08 July 2021

Ada Sejarah Memilukan di Balik Keindahan Lembah Anai

 Kerja paksa, bencana Alam, pertempuran, dan kecelakaan kereta api menjadi bagian dari riwayat panjang Lembah Anai.

Hampir dua pekan ke belakang, hujan deras yang mengguyur sejumlah wilayah di Sumatra Barat menyebabkan beberapa kerusakan dan banjir. Pada Selasa (11/12/2018) sebuah jembatan di ruas Jalan Lintas Sumatra yang menghubungkan Padang-Bukittinggi ambruk, tepatnya di daerah Kayutanam, Kabupaten Padangpariaman.

Sementara air terjun Lembah Anai yang berada di pinggir ruas jalan tersebut meluap dan membanjiri badan jalan sehingga menghambat laju kendaraan. Sejumlah pengendara motor bahkan hampir hanyut terseret derasnya arus air.

Sebuah video memperlihatkan kejadian tersebut. Air terjun yang biasanya terlihat cantik berubah jadi 
mengerikan. Debit air yang bertambah memenuhi Sungai Batang Suluh yang berhulu di Gunung Singgalang menjadikan air terjun itu mengamuk.

Air terjun Lembah Anai, yang biasanya menjadi salah satu tujuan wisata di Sumatra Barat, terletak di wilayah Nagari Singgalang, Kecamatan Sepuluh Koto, Kabupaten Tanah Datar. Kira-kira 60 kilometer dari Kota Padang. Pada musim hujan, air terjun ini memang mesti diwaspadai karena letaknya yang sangat dekat dengan ruas Jalan Lintas Sumatra.

Sejak dulu, Cagar Alam Lembah Anai yang ditetapkan pemerintah kolonial lewat surat keputusan No. 25 Stbl No. 756 tanggal 18 Desember 1922 ini menjadi kawasan favorit pelancong yang hendak menikmati keindahan alam pergunungan. Air terjun Lembah Anai hanyalah salah satu dari tujuh air terjun yang ada di kawasan tersebut.

Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Hamka, ulama cum sastrawan terpandang asal Sumatra Barat, sempat menjadikan kawasan ini sebagai salah satu latar dalam novel Di Bawah Lindungan Kabah (1938) yang diterbitkan Balai Pustaka.

Dalam cerita yang menyedihkan itu, saat Hamid (tokoh utama) belajar di Padang Panjang, ia sempat bermain ke kawasan ini. Namun keindahan alam hanya merawankan hatinya. Ia teringat kepada Zainab, perempuan yang dicintainya.

“Jika dengan teman-teman sama sekolah saya pergi melihat keindahan air terjun di Batang Anai atau mendaki Bukit Tuai, atau Gua Batu Sungai Anduk, bila masa saya melihat keindahan ciptaan alam itu, saya ingat alangkah senang hati Zainab jika ia turut melihat pula,” tulisnya.

Namun, kawasan ini sejatinya tak hanya berupa narasi keindahan. Dalam lintasan sejarah kolonial, kawasan ini juga menghamparkan sejumlah kisah memilukan.


Dari Kerja Paksa hingga Basis Perlawanan

Saat membangun Jalan Lintas Sumatra yang menghubungkan Padang dan Padang Panjang melalui Lembah Anai, menurut Elizabeth E. Graves dalam Asal-usul Elite Minangkabau Modern: Respons terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX (2007), masyarakat dikenai kerja paksa dan para pekerja kerap harus menempuh waktu berhari-hari menuju proyek pembangunan jalan tersebut.

“[Jalan tersebut] menghubungkan Padang dengan dataran tinggi di Padangpanjang, melalui Lembah Anai, sebuah jalan sempit melewati aliran Batang Anai. Jalan tersebut akan memungkinkan transportasi barang-barang dalam jumlah yang besar dan membantu menghemat ongkos pemerintah dalam bersaing dengan pedagang pribumi,” tulis Graves.

Panjang proyek jalan Anai sekitar 10 mil atau sekitar 17 kilometer. Di banyak tempat, para pekerja harus menyingkirkan batu-batu besar yang menghalangi arah jalan. Para pekerja memang dikerahkan dari sejumlah daerah di sekitar kawasan itu, sebab penduduk setempat jumlahnya tak seberapa. Pada masa itu tidak ada lahan yang cocok untuk pertanian sehingga tak ada kampung atau nagari.

Belanda mengeluarkan perintah yang mewajibkan semua penduduk untuk ikut kerja paksa, kecuali perempuan, orang jompo, dan pemuka agama. Kepala Nagari dan Angku Lareh (pemimpin wilayah dalam era tanam paksa), bekerja melalui penghulu suku mengurus tenaga kerja ini. Setiap orang membawa makanannya sendiri-sendiri. Mereka juga harus menyiapkan sendiri peralatan kerja dan transportasi menuju tempat kerja.

Seperti peristiwa yang akhir-akhir ini terjadi, sejak dulu jalan di kawasan ini sering mengalami masalah karena hujan besar menyebabkan tanah longsor yang menutupi badan jalan. Untuk menutupi biaya ini, Belanda mengeluarkan peraturan kepada para pengguna jalan untuk membayar retribusi sebesar f6 setiap tahun yang dikenal sebagai kloofgelden (uang lewat).

Selain proyek jalan raya, kawasan ini juga dilintasi jaringan transportasi kereta api. Dan pembangunannya lagi-lagi sangat bergantung kepada para pekerja yang berada di nagari yang berada di dataran tinggi. Pada masa kekuasaan Jepang, terjadi kecelakaan kereta api di Lembah Anai yang banyak memakan korban.

Sementara di masa Revolusi, tepatnya saat Agresi Militer Belanda II, kawasan ini menjadi basis perlawanan para pejuang Republik untuk menghambat laju pasukan Belanda yang hendak menuju Padang Panjang dan Bukitinggi.

“19 Desember 1948, mereka mengepung garis pertahanan utama Indonesia di Lembah Anai, yang terletak antara Kayutanam dan Padangpanjang […] Tetapi, mereka menemukan perlawanan sengit, karena pasukan utama Republik dipusatkan di bukit-bukit di atas celah Anai yang terjal dan sempit,” tulis Audrey Kahin dalam Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998 (2005).

Para pejuang Republik juga menghancurkan jembatan-jembatan dan menumbangkan pepohonan untuk menghambat gerak maju pasukan Belanda di lembah tersebut. Tak hanya itu, sambil perlahan mundur, mereka juga menghambat pasukan Belanda lewat para penembak yang bersembunyi di celah-celah perbukitan.


Seringnya Kecelakaan Kereta

Pada masa sekarang, terjadi beberapa kali kecelakaan kereta api di kawasan dataran tinggi yang indah ini. Jumlah korbannya pun cukup banyak. Kompas edisi 29 Juni 2000 melaporkan lima gerbong kereta api pengangkut batu bara terlepas dari rangkaiannya dan jatuh di Lembah Anai. Peristiwa ini menewaskan belasan orang dan sembilan luka berat.

“Karena calon penumpang tidak sabar menunggu kereta api angkutan penumpang pukul 12.00, mereka naik kereta api yang khusus mengangkut batu bara. Kereta api tersebut berangkat sekitar pukul 10.30 dari Stasiun Padang Panjang menuju Padang,” tulis Kompas.

Tujuh gerbong yang masing-masing bermuatan 25 ton batu bara itu kehilangan kendali saat melalui turunan tajam. Dua gerbong yang tertinggal di belakang lima rangkaian menabrak gerbong di depannya dan terpental ke luar rel, lalu terjungkal dan menghantam dinding cadas.

“Meski rel peninggalan zaman Belanda ini menerobos beberapa terowongan di bawah bukit [untuk] menghindari tanjakan, tapi masih berbahaya,” tulis Gatra.
(irf)

No comments: