Kapal Miyazaki Maru milik Jepang karam
dihajar kapal selam U-88 Jerman, gutta-percha dari Tjipetir yang diangkut kapal
tersebut tercecer di perairan Eropa.
Pada salah satu hari di musim panas 2012, Tracey Williams
menemukan benda persegi terdampar di pantai dekat rumahnya di Cornwall,
Inggris. Ketika disentuh, ia merasakan benda tersebut kenyal dan ada tulisan
huful kapital: “TJIPETIR”.
Beberapa minggu kemudian ia menemukan lagi benda
serupa. Karena penasaran, Williams kemudian mencari tahu ihwal tulisan
tersebut. Informasi yang ia dapat, ternyata tulisan di benda itu adalah nama
sebuah pabrik di Kecamatan Cikidang, Kabupaten Sukabumi.
Setelah diunggah di salah satu akun media sosial
miliknya, banyak yang mengaku menemukan benda serupa. Orang-orang yang berada
di Spanyol, Prancis, Belanda, Jerman, Norwegia, Swedia, dan Denmark pun
menemukan benda yang sama. Hal ini kemudian mengundang banyak perhatian dari
berbagai media, baik dalam maupun luar negeri.
Semula sebuah koran Prancis memberitakan benda
persegi bertekstur kenyal ini diangkut kapal Titanic. Williams lalu memeriksa
manifes kapal Titanic dan menemukan bahwa kapal tersebut pernah membawa benda
seperti karet.
“Spekulasi pun berkembang setelah berita ini tersiar,”
ujar Williams seperti dilansir bbc.com
Setahun setelah menemukan benda tersebut,
Williams mendapatkan informasi baru bahwa blok bertuliskan “TJIPETIR” itu
dulunya diangkut kapal Miyazaki Maru milik Jepang yang ditenggelamkan kapal
selam U-88, milik Jerman yang dipimpin Kapten Walther Schwirger pada 31 Mei
1917.
Miyazaki Maru karam 241 kilometer sebelah barat
Kepulauan Scilly, antara Inggris dan Perancis. Temuan Williams ini diperkuat
informasi dari Alison Kentuck, pejabat Inggris yang menangani kapal karam di
perairan Inggris.
Mengenal Gutta-percha
Benda persegi kenyal atau blok betuliskan “TJIPETIR” itu terbuat dari getah gutta-percha (Palaquium gutta). Getah ini sempat menjadi komoditas yang menguntungkan karena diburu banyak negara saat Perang Dunia II. Menurut catatan jurnalasia.com, getah gutta-percha bagus untuk bahan insulasi kabel dasar laut, pelapis bola golf, campuran gips untuk pembalut tulang, perawatan gigi, pembuatan gigi palsu, dan untuk bahan pembuatan perlengkapan rumah.
Gutta-percha adalah tanaman tropika yang tumbuh
di kawasan Asia Tenggara sampai Australia Utara. Dari Taiwan Utara sampai
Kepulauan Solomon Selatan. Di beberapa tempat, gutta-percha punya sejumlah nama
lain, seperti Getah Merah, Isonandra Gutta, Gutta Soh, Gutta Seak, dan Red
Makassar.
Gutta-perca diperoleh dengan cara ekstraksi daun dan
penyadapan pohon. Tanaman ini secara ilmiah termasuk Kerajaan Plantae,
Ordo Ericale, Family Sapotaceae, dan Genus Palaquium
Blanco. Ketinggiannya sekitar 5-30 meter, berdiameter lebih dari 1 meter.
Gutta-percha berdaun rimbun berwarna hijau kekuningan. Bunganya berwarna putih
kecil-kecil dalam satu kuntum. Sementara buahnya berukuran 3-7 cm yang berisi
1-4 biji.
Pada suhu biasa, gutta-percha adalah benda
keras. Namun jika dipanaskan pada suhu 65 derajat celcius, benda ini akan
melunak dan dapat dikepal-kepal tangan untuk dibentuk sesuka hati.
Tanaman ini pertama kali diperkenalkan ke Eropa
pada 1843 oleh William Montgomey, dan mulai masuk pasaran dunia pada 1856.
Sampai 1896, gutta-percha yang digunakan untuk insulasi kabel dasar laut
mencapai 16.000 ton yang terentang sepanjang 184.000 mil laut di sekitar pantai
benua Amerika, Eropa, Asia, Australia, pantai timur dan pantai barat Afrika.
Gutta-percha di Tjipetir
Karena kebutuhan pasar dunia tinggi, Pemerintah Kolonial
Hindia Belanda mulai melakukan penelitian gutta-percha di Perkebunan Cipetir,
Sukabumi, pada 1885. Salah satu tindakannya adalah menanam beberapa varietas
pohon gutta-percha untuk diseleksi.
Di laman PTPN VIII dijelaskan bahwa mulai 1901
Pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk membangun Perkebunan Negara Gutta
Percha Cipetir. Dalam rentang lima tahun sampai 1906, terjadi penambahan luas
lahan tanaman produksi menjadi 1000 hektar. Tahun 1919 luas lahan ditambah lagi
250 hektar. Saat itu total area gutta-percha di Perkebunan Cipetir seluas 1.322
hektar.
Pabrik pengolahan gutta-percha Cipetir mulai
dibangun tahun 1914. Namun selama tujuh tahun pembangunan tersebut mangkrak.
Baru pada 1921 pembangunan pabrik tersebut dapat dirampungkan oleh H. Van
Lennep, Administratur Perkebunan Cipetir.
Tedi Tarunawijaya, yang pada 2011
menjabat sebagai Administratur Perkebunan Sukamaju, menjelaskan bahwa untuk
membuat gutta-percha dibutuhkan daun dan ranting kecil pohon tersebut.
“Penggilingan daun dan ranting membutuhkan dua batu bulat besar menyerupai ban
dengan berat masing-masing sekitar empat ton. Batu itu adalah batu granit yang
didatangkan dari Italia. Saat ini, terdapat delapan batu yang tersimpan di
pabrik Cipetir, dan yang berfungsi hanya tinggal empat batu. Tanpa bantuan batu
tersebut, gutta-percha tidak bisa diproses,” ujar Tedi.
Tedi menambahkan bahwa saat batu-batu tersebut dikirim ke Cipetir, yang
terangkut lancar hanya tujuh batu. Sementara satu batu lagi membutuhkan waktu
lama. Kuda yang mengangkut batu terakhir ngadat, dan mau berjalan hanya jika
disajikan tarian ronggeng. Kalau tarian ronggeng berhenti, kuda pun ikut
berhenti bekerja.
“Karena itu batu terakhir ini sering disebut Si Ronggeng,” tambahnya.
Cipetir Kiwari
15 Februari 2015, Republika menurunkan laporan perjalanan mengunjungi pabrik Cipetir yang berada di Kecamatan Cikidang, Kabupaten Sukabumi. 600 meter jelang pabrik, jalanannya berbatu. Sebuah bangunan besar berdiri di tengah-tengah komplek pabrik yang terbuat dari seng yang kondisinya sudah berkarat.
Total bangunan yang ada di komplek pabrik berjumlah enam, dan terdapat dua
lapangan sepakbola. Meski tampak sepi, tapi proses produksi tetap berjalan.
Budi Prayudi, penanggung jawab sekaligus mandor pabrik, menjelaskan bahwa
gutta-percha menyimpan banyak getah yang dapat diolah menjadi macam-macam benda
seperti bola golf, sambungan akar gigi, dan pelapis kabel keras.
Ia menambahkan bahwa dulu gutta-percha diekspor untuk keperluan medis karena di
Eropa sedang banyak terjadi perang.
“Saat dikirim ke sana, kapal pengangkutnya mengalami karam, imbasnya
benda-benda ini mengapung tak karuan selama lebih dari seratus tahun,” ujarnya.
(irf)
No comments:
Post a Comment