03 July 2021

Kisah Suka Duka Sukarno di Bogor

Bogor menjadi saksi kisah percintaan Sukarno dengan Hartini, persahabatan dengan Nikita Khrushchev, dan terjungkal dari kekuasaan.

Dari tujuh presiden yang silih berganti memimpin Indonesia, kiranya tak ada yang paling banyak punya warna warni kehidupan melebihi Sukarno. Proklamator kemerdekaan ini kenyang keluar masuk penjara dan tempat pengasingan. Sosoknya yang energik, ekspresif, dan flamboyan, membuat dirinya hampir selalu melahirkan cerita yang menarik, termasuk di beberapa kota yang sempat disinggahi dan ditinggali, termasuk Bogor: tentang cinta, persahabatan, dan saat-saat menjelang lengser.

“Aku mencintaimu, ini adalah takdir”

Setelah menceraikan Siti Oetari dan Inggit Garnasih dan menikahi Fatmawati, serta dikaruniai sejumlah keturunan, Sukarno masih ingin punya istri lagi. Dan dalam catatan sejarah, sampai akhir hayatnya ia mempunyai sembilan istri.

Istri keempatnya bernama Hartini. Perempuan kelahiran Ponorogo ini telah memikat hatinya. Mula-mula mereka bertemu di Salatiga. Hartini yang saat itu telah mempunyai hubungan dengan Dr. Soewondo juga kepincut dengan Sukarno yang kharismatik.

“Tuhan telah mempertemukan kita Tin, dan aku mencintaimu. Ini adalah takdir,” tulis Sukarno dalam suratnya kepada Hartini seperti dikutip Peter Kasenda dalam Bung Karno Panglima Revolusi (2014).

Mereka memakai nama samaran, imbuh Kasenda. Sukarno memakai nama Srihana, dan Hartini memakai nama Srihani. Hal itu dilakukan keduanya karena percintaan mereka dilakukan secara diam-diam, atau Kasenda menyebutnya “jalan belakang”. Hal ini kemudian mendorong Ali Sastroamidjojo menegur Sukarno untuk segera menyelesaikan gosip percintaan itu dengan secepatnya menikahi Hartini.

Sukarno pun menikahi Hartini di Istana Cipanas, Cianjur. Selanjutnya Hartini tinggal di paviliun Istana Bogor. Di situlah dua sejoli ini menorehkan kisah percintaan. Dari Hartini, Sukarno mempunyai dua orang anak, yakni Taufan dan Bayu.

Sebuah fragmen sempat ditulis Cindy Adams dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2007) tentang Sukarno dan Hartini saat berada di paviliun Istana Bogor ketika menerima tamu, yaitu Duta Besar Amerika di Indonesia, Howard Jones dan istrinya.

"Ini merupakan pertemuan kekeluargaan yang tidak formal. Aku pakai baju sport dan tanpa alas kaki. Hartini membuat nasi goreng, karena dia tahu keluarga Jones sangat gemar nasi goreng ayam dan aku makan mempergunakan tangan. Kami duduk mengelilingi meja menikmati suasana santai dan menyenangkan," ucap Sukarno.

Sukarno seperti ditulis Cindy Adams mengaku bahwa paviliun tempat ia dan Hartini tinggal, tidak seperti dugaan banyak orang yang mengira memiliki kran-kran dari emas murni seperti para pemimpin dunia di negara lain.

“Aku dan istriku Hartini di paviliun kecil kami di Istana Bogor. […] Di kompleks istana itu kami memiliki sebuah bungalow kecil yang memiliki sepasang kamar tidur. Bungalow itu tidak mewah. Sederhana sekali. Tetapi menyenangkan dan itulah rumahku,” katanya.

Menjamu Nikita Khrushchev

Sekali waktu pada 1960, pemimpin Uni Soviet, Nikita Khrushchev, berkunjung ke Indonesia. Oleh Sukarno ia dibawa ke beberapa kota, salah satunya Bogor. Perjalanan dan pengalaman di Bogor ditulis Khrushchev dalam Memoirs of Nikita Khrushchev. Volume 3, Statesman (1953-1964) dengan penuh kegembiraan sekaligus agak muram.

Menurutnya, dalam perjalanan dari Jakarta ke Bogor yang hanya 50 kilometer, menyajikan pemandangan indah. Ia terkesan dengan buah-buahan yang dijajakan pedagang di pasar yang dilewatinya, yang bukan saja belum pernah dinikmati oleh orang-orang Uni Soviet, bahkan melihatnya pun mereka belum pernah.

Lantas ia mengagumi Istana Bogor. Ia terkesan dengan bangunannya dan rumput luas yang terhampar di halaman. Khrushchev teringat masa kecilnya, saat musim semi ketika para petani merayakan Paskah dan semuanya nampak hijau.
Di sekitar Istana Bogor, ia melihat benda-benda hitam besar tergantung di dahan pohon. Saat ditanyakan, ternyata benda-benda itu adalah rubah terbang yang merupakan sejenis kelelawar.

“Sebelum senja, mereka bersiap pergi, lalu semuanya terbang seperti burung hitam musim semi di Rusia. Hewan itu terbang membuat lingkaran di sekitar tempat mereka menghabiskan hari, kemudian terbang jauh mencari makanan. Di pagi hari hewan nokturnal ini kembali,” tulisnya.

Khrushchev ditemani Sukarno berjalan-jalan ke Kebun Raya Bogor yang menurutnya memberi kesan suram, karena matahari tidak menembus kanopi daun di bagian atas. Di bawahnya basah, dan batang-batang pohon ditutupi lumut dengan air yang menetes dari dedaunan.

Ia melihat dua orangutan yang dirantai di dalam kebun raya tersebut. Menurut Khrushchev, kedua orangutan itu dirantai dan hanya terduduk sedih.

“Mengapa Anda membiarkan mereka dirantai? Itu membuat kesan buruk,” tanyanya kepada Sukarno. Namun Sukarno tak menjawabnya.

Museum Zoologi yang letaknya tidak jauh dari Istana Bogor turut dikunjungi Khrushchev. Pelbagai macam kupu-kupu dengan aneka pola dan warna mengejutkan imajinasinya. Seryozha yang biasa dipanggil Sergei, anaknya, yang turut dalam perjalanan itu mempunyai hobi mengoleksi kupu-kupu. Anak itu selalu meminta dibawakan spesimen kupu-kupu setiap kali ayahnya pergi ke luar negeri.

Para pengawal Sukarno mencoba menangkap kupu-kupu untuk memenuhi permintaan Sergei. Dan ketika Sukarno mengetahui bahwa anak sahabatnya gemar mengoleksi kupu-kupu, ia pun ikut menangkap kupu-kupu, mereka berlari-lari dan tertawa lepas.

Sukarno lalu menjamu makan malam. Pelbagai makanan dihidangkan termasuk camilan dan buah-buahan. Dengan memanggil “Kamerad Khrushchev”, Sukarno meminta sahabatnya itu untuk mencicipi durian.

“Saya mengambil sendok, mencedok daging buahnya, dan mengangkatnya ke mulut. Saya langsung kewalahan dengan bau busuk yang menjijikkan. Presiden bersikeras untuk merasakan buah itu. Dia sendiri senang memakannya, dan bagiku sepertinya tidak sopan untuk menolak,” tulis Khrushchev.

Sukarno juga membawanya berjalan-jalan memakai mobil ke perdesaan di Bogor. Khrushchev melihat orang-orang bertelanjang dada dan gubuk-gubuk yang terbuat dari bambu. Baginya, pemandangan itu tidak menyenangkan. Dua hari Sukarno menemani Khrushchev di Bogor, setelah itu mereka kembali ke Jakarta.

Senjakala Putra Sang Fajar

Beberapa tahun kemudian, kenangan manis di Bogor saat bersama Hartini dan persahabatan mesra dengan Nikita Khrushchev berubah drastis. Peristiwa G30S membawa Sukarno ke tubir keruntuhan kekuasaan.

Saat peristiwa itu terjadi, Sukarno berada di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Sementara pasukan yang dipimpin Soeharto akan segera mengepung pasukan yang menguasai Halim. Demi keamanan, Sukarno pun terbang ke Istana Bogor. Lalu beberapa hari kemudian ia memimpin sidang kabinet.

Setelah itu, demonstrasi mahasiswa yang dimotori Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) menghebat. Mereka menyerukan Tiga Tuntutan Rakyat atau Tritura yang satu satu isinya adalah menuntut pembubaran PKI, yang dianggap sebagai dalang pembunuhan para perwira Angkatan Darat di Lubang Buaya.

Karena aksi mahasiswa kian bergelombang, akhirnya mereka diundang untuk hadir dalam sidang paripurna kabinet di Istana Bogor pada 15 Januari 1966. Salah seorang eksponen gerakan mahasiswa saat itu, yakni Cosmas Batubara, menceritakan peristiwa itu dalam Cosmas Batubara: Sebuah Otobiografi Politik (2007).

“Kedatangan delegasi KAMI Pusat, KAMI Jaya, dan KAMI UI ke Bogor disambut oleh mahasiswa Bogor dan mahasiswa Bandung yang telah lebih dulu berada di sana. Jalan di sekeliling Istana Bogor melimpah dengan mahasiswa,” tulisnya.

Menurutnya, mahasiswa yang muak dengan pemerintahan Orde Lama menyerang mobil para menteri yang hendak masuk ke Istana Bogor dan meneriakinya “menteri goblok”. Mahasiswa juga menggoyang-goyangkan mobil-mobil itu sehingga para menteri ketakutan.

Karena Sukarno tidak sepatah pun menyinggung Tritura, semua mahasiswa yang datang dari Jakarta kecewa dan tidak bersedia kembali ke Jakarta. Mereka yang berada di sekeliling Istana Bogor itu lebih memilih untuk bertahan di sana.

Situasi semakin gawat, sampai akhirnya Sukarno—meski kontroversial dan menjadi perdebatan di kalangan sejarawan—di Istana Bogor menandatangani Surat Perintah Sebelas Maret pada 1966, yang kemudian menjadi senjata yang justru meredupkan kekuasaannya. Putra Sang Fajar pun jatuh dan beberapa tahun kemudian hayatnya pungkas.

Bogor, yang letaknya tidak terlampau jauh dari Jakarta itu, menghiasi riwayat Sukarno dalam senang dan duka. Dalam sedih dan tawa. (irf)

No comments: