

Barangkali siasat pemerintah Hindia Belanda untuk “menjinakkan” Cipto, maka pada 1918 ia diminta untuk masuk Volksraad atau Dewan Rakyat. Cipto menerima permintaan itu meski sempat mendapat cibiran dari sejumlah kaum pergerakan non-kooperatif yang menganggap Cipto telah melunak. Namun, Cipto berargumen bahwa masuk Volksraad setidaknya dapat memperjuangkan pelbagai aspirasi rakyat dan berpeluang untuk terwujud.

Dan Cipto tetaplah Cipto. Pada 21 Maret 1920, dalam Kongres Sarekat Hindia di Surakarta, sebagai pembicara kunci ia menceritakan kisah perseteruan Ki Ageng Mangir Wanayaba dengan Panembahan Senopati. Inti dari kisah itu adalah tentang sikap priyayi (Panembahan Senopati) yang lancung.

“Jika pendirinya saja sudah ksatria gadungan, maka seluruh keturunannya, termasuk Susuhunan Pakubuwana X dan Mangkunegara VII juga ksatria gadungan. Klaim moral dan historis raja-raja Mataram atas kerajaan oleh karenanya perlu ditolak,” tulis Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (1997).

Selain sikap kerasnya terhadap kepalsuan para priyayi yang terus ia serang, Cipto juga tetap keras mengkritisi pemerintah. Hal ini membuatnya dikeluarkan dari Volksraad dan dipindahkan ke Bandung, ke daerah yang mayoritas penduduknya tidak bisa berbahasa Jawa.

Di Bandung, Cipto tinggal di Tegallega, di sebuah rumah yang terdapat paviliun. Dalam sejumlah buku biografi tentang dirinya, letak rumah ini tak jelas persisnya di sebalah mana. Dalam buku karangan M. Balfas misalnya, hanya disebutkan bahwa rumah Cipto di Bandung dihiasi oleh beberapa pot besar dan dua pokok cemara.

Keberadaan Cipto di Bandung menjadi inspirasi gerakan kaum muda. Sukarno yang kuliah di Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang bernama ITB) kerap mengunjunginya. Jika waktu tinggal di Surabaya mentor Sukarno adalah HOS Tjokroaminoto, maka di Bandung ia menemukannya pada diri Cipto.

Popularitas Cipto sebagai tokoh yang besar perhatiannya terhadap rakyat kecil membuatnya dikagumi juga oleh orang-orang pergerakan berhaluan komunis. Pada Kongres PKI tahun 1923, foto Cipto dipajang bersanding dengan Tan Malaka, Karl Marx, Lenin, Gandhi, dan Multatuli.

Tiga tahun setelah kongres tersebut, PKI melakukan pemberontakan terhadap pemerintah, dan Cipto dianggap terlibat sehingga ia dibuang ke Banda Neira, tepatnya pada 1928. Di pembuangan, Cipto ditemani istri dan tiga anak angkatnya. Kata salah seorang dari mereka, ayah angkatnya kerap gusar karena dijauhkan dari masyarakat yang selema ini ia tolong dan perhatikan.

Selama 12 tahun dalam pembuangan, penyakit asma yang diderita Cipto kian parah. Maka itu, pada 1940, ia diizinkan untuk pindah ke Makassar agar dapat mengobati asmanya. Namun tak setelah itu, ia lagi-lagi dibuang ke Sukabumi bersama Hatta dan Sjahrir.

Di Sukabumi yang dingin, kesehatan Cipto kian memburuk. Ia kemudian pindah ke Batavia dan mendapat tumpangan dari seorang Tionghoa yang merasa berhutang budi padanya. Saat kondisinya semakin payah, kepada adiknya (Murtinah) ia berpesan, bahwa jika ia wafat agar dimakamkan di pekuburan secara sederhana.    

“Tanggal 8 Maret [1942] pemerintah Belanda menyerah [kepada Jepang], dan pada tanggal 8 bulan itu juga aku mau menyerahkan diriku kepada Yang Maha Kuasa,” ucap Cipto kepada adiknya.

Cipto Mangunkusumo wafat pada 8 Maret 1943, dua tahun sebelum proklamasi kemerdekaan dibacakan oleh dwitunggal Sukarno-Hatta, tokoh-tokoh pergerakan yang meneruskan cita-citanya.   

Slamet Sang Martir

Setelah menimpa Malang pada 1911 dan merembet ke Solo pada tahun berikutnya, wabah pes terus merangsek ke Jawa bagian barat dan menghebat di Garut. Di kota inilah kelak Slamet Atmosudiro mengakhiri hidupnya.

Slamet lahir di Lampegan, Cianjur, pada 31 Desember 1891. Pada usia belasan tahun ia masuk STOVIA dan lulus pada 1916. Seperti para dokter lainnya, ia juga mesti menjalani ikatan dinas selama 10 tahun dengan bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Hindia Belanda.    

Slamet mula-mula ditempatkan di Buegerlijken Geneeskundigen Dienst (Dinas Pelayanan Medis Sipil) di Centrale Burgerlijke Ziekenhuis atau sekarang bernama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Setelah itu, ia dipindahkan ke Tobelo, Halmahera, dari tahun 1918 sampai 1921. Lalu dipindahkan lagi ke Batavia, dan pada 1925 ia betugas di Garut.

Ketika pes mulai menghebat di kota tersebut pada 1927, Slamet ditugaskan menjadi ketua tim penanggulangan. Dan warsa 1929, saat pes belum kunjung mereda, ia diangkat menjadi kepala rumah sakit di tempatnya bekerja, yakni di Algemeen Ziekenhuis Garoet.

Pada 1930, seorang anak pasien pes datang untuk dirawat di rumah sakit Garut tempat Slamet bekerja. Pasien itu baru dijemput dari Bojongloa, Bandung. Namun, baru sehari dalam perawatan anak itu meninggal dunia. Dokter Slamet—yang memeriksa pasien—dan sejumlah orang yang berada di sekitar anak itu mengalami demam tinggi karena terpapar pes.

Tanggal 10 Mei 1930, Slamet dibawa ke Tasikmalaya untuk diperiksa di rumah sakit yang memiliki peralatan lebih baik daripada rumah sakit di Garut. Dalam sehari, kondisi Slamet kian memburuk. Dan keesokan harinya ia pun meninggal dunia.

Berdasarkan pemeriksaan dokter Parjono dan dokter Soekardjo di Tasikmalaya, Slamet dinyatakan terpapar pes. Oleh karena itulah Slemet kemudian kerap disebut sebagai martir dalam penanggulangan wabah pes di Hindia Belanda.

Slamet meninggalkan seorang istri dan lima orang anak yang masih kecil. Anak bungsunya bahkan baru berusia dua minggu ketika ia tinggalkan untuk selamanya. Menurut laporan De Indische Courant (19/08/1930) pemerintah memberikan santunan kepada keluarga Slamet sebesar 246.50 gulden per bulan.

Sebagai penghormatan kepada dokter berdedikasi itu, upacara pemakamannya dihadiri oleh sejumlah tokoh penting seperti Bupati Garut Suriakartalegawa, Bupati Tasikmalaya, Asisten Residen AAC Linek, para wedara, dan para administratur perkebunan. Gubernur Jenderal Hindia Belanda bahkan mengirimkan telegram kepada Bupati Tasikmalaya menyampaikan belasungkawa.

Puluhan tahun kemudian nama Slamet dijadian nama rumah sakit di Garut tempatnya pernah bertugas, yakni Rumah Sakit Umum dr. Slamet.

Hikayat Perjalanan Che Guevara

Selain kedua dokter bumiputra tadi, ada pula tokoh dunia yang juga berinisiatif dalam melakukan pelbagai gerakan, termasuk dalam bidang kesehatan, yaitu Che Guevara.

Nama aslinya adalah Ernesto Guevara de la Serna. “Che” adalah sapaan di beberapa negara Amerika Selatan, termasuk Argentina, yang artinya kira-kira “kawan”, “rekan”, “bro”, dan sebagainya.

Che dilahirkan di Rosario, Argentina, pada 14 Juni 1928, dari pasangan Ernesto Guevara Lynch dan Celia de la Serna Llosa. Keluarga Che merupakan kelas menengah keturunan Spanyol dan Irlandia. Ia adalah anak sulung dari lima bersaudara.

Sejak remaja, ia menaruh minat pada karya sastra dunia dan filsafat. Dalam membaca, ia sering menuliskan hal-hal yang dianggapnya menarik, baik berupa ide, konsep, maupun filsafat. Ia mengutip para penulis dalam obrolan sehari-hari.

Tahun 1932, karena menderita penyakit asma yang parah, maka ia keluarganya pindah dari Buenos Aires ke Alta Gracia, Cordoba. Pada usia 20 tahun, ia masuk Universitas Buenos Aires jurusan kedokteran. Masih dalam masa-masa kuliah, tepatnya pada 1950, Che melakukan perjalanan sepanjang 4.000 mil keliling Argentina Utara menggunakan sepeda motor.

Tahun berikutnya, ia melakukan perjalanan lagi dengan sepeda motor, kali ini bersama Alberto Granado—spesialis leprologi—keliling Amerika Selatan. Tujuan mereka hanya bersenang-senang. Namun kelak perjalanan ini menetukan jalan hidup Che.

Pada Juni 1952, perjalanan mereka telah sampai di Peru. Keduanya menyempatkan diri berkunjung ke koloni lepra di San Pablo, Peru. Kunjungan itu hanya sekitar dua minggu, dan Che tak melulu menyuntuki para pasien, tapi juga bermain sepak bola, berenang, memancing.

Lain itu, ia juga memerhatikan sejumlah kekurangan fasilitas sehari-hari yang diperuntukkan bagi pasien dan para perawat serta dokter. 

Kunjugan Che ke koloni lepra itu bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-24. Dalam “pidato perayaannya”, ia mengatakan tentang pentingnya persatuan Amerika. Di masa itu, mayoritas negara-negara di Amerika Selatan dipimpin oleh para diktator. Artinya, kehidupan sosial poltik tidak menguntungkan rakyat.

Setelah lulus sebagai dokter pada 1953, Che lagi-lagi bepergian ke sejumah negara Amerika Selatan. Di Bolivia, ia menyaksikan mobilisasi buruh dan pergerakan kaum petani setelah Revolusi Nasional.

Warsa 1954, saat ia berada di Guetemala, Che menyaksikan pemerintahan Jacobo Arbenz digulingkan oleh Castillo Armas yang didukung Amerika Serikat.

Setelah itu, ia pergi ke Meksiko dan bertemu dengan Fidel Castro dan Raul Castro. Kedua kakak beradik ini adalah orang Kuba yang tengah menyiapkan perang gerilya untuk menggulingkan pemerintahan diktator Kuba Fulgencio Batista. Che diajak serta karena tenaganya sebagai dokter sangat dibutuhkan. Namun pada perjalanannya, Che justru menjadi kawan dekat Fidel Castro.

Pada 1956, pasukan Castro mendarat di Kuba dan mengobarkan perang gerilya selama tiga tahun. Kemenangan yang diraih Castro dan kawan-kawannya pada 1959 membuat Kuba memulai arah baru. Che diangkat menjadi Gubernur Bank Nasional. Setelah itu menjadi Menteri Industri. Lalu selama empat tahun ke depan, ia kerap bepergian ke luar negeri sebagai duta besar Kuba. Di masa inilah Che bertemu dengan Sukarno.

Tahun 1965, Che meninggalkan Kuba. Ia kembali terlibat langsung dalam perjuangan revolusioner internasional. Salah satunya ia ikut berperang di Kongo. Setahun kemudian ia kembali Amerika Latin dan bergabung dengan gerilyawan Bolivia. Sayang pada 1967 ia tertangkap dan pada 8 Oktober tahun tersebut ia ditembak mati atas perintah Presiden Bolivia Rene Barrientos Ortuno.

Warisan Che Guevara 

Che memang tidak terlibat dalam penanggulangan wabah, tetapi ia meletakkan fondasi revolusi kesehatan Kuba yang kelak berdampak pada kondisi kesehatan dunia. Sejak Che membacakan pidato berjudul “On Revolutionary Medicine” pada 19 Agustus 1960, kondisi kesehatan di Kuba berangsur membaik dan jumlah dokter serta tenaga kesehatan lainnya terus bertambah.

Pada 1998, Kuba mendirikan Escuela Latinoamericana de Medicina (ELAM) atau Sekolah Kedokteran Amerika Latin. Sekolah ini adalah kampus kedokteran terbesar di dunia dengan hampir 20.000 pelajar dari 110 negara, termasuk Indonesia, yang belajar secara gratis.

Meski demikian, Kuba bukan tanpa kekurangan. Berdasarkan penuturan para mahasiswa Indonesia yang belajar di Kuba, di sana mereka hanya menerima uang saku sebesar 5 Peso Kuba atau setara 60.000 rupiah per bulan. Lain itu, masih terdapat kekurangan infrastruktur dan obat-obatan, serta rendahnya penghasilan tenaga medis.  

Dalam hidup yang sederhana, para mahasiwa Indonesia di Kuba selalu ingat pesan dari para pengajarnya tentang pentingnya kemanusiaan.

“Kemanusiaan itu selalu ditekankan. Kami tidak boleh berpikir ingin menjadi kaya, memasang tarif, atau yang bersifat materi,” ujar salah seorang dari mereka.

Hasil “didikan Che” dan sistem kesehatan Kuba adalah Brigade Dokter Kuba yang telah betugas ke lebih 60 negara untuk misi kemanusiaan. Ketika terjadi gempa besar di Yogyakarta pada 2006 misalnya, mereka ikut membantu warga Indonesia yang terdampak.

Louis Chaviano namanya, ia salah seorang dari rombongan Brigade Dokter Kuba yang ditugaskan di Klaten. Dalam wawancara dengan majalah Playboy Indonesia, Chaviano mengatakan bahwa “Che melakukan apa saja di tempat mana saja yang membutuhkan.” Itulah prinsip yang ia dan para koleganya pegang dalam menjalankan misi kemanusiaan. (irf) 

No comments: