Baba Dunja panggilannya. Sementara nama di paspornya tertulis Evdokija Anatoljewna. Dia pernah bekerja sebagai asisten perawat di Malyschi. Setelah pensiun, dia kembali ke kampung halamannya di Tschernowo atau Chernovo, tak jauh dari lokasi bencana Chernobyl tahun 1986, di Uni Soviet (kini masuk daerah Ukraina)—kecelakaan reaktor nuklir terburuk dalam sejarah.
Sejak bencana itu, kampungnya kosong.
Orang-orang mengungsi dan tak ada yang berani pulang karena dianggap memasuki zona
kematian. Namun Baba Dunja tak gentar. Dia kembali meski Irina, anaknya yang
menjadi dokter bedah dan bekerja di Jerman, melarangnya berkali-kali.
“Aku sudah tua, tak ada lagi yang
bisa membuatku terpapar radiasi, dan kalau pun terpapar, itu bukan akhir dunia,”
ujarnya kepada Irina.
“Aku tak akan mengunjungi Ibu di
sana.”
“Aku tahu,” ujar Baba Dunja, “tapi
kau memang jarang berkunjung.”
“Apakah ini teguran?”
“Bukan. Menurutku itu sesuatu yang
baik. Untuk apa seseorang selalu berada di dekat orangtua mereka?” jawab Baba
Dunja.
Pada bulan-bulan pertama tinggal di Tschernowo,
dia benar-benar hidup sendirian. Lalu beberapa bulan berikutnya datang Sidorow,
lelaki sangat tua yang juga sendirian. Sejak itu, perlahan tetangga baru berdatangan
dan lampu rumah satu-persatu mulai menyala.
Baba Dunja punya anak dua: Irina tinggal
di Jerman, dan Alexej bermukim di Amerika. Cucunya, anak Irina, bernama Laura.
Suami Baba Dunja bernama Jagor, telah lama meninggal. Tapi memang dia lebih baik
mati, sebab sewaktu masih hidup pun Jagor hampir tak berguna: kerap mabuk dan menghilang
dari rumah, meninggalkan Baba Dunja yang kerepotan menjalankan rutinitas
harian.
“Aku pergi ke dapur dan minum segelas
air keran. Rasanya asin karena air mataku menetes ke dalam gelas. Aku hanya
seorang wanita, sama seperti jutaan wanita lainnya, tapi tetap saja sangat
tidak bahagia. Aku benar-benar tolol,” keluh Baba Dunja sekali waktu saat dia
benar-benar repot dan kecapaian mengurus dua anaknya, kerja di rumah sakit, dan
menyelesaikan pekerjaan harian di rumah.
Maka, saat dia melihat foto
menantunya—suami Irina—yang botak dan berhidung besar, Baba Dunja berucap, “Suami
tak perlu berwajah tampan. Jagor tampan, tapi apa guna ketampanannya bagiku?”
Tetangga Baba Dunja yang lain adalah Marja.
Perempuan gemuk dan banyak minum obat, janda yang juga ditinggal mati oleh suaminya
yang brengsek.
“Pria itu (suami Marja) baru
ditemukan setelah meninggal, dan sekarang Marja menghukum diri dengan mengenang
masa lalu bagai lukisan terindah,” kata Baba Dunja.
Mereka cukup dekat, meski suatu hari,
Konstantin—ayam jantan milik Marja—mati ketika hendak dibunuh Baba Dunja.
Soalnya satu, ayam itu tak berguna dan suka mengacau. Marja sedih dan menangis,
persis seperti saat ditinggalkan suaminya. Namun setelah menjadi sup dan
berkaldu, dia makan juga ayam itu.
Petrow juga tetangga Baba Dunja.
Lelaki tua yang penyakitan dan keranjingan membaca. Waktu tiba di Tschernowo,
pada bulan-bulan pertama dia mengetuk semua pintu tetangga untuk meminta bahan
bacaan, dan itu mengesalkan. Perbekalannya saat datang amat sedikit, hanya sebuah
kantong berisi pakaian dalam dan satu buku tulis.
“Dia (Petrow) pria yang membutuhkan
buku layaknya alkoholik membutuhkan minuman beralkohol. Dia merana saat tidak
memiliki cukup buku untuk dibaca. Dan tidak pernah tersedia cukup buku untuk
dia baca. Tschernowo tidak memiliki perpustakaan umum, dan dia sudah membaca
buku yang ada di sini, bahkan buku manual yang usianya lebih tua darinya pun
sudah,” kata Baba Dunja.
Selain Sidorow, Marja, dan Petrow, tetangga
Baba Dunja yang lain adalah Lenotschka yang biasa saja, dan pasangan Gavrilow
yang usianya lebih muda dari baba Dunja dan tak pernah mengerti bagaiman rasanya
hidup sendirian. Ya, merekalah satu-satunya pasangan di desa itu.
Para penghuni desa “berbahaya” ini
hidup dari berkebun sayur-sayuran dan buah-buahan. Sesekali pergi ke Malyschi—kota
terdekat dari Tschernowo—untuk membeli sejumlah kebutuhan dengan cara saling
titip, kecuali pasangan Gavrilow.
Untuk sampai ke Malyschi, Baba Dunja
harus berjalan dua sampai tiga jam ke halte bus. Kendaraan ini hanya melewati
halte itu sehari sekali. Sopirnya bernama Boris, kerap bercakap dengan Baba
Dunja.
Meski tinggal di daerah berbahaya, Baba
Dunja selalu menjawab siapa saja yang mempertanyakan keputusannya untuk hidup
di daerah yang rawan terpapar radiasi nuklir:
“Aku sudah menyaksikan semuanya dan
tak lagi memiliki rasa takut. Kematian boleh datang menjemput, tapi tolong,
datanglah dengan anggun.”
Sekali waktu, ketenteraman desa ini terusik
oleh kedatangan orang asing: laki-laki beserta anak perempuannya yang sehat. Baba
Dunja dan seluruh tetangganya terseret kasus hukum yang mencerabut mereka dari
kehidupannya.
Meski demikian, Baba Dunja, juga para
tetangganya, tetap tak bisa dipisahkan dari desa yang berbahaya itu. Bencana
Cherbnobyl yang dahsyat tak mampu mengusir mereka selama-lamanya.
Kampung halaman, bagi banyak orang
bukan sekadar wilayah geografis, tapi juga semesta sejarah yang menggurat
riwayat hidup tiap jiwa yang menghuninya. Maka itu, meski berbahaya, Baba Dunja
dan orang-orang tua lainnya, kembali ke desa itu, bertahan hidup, berbagi
kisah, dan bersama-sama menyongsong detik akhir.
“Desa ini memiliki sejarah yang
berkaitan dengan sejarahku, seperti dua helai rambut dalam kepang yang sama. Kami
melewati separuh perjalanan bersama-sama,” pungkas Baba Dunja. (irf)
No comments:
Post a Comment