Bogor menjadi saksi kisah percintaan Sukarno dengan Hartini, persahabatan dengan Nikita Khrushchev, dan terjungkal dari kekuasaan.
Dari tujuh presiden yang silih berganti memimpin
Indonesia, kiranya tak ada yang paling banyak punya warna warni kehidupan
melebihi Sukarno. Proklamator kemerdekaan ini kenyang keluar masuk penjara dan
tempat pengasingan. Sosoknya yang energik, ekspresif, dan flamboyan, membuat
dirinya hampir selalu melahirkan cerita yang menarik, termasuk di beberapa kota
yang sempat disinggahi dan ditinggali, termasuk Bogor: tentang cinta, persahabatan, dan saat-saat menjelang
lengser.
“Aku mencintaimu, ini adalah takdir”
Setelah menceraikan Siti Oetari dan Inggit
Garnasih dan menikahi Fatmawati, serta dikaruniai sejumlah keturunan, Sukarno
masih ingin punya istri lagi. Dan dalam catatan sejarah, sampai akhir hayatnya
ia mempunyai sembilan istri.
Istri keempatnya bernama Hartini. Perempuan
kelahiran Ponorogo ini telah memikat hatinya. Mula-mula mereka bertemu di
Salatiga. Hartini yang saat itu telah mempunyai hubungan dengan Dr. Soewondo
juga kepincut dengan Sukarno yang kharismatik.
“Tuhan telah mempertemukan kita Tin, dan aku
mencintaimu. Ini adalah takdir,” tulis Sukarno dalam suratnya kepada Hartini
seperti dikutip Peter Kasenda dalam Bung Karno Panglima Revolusi (2014).
Mereka memakai nama samaran, imbuh Kasenda.
Sukarno memakai nama Srihana, dan Hartini memakai nama Srihani. Hal itu
dilakukan keduanya karena percintaan mereka dilakukan secara diam-diam, atau
Kasenda menyebutnya “jalan belakang”. Hal ini kemudian mendorong Ali Sastroamidjojo
menegur Sukarno untuk segera menyelesaikan gosip percintaan itu dengan
secepatnya menikahi Hartini.
Sukarno pun menikahi Hartini di Istana Cipanas,
Cianjur. Selanjutnya Hartini tinggal di paviliun Istana Bogor. Di situlah dua
sejoli ini menorehkan kisah percintaan. Dari Hartini, Sukarno mempunyai dua
orang anak, yakni Taufan dan Bayu.
Sebuah fragmen sempat ditulis Cindy Adams dalam Bung
Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2007) tentang Sukarno dan
Hartini saat berada di paviliun Istana Bogor ketika menerima tamu, yaitu Duta
Besar Amerika di Indonesia, Howard Jones dan istrinya.
"Ini merupakan pertemuan kekeluargaan yang
tidak formal. Aku pakai baju sport dan tanpa alas kaki.
Hartini membuat nasi goreng, karena dia tahu keluarga Jones sangat gemar nasi
goreng ayam dan aku makan mempergunakan tangan. Kami duduk mengelilingi meja
menikmati suasana santai dan menyenangkan," ucap Sukarno.
Sukarno seperti ditulis Cindy Adams mengaku
bahwa paviliun tempat ia dan Hartini tinggal, tidak seperti dugaan banyak orang
yang mengira memiliki kran-kran dari emas murni seperti para pemimpin dunia di
negara lain.
“Aku dan istriku Hartini di paviliun kecil kami
di Istana Bogor. […] Di kompleks istana itu kami memiliki sebuah bungalow kecil
yang memiliki sepasang kamar tidur. Bungalow itu tidak mewah. Sederhana sekali.
Tetapi menyenangkan dan itulah rumahku,” katanya.
Menjamu Nikita Khrushchev
Sekali waktu pada 1960, pemimpin Uni Soviet,
Nikita Khrushchev, berkunjung ke Indonesia. Oleh Sukarno ia dibawa ke beberapa
kota, salah satunya Bogor. Perjalanan dan pengalaman di Bogor ditulis
Khrushchev dalam Memoirs of Nikita Khrushchev. Volume 3, Statesman (1953-1964)
dengan penuh kegembiraan sekaligus agak muram.
Menurutnya, dalam perjalanan dari Jakarta ke
Bogor yang hanya 50 kilometer, menyajikan pemandangan indah. Ia terkesan dengan
buah-buahan yang dijajakan pedagang di pasar yang dilewatinya, yang bukan saja
belum pernah dinikmati oleh orang-orang Uni Soviet, bahkan melihatnya pun
mereka belum pernah.
Lantas ia mengagumi Istana Bogor. Ia terkesan
dengan bangunannya dan rumput luas yang terhampar di halaman. Khrushchev
teringat masa kecilnya, saat musim semi ketika para petani merayakan Paskah dan
semuanya nampak hijau.
Di sekitar Istana Bogor, ia melihat benda-benda
hitam besar tergantung di dahan pohon. Saat ditanyakan, ternyata benda-benda
itu adalah rubah terbang yang merupakan sejenis kelelawar.
“Sebelum senja, mereka bersiap pergi, lalu
semuanya terbang seperti burung hitam musim semi di Rusia. Hewan itu terbang
membuat lingkaran di sekitar tempat mereka menghabiskan hari, kemudian terbang
jauh mencari makanan. Di pagi hari hewan nokturnal ini kembali,” tulisnya.
Khrushchev ditemani Sukarno berjalan-jalan ke
Kebun Raya Bogor yang menurutnya memberi kesan suram, karena matahari tidak
menembus kanopi daun di bagian atas. Di bawahnya basah, dan batang-batang pohon
ditutupi lumut dengan air yang menetes dari dedaunan.
Ia melihat dua orangutan yang dirantai di dalam
kebun raya tersebut. Menurut Khrushchev, kedua orangutan itu dirantai dan hanya
terduduk sedih.
“Mengapa Anda membiarkan mereka dirantai? Itu
membuat kesan buruk,” tanyanya kepada Sukarno. Namun Sukarno tak menjawabnya.
Museum Zoologi yang letaknya tidak jauh dari Istana Bogor
turut dikunjungi Khrushchev. Pelbagai macam kupu-kupu dengan aneka pola dan
warna mengejutkan imajinasinya. Seryozha yang biasa dipanggil Sergei, anaknya,
yang turut dalam perjalanan itu mempunyai hobi mengoleksi kupu-kupu. Anak itu
selalu meminta dibawakan spesimen kupu-kupu setiap kali ayahnya pergi ke luar
negeri.
Para pengawal Sukarno mencoba menangkap
kupu-kupu untuk memenuhi permintaan Sergei. Dan ketika Sukarno mengetahui bahwa
anak sahabatnya gemar mengoleksi kupu-kupu, ia pun ikut menangkap kupu-kupu,
mereka berlari-lari dan tertawa lepas.
Sukarno lalu menjamu makan malam. Pelbagai
makanan dihidangkan termasuk camilan dan buah-buahan. Dengan memanggil “Kamerad
Khrushchev”, Sukarno meminta sahabatnya itu untuk mencicipi durian.
“Saya mengambil sendok, mencedok daging buahnya,
dan mengangkatnya ke mulut. Saya langsung kewalahan dengan bau busuk yang
menjijikkan. Presiden bersikeras untuk merasakan buah itu. Dia sendiri senang
memakannya, dan bagiku sepertinya tidak sopan untuk menolak,” tulis Khrushchev.
Sukarno juga membawanya berjalan-jalan memakai
mobil ke perdesaan di Bogor. Khrushchev melihat orang-orang bertelanjang dada
dan gubuk-gubuk yang terbuat dari bambu. Baginya, pemandangan itu tidak
menyenangkan. Dua hari Sukarno menemani Khrushchev di Bogor, setelah itu mereka
kembali ke Jakarta.
Senjakala Putra Sang Fajar
Beberapa tahun kemudian, kenangan manis di Bogor
saat bersama Hartini dan persahabatan mesra dengan Nikita Khrushchev berubah
drastis. Peristiwa G30S membawa Sukarno ke tubir keruntuhan kekuasaan.
Saat peristiwa itu terjadi, Sukarno berada di
Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Sementara pasukan yang dipimpin Soeharto
akan segera mengepung pasukan yang menguasai Halim. Demi keamanan, Sukarno pun
terbang ke Istana Bogor. Lalu beberapa hari kemudian ia memimpin sidang
kabinet.
Setelah itu, demonstrasi mahasiswa yang dimotori
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) menghebat. Mereka menyerukan Tiga
Tuntutan Rakyat atau Tritura yang satu satu isinya adalah menuntut pembubaran
PKI, yang dianggap sebagai dalang pembunuhan para perwira Angkatan Darat di
Lubang Buaya.
Karena aksi mahasiswa kian bergelombang,
akhirnya mereka diundang untuk hadir dalam sidang paripurna kabinet di Istana
Bogor pada 15 Januari 1966. Salah seorang eksponen gerakan mahasiswa saat itu,
yakni Cosmas Batubara, menceritakan peristiwa itu dalam Cosmas
Batubara: Sebuah Otobiografi Politik (2007).
“Kedatangan delegasi KAMI Pusat, KAMI Jaya, dan KAMI UI ke Bogor disambut oleh
mahasiswa Bogor dan mahasiswa Bandung yang telah lebih dulu berada di sana.
Jalan di sekeliling Istana Bogor melimpah dengan mahasiswa,” tulisnya.
Menurutnya, mahasiswa yang muak dengan pemerintahan Orde Lama menyerang mobil
para menteri yang hendak masuk ke Istana Bogor dan meneriakinya “menteri
goblok”. Mahasiswa juga menggoyang-goyangkan mobil-mobil itu sehingga para
menteri ketakutan.
Karena Sukarno tidak sepatah pun menyinggung Tritura, semua mahasiswa yang
datang dari Jakarta kecewa dan tidak bersedia kembali ke Jakarta. Mereka yang
berada di sekeliling Istana Bogor itu lebih memilih untuk bertahan di sana.
Situasi semakin gawat, sampai akhirnya Sukarno—meski kontroversial dan menjadi
perdebatan di kalangan sejarawan—di Istana Bogor menandatangani Surat Perintah
Sebelas Maret pada 1966, yang kemudian menjadi senjata yang justru meredupkan
kekuasaannya. Putra Sang Fajar pun jatuh dan beberapa tahun kemudian hayatnya
pungkas.
Bogor, yang letaknya tidak terlampau jauh dari Jakarta itu, menghiasi riwayat
Sukarno dalam senang dan duka. Dalam sedih dan tawa. (irf)
No comments:
Post a Comment