18 July 2021

Perang Saudara Berakhir, Darah Abraham Lincoln Mengalir


Letus kepala.

Sang presiden di ujung

nasib celaka.

Perseteruan antara kubu Selatan (Konfederasi) dan kubu Utara (Union) dalam Perang Saudara Amerika Serikat baru saja berakhir. Pasukan Konfederasi yang dipimpin Robert E. Lee menyerah di Gedung Pengadilan Appomatox, Virginia, pada 9 April 1865.

Perang Saudara yang berlangsung selama empat tahun tersebut memakan banyak korban di kedua pihak. Lima hari setelah Konfederasi menyerah, kebengisan perang yang melahirkan dendam rupanya masih meminta tumbal.

Malam itu, beserta istri dan beberapa kolega, 
Abraham Lincoln tengah menyaksikan pertunjukan teater di Ford’s Theatre, Washington. Jenderal Ulysses Grant, mantan pemimpin pasukan Union dalam Perang Saudara dikabarkan akan hadir juga di acara tersebut. Namun ia terlambat datang.

Ruangan disesaki penonton yang antusias. Dalam jeda pertunjukan, terdengar letusan senapan. Itu hanya mengundang perhatian sesaat, tapi tak benar-benar menimbulkan tanggapan serius dari para penonton.

Tiba-tiba seorang pria melompat ke depan tempat Lincoln berada sembari mengacungkan sebilah belati panjang dan berseru, ”Sic semper tyrannis!" (begitulah nasib tiran!). Ia lalu melompat ke panggung dan melarikan diri menggunakan kuda.

Hadirin terkesima. Sementara Lincoln telah terkulai. Darah mengucur dari kepalanya yang retak dihajar peluru. Istri Lincoln berteriak histeris melihat suaminya terkapar. Setelah sadar bahwa telah terjadi pembunuhan, hadirin bergegas menuju panggung dan berusaha mengejar pelaku. Sebagian berteriak, “Gantung dia! Gantung dia!”


Aktor Teater Pendukung Konfederasi

John Wilkes Booth, pria yang menembak Lincoln, dilahirkan di Maryland pada 1838. Selama Perang Saudara berkobar, ia tinggal di utara, tapi mendukung kubu Konfederasi yang berada di selatan.

Ia adalah seorang aktor. Pada 1860, lima tahun sebelum ia menembak Lincoln, John Wilkes Booth penah menulis sebuah naskah 21 halaman yang menunjukkan kefanatikan dan simpatinya terhadap kubu Selatan.

Naskah itu ia tulis di Philadelphia dan dimaksudkan sebagai pidato. Namun sampai Lincoln ditembak, naskah tersebut tidak pernah sampai ke publik, baik dalam bentuk pidato maupun terbitan. Baru tahun 1990-an naskah itu ditemukan di salah satu arsip pemain teater di 16 Gramercy Park South, Manhattan.

Rumah tersebut adalah bekas kediaman Edwin Booth, kakak John Wilkes Booth, seotang aktor terkenal di masanya.

“Seandainya sentimen-sentimen ini diketahui oleh para pejabat yang bertanggung jawab menjaga Presiden, mungkin Booth tidak akan memiliki akses yang mudah untuk hadir di teater Washington pada 14 April 1865,” tulis 
Herbert Mitgang.

Menanggapi naskah tersebut, David Herbert Donald—sejarawan Harvard yang menulis biografi Lincoln—menyebut naskah itu adalah dokumen menarik yang mengungkap pandangan-pandangan John Wilkes Booth tentang krisis pemisahan diri dan keadaan pikirannya yang kacau balau. Juga menggambarkan jalan pikirannya yang tidak koheren dalam masa gejolak emosional yang hebat.

Robert Giroux, editor penerbit 
Farrar Straus Giroux, menemukan naskah itu saat ia menyisir dokumen pemain teater. Ia duduk di belakang meja Edwin Booth dalam sebuah penelitian di sekitar Gramercy Park.

“Saya sedikit terkejut ketika menyadari bahwa inisial JWB adalah singkatan dari John Wilkes Booth,” ungkapnya.

Naskah tersebut ditulis dengan tinta hitam tebal, dengan tulisan tangan yang sedikit kacau, kata-kata yang rentan disalahartikan, salah ejaan, dan tata bahasa yang rancu. John Wilkes Booth menulisnya di rumah saudara perempuannya, Asia Booth Clarke, di Philadelphia, saat ia dan ibunya menghabiskan liburan Natal.

Herbert Mitgang menambahkan, dalam naskah yang bertele-tele, penembak Lincoln tersebut menyebut dirinya sebagai “seorang pria Utara” yang hendak “bertarung dengan segenap hati dan jiwa—bahkan jika tidak ada seorang pun yang mendukungnya”—untuk persamaan hak dan keadilan bagi Selatan dan Utara.

Naskah yang mengungkap pikiran-pikiran John Wilkes Booth itu tersimpan dan tak terungkap selama seabad lebih. Ia masuk ke Ford’s Theatre di malam jahanam itu, dan penembakan pun terjadi.


Dua Kali Percobaan Pembunuhan

Usaha untuk mencelakan Lincoln sebetulnya sempat direncanakan lebih awal sebelum kejadian di Ford’s Theatre. Pada 20 Maret 1865, John Wilkes Booth serta beberapa rekannya berencana untuk menculik Lincoln dan membawanya ke Richmond, ibukota Konfederasi. Namun rencana tersebut gagal.

Percobaan kedua akhirnya berhasil. Pada 14 April 1865, setelah menyelinap, ia mengarahkan moncong senapan ke arah kepala Lincoln dan Presiden AS ke-16 itu terkapar.

Dalam situasi panik, Lincoln dibawa ke sebuah 
rumah pribadi milik William A. Petersen, seorang penjahit keturunan Jerman, yang berada di seberang Ford’s Theatre. Para ahli bedah dikerahkan untuk memeriksa kondisinya. Pasukan militer berjaga di sekitar rumah yang dipakai untuk mengevakuasi Lincoln.

Sementara massa berkerumun di sekitar rumah tersebut. Meski telah disampaikan bahwa luka yang diderita Lincoln sangat serius dan mematikan, tapi mereka tetap ingin mengetahui kondisi terkini dan berharap sang presiden dapat diselamatkan.

Setelah situasi di Ford’s Theatre cukup kondusif, petugas melakukan pemeriksaan di tempat Lincoln ditembak. Petugas menemukan ceceran darah di kursi, partisi, dan lantai. Sebuah pistol saku berlaras tunggal tergeletak di lantai.

Lincoln meninggal keesokan harinya pada 15 April dalam usia 56. Rumah tempat ia meninggal dijadikan museum sejak 1930-an.
(irf)

No comments: