Kisah perang yang melahirkan sentimen antar-suku ini sudah lama berlalu, tapi dianggap masih bertahan dalam ingatan orang-orang Sunda dan Jawa.
Cinta berbalas tuba. Rombongan Kerajaan Sunda yang hendak
mengawinkan putri mahkota, Dyah Pitaloka Citraresmi dengan Hayam Wuruk Raja
Majapahit, justru dihabisi di lapangan Bubat. Soalnya satu dan menonjok
kehormatan: Kerajaan Sunda dianggap takluk dan putri sebagai upeti. Kafilah
yang hendak kawin itu tak punya pilihan, selain melawan sampai binasa.
Raja Sunda, Maharaja Linggabuana, beserta para
pengawalnya tewas berkalang tanah. Sementara Dyah Pitaloka Citraresmi memilih
bela pati dengan menghunjamkan patrem/tusuk konde ke jantungnya. Ia
pun tumpas.
“Akhirnya, tempat kediaman orang-orang Sunda
dikepung dan diserbu oleh tentara Majapahit. Terjadilah peperangan di Bubat
yang menyebabkan semua orang Sunda gugur, tak ada yang ketinggalan,” tulis
Haris Daryono Ali Haji dalam Menggali Pemerintahan Negeri Doho: Dari
Majapahit Menuju Pondok Pesantren (2016)
Orang Sunda muntab, terutama kepada Gadjah Mada
sebagai tokoh kunci pembantaian tersebut yang mengedepankan ambisinya memenuhi
Sumpah Palapa, yaitu menaklukkan seluruh Nusantara.
“Lalu si hulubalang, dengan dingin dan menghina,
menghancurkan segala harapan mereka. Dari awal dia sudah menentang perkawinan
itu, yang dia anggap merendahkan martabat tuannya. Dia menunjukkan pada
orang-orang Sunda itu bahwa dia hanya akan membiarkan mereka mempersembahkan
sang putri kepada harem istana sebagai upeti dari seorang raja bawahan kepada
raja junjungannya,” tulis Bernard H.M. Vlekke dalam Nusantara: Sejarah
Indonesia (2008).
Narasi pengkhiatan ini selama ratusan tahun
diproduksi lewat cerita lisan, buku, dan sebagainya. Waktu berlalu, masa
berganti, dan nasion bernama Indonesia pun telah berdiri, kiranya kebencian tak
sepenuhnya luruh. Proses menjadi Indonesia belum sepenuhnya selesai.
Peristiwa Perang Bubat mula-mula dikabarkan oleh
tiga naskah, yaitu Pararaton, Kidung Sundayana, dan Carita
Parahyangan.
Slamet Muljana dalam Menuju Puncak
Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit (2005), berdasarkan Kidung
Sundayana menerangkan hal serupa, yakni penyulut peperangan tak
seimbang itu adalah Gadjah Mada.
“Pati Madu yang diutus mengantarkan surat
lamaran kepada Maharaja Sunda sudah pulang dengan hasil baik. Namun, ketika
sang rajaputri diantar ke pura Majapahit, patih Gadjah Mada menganut
kehendaknya sendiri, mengajukan syarat. Akibatnya, terjadi peperangan antara
orang Sunda dan orang Majapahit,” tulisnya.
Dekat Gedung Sate
Karena peristiwa Perang Bubat tersebut, sampai
tanggal 11 Mei 2018, Jawa Barat tak punya ruas jalan yang bernama Majapahit,
Hayam Wuruk, apalagi Gadjah Mada. Oleh sebagian masyarakat, nama kerajaan, nama
raja serta patih itu dianggap sebagai pamali jika disematkan
menjadi nama jalan di Tatar Sunda.
Dalam berbagai naskah, Perang Bubat dikabarkan
terjadi pada tahun 1357 Masehi. 661 tahun pasca-kejadian tersebut, Jawa Barat
baru memiliki Jalan Majapahit dan Jalan Hayam Wuruk.
Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan (Aher)
meresmikan nama dua jalan tersebut pada acara bertajuk Harmoni Budaya
Jawa-Sunda 2018 yang digelar di Jalan Diponegoro, Kota Bandung, pada Jumat 11
Mei 2018.
“Putri Raja memakai mahkota, kilaunya menawan
mata, Harmoni Budaya Jawa-Sunda bukti kebhinekaan Indonesia,” kata Aher mengawali acara tersebut.
Sementara Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, yang
juga hadir pada kesempatan tersebut mengatakan bahwa penamaan jalan di Jawa
Barat, khususnya Kota Bandung, dengan nama kerajaan dan rajanya tersebut adalah
cara budaya membersihkan kotoran-kotoran.
“Penyelesaian budaya menjadi yang paling baik
karena bisa menghaluskan yang kasar dan menjernihkan yang kotor,” ujarnya.
Ruas-ruas jalan yang namanya diganti terletak
tak jauh dari Gedung Sate sebagai pusat pemerintahan Provinsi Jawa Barat. Jalan
Majapahit terletak di sebelah barat Lapangan Gasibu. Sementara itu, Jalan Hayam
Wuruk menggantikan Jalan Cimandiri yang letaknya di sebelah barat Gedung Sate.
Namun, alih-alih mengganti nama jalan lain
dengan Jalan Gadjah Mada selaku tokoh utama dalam peristiwa Perang Bubat, pada
acara itu justru diresmikan pula Jalan Citraresmi yang sebelumnya bernama Jalan
Pusdai.
Dimulai dari Yogyakarta
Pergantian nama ruas jalan seperti yang
dilakukan di Kota Bandung awalnya di Yogyakarta. 3 Oktober 2017, Sri Sultan
Hamengkubuwono X meresmikan nama Jalan Padjadjaran, Jalan Siliwangi, Jalan
Majapahit, Jalan Hayam Wuruk, Jalan Brawijaya, dan Jalan Prof. Dr. Wirjono
Projodikoro. Nama-nama tersebut menghiasi ruas jalan arteri (ringroad).
Langkah Sultan ini sempat mengundang sejumlah
pertanyaan dari beberapa pihak karena secara konteks sejarah, Kerajaan Mataram
Islam dengan Kerajaan Sunda berbeda periode. Meski Mataram Islam pada beberapa
periode berikutnya amat berkuasa di Tatar Sunda, khususnya Priangan, tapi
hegemoni kekuasaan selama dua abad itu barangkali tak melahirkan kebencian
separah terhadap tragedi Perang Bubat.
Sultan melihat pergantian nama jalan tersebut
sebagai bentuk rekonsiliasi kultural antara Jawa dan Sunda, dan lebih luas lagi
Indonesia, terlepas dari kerajaan mana yang bertikai.
“Kami menyadari pemimpin kerajaan terdahulu
saling mengalahkan satu sama lain, tapi kemudian bersatu dalam NKRI. Kejayaan
Majapahit, Sriwijaya 700 tahun lalu sudah waktunya dibangkitkan di abad 21 ini,
dan rekonsiliasi bagi saya merupakan hal penting untuk menatap masa depan,”
kata Sultan.
Polemik di Surabaya
Sementara di Surabaya, pergantian nama jalan terkait peristiwa Perang Bubat
sempat diprotes oleh warga Jalan Dinoyo dan Jalan Gunungsari. Kedua nama jalan
tersebut akan diganti oleh Jalan Sunda dan Jalan Prabu Siliwangi.
Rabu, 7 Maret 2018, sejumlah warga turun ke jalan dan sebagai bentuk protes
mereka membawa secarik kertas bertuliskan “Jl. Soekarwo” serta berfoto di bawah
tulisan “Jl. Dinoyo”. Bagi mereka, yang jadi masalah bukan pergantian dengan
nama yang berbau Sunda, tapi Jalan Dinoyo dan Jalan Gunungsari memiliki sejarah
panjang yang mereka banggakan.
“Coba tanyakan kepada para sesepuh warga Dinoyo, jalan tersebut sejak dulu
sudah bernama Dinoyo. Coba kalau nama kita diganti begitu saja, jelas kita
marah. Karena sudah ratusan tahun jalan ini sudah ada. Menjadi kebanggaan
sendiri bagi mereka,” ujar Kusnan, pemerhati sejarah dan budaya dari Paguyuban Arek
Suroboyo.
Namun, beberapa minggu setelah aksi penolakan tersebut, muncul spanduk
tandingan yang menyatakan dukungan terhadap pergantian nama jalan tersebut.
Warga yang mendukung menuding bahwa warga yang menolak kemungkinan ditunggangi
pihak lain.
Surjo Hadi, Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPKM)
Keputran mengklaim bahwa seluruh warga Dinoyo mendukung pergantian nama jalan
itu. Ia pun meyakinkan bahwa kekhawatiran warga terkait pengurusan surat-surat
yang sifatnya administratif tidak akan sulit.
Menanggapi rencana perubahan nama jalan ini, Adi Sutarwijono, Wakil Ketua Komisi
A DPRD Surabaya mengatakan bahwa selain harus melalui persetujuan DPRD
Surabaya, perubahan nama jalan juga harus memiliki latar belakang sejarah
sejarah dan sosiologi seperti penamaan yang selama ini telah dilakukan.
Ia menilai perubahan nama Jalan Dinoyo dan Jalan Gunungsari dengan nama jalan
lain yang dikaitkan dengan peristiwa Perang Bubat kurang kuat secara sejarah
dan sosiologis.
“Kalau alasannya itu, ya di-guyu generasi milenial. Wong Bonek sama
Bobotoh dan Viking saja akur, kok bawa-bawa perang yang lama banget? Hubungan
Pemprov Jatim dengan Jabar kan juga sangat baik,” ujarnya.
Pendapat serupa dilontarkan oleh pemerhati sejarah Kuncarsono Prasetyo.
Menurutnya, penamaan jalan lahir dari kesepakatan bersama dan ada sejarah yang
menyertainya. Ia menambahkan bahwa beberapa nama jalan yang mempunyai akar
lokal yang kuat, sejak zaman Belanda tidak pernah diganti, seperti Jalan
Tunjungan, Gemblongan, Bubutan, dan sebagainya.
Persoalan di Surabaya memang berbeda dengan yang terjadi di Bandung dan
Yogyakarta. Secara sejarah, ringroad (Yogyakarta), Jalan
Gasibu, dan Jalan Pusdai relatif kurang memiliki akar kelokalan yang kuat.
Kalau pun ada yang agak berat diganti yaitu Jalan Cimandiri, karena jalan
tersebut telah ada sejak lama dan dikelompokkan dalam satu wilayah yang
nama-nama jalannya adalah nama sungai di Jawa Barat. (irf)
No comments:
Post a Comment