Letus kepala.
Sang presiden di ujung
nasib celaka.
Perseteruan antara kubu Selatan (Konfederasi) dan kubu
Utara (Union) dalam Perang Saudara Amerika Serikat baru saja berakhir. Pasukan
Konfederasi yang dipimpin Robert E. Lee menyerah di Gedung Pengadilan
Appomatox, Virginia, pada 9 April 1865.
Perang Saudara yang berlangsung selama empat
tahun tersebut memakan banyak korban di kedua pihak. Lima hari setelah
Konfederasi menyerah, kebengisan perang yang melahirkan dendam rupanya masih
meminta tumbal.
Malam itu, beserta istri dan beberapa
kolega, Abraham Lincoln tengah
menyaksikan pertunjukan teater di Ford’s Theatre, Washington. Jenderal Ulysses
Grant, mantan pemimpin pasukan Union dalam Perang Saudara dikabarkan akan hadir
juga di acara tersebut. Namun ia terlambat datang.
Ruangan disesaki penonton yang antusias. Dalam
jeda pertunjukan, terdengar letusan senapan. Itu hanya mengundang perhatian
sesaat, tapi tak benar-benar menimbulkan tanggapan serius dari para penonton.
Tiba-tiba seorang pria melompat ke depan tempat
Lincoln berada sembari mengacungkan sebilah belati panjang dan berseru, ”Sic
semper tyrannis!" (begitulah nasib tiran!). Ia lalu melompat ke
panggung dan melarikan diri menggunakan kuda.
Hadirin terkesima. Sementara Lincoln telah
terkulai. Darah mengucur dari kepalanya yang retak dihajar peluru. Istri
Lincoln berteriak histeris melihat suaminya terkapar. Setelah sadar bahwa telah
terjadi pembunuhan, hadirin bergegas menuju panggung dan berusaha mengejar
pelaku. Sebagian berteriak, “Gantung dia! Gantung dia!”
Aktor Teater Pendukung Konfederasi
John Wilkes Booth, pria yang menembak Lincoln, dilahirkan di Maryland pada 1838. Selama Perang Saudara berkobar, ia tinggal di utara, tapi mendukung kubu Konfederasi yang berada di selatan.
Ia adalah seorang aktor. Pada 1860, lima tahun
sebelum ia menembak Lincoln, John Wilkes Booth penah menulis sebuah naskah 21
halaman yang menunjukkan kefanatikan dan simpatinya terhadap kubu Selatan.
Naskah itu ia tulis di Philadelphia dan dimaksudkan
sebagai pidato. Namun sampai Lincoln ditembak, naskah tersebut tidak pernah
sampai ke publik, baik dalam bentuk pidato maupun terbitan. Baru tahun 1990-an
naskah itu ditemukan di salah satu arsip pemain teater di 16 Gramercy Park
South, Manhattan.
Rumah tersebut adalah bekas kediaman Edwin
Booth, kakak John Wilkes Booth, seotang aktor terkenal di masanya.
“Seandainya sentimen-sentimen ini diketahui oleh
para pejabat yang bertanggung jawab menjaga Presiden, mungkin Booth tidak akan
memiliki akses yang mudah untuk hadir di teater Washington pada 14 April 1865,”
tulis Herbert Mitgang.
Menanggapi naskah tersebut, David Herbert
Donald—sejarawan Harvard yang menulis biografi Lincoln—menyebut naskah itu
adalah dokumen menarik yang mengungkap pandangan-pandangan John Wilkes Booth
tentang krisis pemisahan diri dan keadaan pikirannya yang kacau balau. Juga
menggambarkan jalan pikirannya yang tidak koheren dalam masa gejolak emosional
yang hebat.
Robert Giroux, editor penerbit Farrar Straus Giroux,
menemukan naskah itu saat ia menyisir dokumen pemain teater. Ia duduk di
belakang meja Edwin Booth dalam sebuah penelitian di sekitar Gramercy Park.
“Saya sedikit terkejut ketika menyadari bahwa
inisial JWB adalah singkatan dari John Wilkes Booth,” ungkapnya.
Naskah tersebut ditulis dengan tinta hitam
tebal, dengan tulisan tangan yang sedikit kacau, kata-kata yang rentan
disalahartikan, salah ejaan, dan tata bahasa yang rancu. John Wilkes Booth
menulisnya di rumah saudara perempuannya, Asia Booth Clarke, di Philadelphia,
saat ia dan ibunya menghabiskan liburan Natal.
Herbert Mitgang menambahkan, dalam naskah yang
bertele-tele, penembak Lincoln tersebut menyebut dirinya sebagai “seorang pria
Utara” yang hendak “bertarung dengan segenap hati dan jiwa—bahkan jika tidak
ada seorang pun yang mendukungnya”—untuk persamaan hak dan keadilan bagi
Selatan dan Utara.
Naskah yang mengungkap pikiran-pikiran John
Wilkes Booth itu tersimpan dan tak terungkap selama seabad lebih. Ia masuk ke
Ford’s Theatre di malam jahanam itu, dan penembakan pun terjadi.
Dua Kali Percobaan Pembunuhan
Usaha untuk mencelakan Lincoln sebetulnya sempat direncanakan lebih awal sebelum kejadian di Ford’s Theatre. Pada 20 Maret 1865, John Wilkes Booth serta beberapa rekannya berencana untuk menculik Lincoln dan membawanya ke Richmond, ibukota Konfederasi. Namun rencana tersebut gagal.
Percobaan kedua akhirnya berhasil. Pada 14 April
1865, setelah menyelinap,
ia mengarahkan moncong senapan ke arah kepala Lincoln dan Presiden AS ke-16 itu
terkapar.
Dalam situasi panik, Lincoln dibawa ke
sebuah rumah
pribadi milik William A. Petersen, seorang penjahit
keturunan Jerman, yang berada di seberang Ford’s Theatre. Para ahli bedah
dikerahkan untuk memeriksa kondisinya. Pasukan militer berjaga di sekitar rumah
yang dipakai untuk mengevakuasi Lincoln.
Setelah situasi di Ford’s Theatre cukup kondusif, petugas melakukan pemeriksaan di tempat Lincoln ditembak. Petugas menemukan ceceran darah di kursi, partisi, dan lantai. Sebuah pistol saku berlaras tunggal tergeletak di lantai.
Lincoln meninggal keesokan harinya pada 15 April dalam usia 56. Rumah tempat ia meninggal dijadikan museum sejak 1930-an. (irf)
No comments:
Post a Comment