Sesekali atau bahkan berkali-kali, di smartphone muncul broadcast
yang isinya informasi dan himbauan untuk menghindari beberapa ruas jalan. Hal
itu disebar katanya demi menghindarkan warga kota dari macet jahanam yang
menjengkelkan. Selintas hal tersebut—karena kerap muncul, seperti sebuah
kebenaran yang tak terbantah. Warga kota yang tergesa dengan agendanya masing-masing
tak sudi acaranya dirintangi oleh jalanan yang tersumbat. Keramaian dan
keriuhan, apa pun acaranya dan siapa pun penyelenggaranya, semacam telah
menjadi musuh alami yang mengejawantah di broadcast
yang bertebaran menyusup di semesta smartphone.
Dalam konteks kota sebagai ruang hidup bersama—pada kasus ini
adalah Kota Bandung, acara-acara yang melibatkan warga kota sebetulnya adalah
sesuatu yang patut untuk dirayakan. Bagaimana tidak? Bukankah tebaran taman
yang menghiasi hampir sekujur kota adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan warga
atas ruang hidup dan interaksi bersama. Ya, interaksi. Bertemu dengan warga
kota lain; bisa tetangga sebelah rumah, warga beda kelurahan dan kecamatan,
dll. Atau jika dijelentrehkan dalam strata dan status sosial, di ruang publik
itu kita bisa bertemu beragam manusia; pengangguran, pencopet, pasangan yang
baru reda dari pertengkaran hebat, anak dan orangtua yang jarang ngobrol,
tukang cuanki, PNS yang bosan dengan pekerjaannya, dll.
Pemberitahuan dan himbauan untuk menghindari beberapa ruas jalan
yang diprediksi akan macet karena adanya acara yang melibatkan warga kota,
sesungguhnya adalah sebuah laku ironi. Kita mengharapkan ruang publik untuk
berinteraksi, sementara di lain waktu kita malah menghindari acara yang
melibatkan banyak warga.
Dari perspektif inilah kemudian kami (Komunitas Aleut) merumuskan dan mengambil
sikap, bagaimana caranya merespon setiap kegiatan kota yang melibatkan banyak
warga. Sebagai komunitas yang pada mula dan seterusnya concern terhadap—tidak hanya sejarah, namun juga perkembangan kota,
kami kemudian memutuskan untuk ambil bagian dan bahkan lebur dengan setiap
kegiatan kota.
Meski sikap dan kesadaran ini telah jauh-jauh hari kami rumuskan,
namun moment pertama yang paling kentara adalah ketika Peringatan Konferensi
Asia Afrika ke-60 tahun kemarin. Dengan semangat kolektif khas komunitas, kami
menyambut Peringatan KAA ke-60 dengan jalan meleburkan diri. Kami berusaha
larut dengan kerja-kerja liputan—yang meskipun amatiran, tapi kami melakukannya
setiap hari hampir tanpa jeda. Kami bertemu dan mewawancarai pedagang kaki
lima, warga yang hidup di gang-gang di sekitar Gedung Merdeka, aparat keamanan
yang bertugas dan berjaga, tukang yang mengerjakan perbaikan trotoar, tukang
membuat plat nomor, dll. Hasil liputan tersebut tidak selalu terlahir menjadi satu
tulisan panjang dan utuh, namun bisa juga hanya menjadi informasi-informasi
pendek yang kami hadirkan di beberapa saluran media sosial.
Selain menghasilkan beberapa tulisan, liputan ini pun berhasil
menjerat beberapa peristiwa dengan bantuan kamera. Foto-foto dengan kualitas
sederhana kami simpan dan beberapa dipublikasikan. Bagi kami ini perayaan.
Bukan karena gempita dan besarnya biaya yang keluar, namun bagaimana kami
sebagai warga kota mencoba larut dalam kegiatan.
Setahun pasca peringatan, seiring dengan semangat literasi yang
kembali tumbuh, kami menyunting ulang semua tulisan tersebut. Maka hari ini, di
acara soft launching buku “Pernik KAA
2015”, semua tulisan yang terbuhul tersebut adalah hasil kerja kami setahun
yang lalu. Begitu pula foto-foto yang kami pajang, semuanya hasil kurasi dari
ratusan foto yang kami hasilkan sepanjang liputan.
Acara ini pun sekaligus sebagai penanda atau semacam batu tapal, tentang
kami yang hendak berkabar, bahwa ada hari-hari di luar kegiatan NgAleut yang
rutin kami lakukan setiap hari Minggu, yang kami isi dengan kerja-kerja
literasi yang bahan bakarnya adalah semangat kolektif berkomunitas.
Komunitas Aleut yang sejak lahir dan tumbuh tidak bisa dipisahkan
dengan buku, hari-hari ini mencoba tampil tidak hanya sebatas “mengkonsumsi”
buku, namun juga mencoba untuk “berproduksi”. Teks-teks lama yang sudah langka,
yang kiranya masih relevan dengan sejarah Bandung; kami himpun, ketik ulang,
disunting dan diberi pengantar, sebelum akhirnya diterbitkan ulang agar bisa
diakses oleh masyarakat luas. Beberapa teks
lama yang telah, tengah, dan akan kami garap di antaranya:
Pertama, “Rasia Bandoeng: atawa Satoe Tjerita jang Benar Terdjadi
di Kota Bandoeng dan Berachir pada Tahun 1917” karangan Chabanneau.
Roman ini terbit sekira satu abad yang lalu. Peredarannya amat
terbatas, dan ini disinyalir karena isinya terkait dengan aib keluarga dalam
satu she atau marga di kalangan masyarakat Tionghoa di Bandung. Penerbitan
ulang roman ini dimaksudkan bukan untuk mengorek kembali “luka lama”, namun semangatnya
lebih ingin menghadirkan satu gambaran utuh tentang kehidupan warga Kota
Bandung di masanya, lengkap dengan lanskap kota yang didadarkan sebagai latar
cerita.
Dalam satu acara bedah buku dan bincang-bincang terkait dengan
roman ini, kami telah bertemu dengan beberapa anggota keluarga para tokoh yang
ada dalam roman. Pada dasarnya mereka menyambut baik penerbitan ulang kisah
para leluhurnya, karena bagi mereka hal ini dianggap sebagai satu sisi sejarah
kota yang pernah hidup.
Selain itu, kami pun pernah mengangkat roman ini sebagai tema
dalam satu kesempatan NgAleut. Rutenya kami ambil dari tempat-tempat yang
diceritakan dalam roman, dan kegiatannya dilakukan malam hari bertepatan dengan
malam Imlek 2567. Sekarang roman ini sedang dalam proses di tangan penerbit
Pustaka Jaya.
Kedua, “Bandung Baheula” karangan R. Moech. Affandi
Naskah ini mula-mula terbit di tahun 1969, dan seperti yang
disebutkan di pengantar oleh penulisnya, kehadiran buku ini ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan bahan bacaan orang Sunda yang masih sedikit. “Didasarkeun kana kabutuh masarakat tatar
Sunda nu numutkeun kanjataan masih kirang kénéh ku buku2 dina basa Sunda anu
mangrupi aosan…”
“Bandung Baheula” terdiri dari tiga jilid yang isinya bercerita
tentang kondisi dan suasana Bandung tempo dulu, namun berbeda dengan buku-buku
“sejarah” Bandung lainnya--meski benar-benar pernah terjadi, tapi cara
penyajian cerita di buku ini mayoritas cenderung lebih mirip dengan kisah
fiksi; nama tempat dan tokoh diganti dan disamarkan. Hal ini ditempuh oleh
penulis dengan pertimbangan agar sesuai dengan etika dan estetika kepribadian
orang Sunda.
“Nanging,
sanadjan sugri nu ditjarioskeun dina ieu buku kapungkurna leres2 ogé kadjadian,
kanggo marganing kautamian, boh tina perkawis wasta tempat, boh tina perkawis
wasta djalma miwah kalungguhanana nu kaungel dina masing2 tjarios; di antawisna
aja ogé anu ngahadja digentos dibentenkeun tina aslina.
Nja kitu
deui djalanna tjarios ogé diolah sinareng diréka deui, disusurup malar pajus,
dikekewes malar pantes, dilujukeun kana djiwa kapribadian sélér Sunda nu resep
kana gumbira (humor).”
Hal ini tidak lepas dari profesi penulis yang seorang dalang,
sehingga memudahkannya untuk—tidak hanya merubah nama tempat dan tokoh, namun
juga mereka ulang sebagian kisah yang dianggap kurang pantas menjadi susunan
yang lebih sesuai dengan norma kepribadian orang Sunda. Naskah ini telah
selesai kami ketik ulang, dan sekarang tengah masuk ditahap penyuntingan.
Ketiga, “Keur Kuring di
Bandung” dan “Saumur Jagong” karya Sjarif Amin.
Dua karya mantan jurnalis senior ini juga bercerita tentang
Bandung zaman baheula. Sjarif Amin atau nama aslinya adalah Moehammad Koerdi
adalah salah seorang perintis pers di Indonesia. Beliau pernah menjabat sebagai
wartawan surata kabar berbahasa Sunda “Sipatahoenan”, redaktur mingguan
“Bidjaksana”, dan di zaman Jepang ikut dalam jajaran redaktur koran “Tjahaya”.
Pasca kemerdekaan ia menerbitkan surat kabar “Soeara Merdeka” dan “Indonesia”. Sebagai
seorang wartawan, Sjarif Amin tentu sudah sangat terbiasa dengan data dan fakta
di lapangan, sehingga buku-bukunya yang terkait dnegan “sejarah” Bandung dirasa
lebih otentik.
Saat ini kedua buku tersebut sudah sangat langka, sehingga kami
berinisitif untuk menerbitkan ulang. Sampai hari ini pengerjaan kedua buku
tersebut masih pada tahap pengetikan ulang.
Di luar kegiatan menerbitkan ulang teks-teks lama, kami pun
mencoba menerjemahkan beberapa buku berbahasa Inggris dan Belanda yang tentu
saja ada kaitannya dengan sejarah Bandung. Buku pertama berjudul “History of
Our Family”. Buku ini berkisah tentang perjalanan keluarga Kerkhoven, salah
satu keluarga Preangerplanters yang kiprahnya cukup sukses di lingkungan
perkebunan wilayah Priangan. Buku kedua berjudul “Bandung and Beyond” yang
isinya bercerita tentang perjalanan sebuah keluarga dalam berkeliling atau ngaleut di dalam dan sekitar Kota
bandung. Sedangkan buku berbahasa Belanda yang juga tengah kami terjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia yaitu “Bandung 1918”. Buku ini mendadarkan pembangunan
awal Kota Bandung dalam rangka menyambut rencana pemindahan ibukota Hindia
Belanda dari Batavia ke Bandung.
Jika dua kerja literasi di atas (pengetikan ulang dan
penerjemahan) terkait erat dengan naskah-naskah milik “orang lain” atau para
penulis di luar Komunitas Aleut, maka selain buku “Pernik KAA 2015” kami pun
sesungguhnya masih punya beberapa buku yang kami produksi sendiri, yaitu
“Memento; Sehimpunan Kisah Masa Kecil” dan “Ensiklopedi Sejarah Bandung”.
“Memento” sesuai dengan subjudul yang mengikutinya adalah kumpulan
kisah masa kecil dari para pegiat Komunitas Aleut, dalam rangka menyambut ulang
tahun sewindu dan satu dasawarsa Komunitas Aleut. Ya, buku ini memang terbit
dua kali; tahun 2014 dan 2016. Apa yang tersaji sekarang merupakan gabungan
dari buku yang pertama yang ditulis oleh para pegiat lama, dan tulisan baru karya
para pegiat yang hadir belakangan.
Zen RS—mantan kolumnis Jawa Pos, dalam sebuah esainya tentang
persahabatan, menulis sebuah kontemplasi Milan Kundera dari novel yang berjudul
“Identity”. Terkait penulisan kisah masa kecil ini, kiranya apa yang diutarakan
Milan Kundera melalui tulisan Zen RS layak menjadi salah satu bahan perenungan:
“Teman masa kecil, kata Kundera, adalah cermin bagi kita, cermin
yang memantulkan masa silam kita. Teman masa kecil dibutuhkan untuk menjaga
keutuhan masa silam, untuk memastikan bahwa kita tidak menyusut, tidak
mengerut, bahwa diri tetap bertahan pada bentuknya. Untuk itu, ingatan mesti
disiram seperti bunga dalam pot. Karenanya kita memerlukan kontak dengan teman
dan sabahat masa kecil, sebab merekalah saksi mata dari masa silam.”
Sementara Mircea Eliade—seorang antropolog, dalam buku “Ordeal by
Labirinth” menulis, “Setiap tanah air terdiri dari bentangan geografis yang
sakral. Bagi siapa pun yang meninggalkannya, kota masa kecil dan remaja akan
selalu menjadi negeri dongeng.”
Dalam beberapa pertimbangan, kiranya buku “Memento” ini sengaja
ditulis dan dihadirkan terkait dengan dua hal tersebut di atas, selain juga
faktor penting lainnya---terutama dalam semangat dan koridor berkomunitas,
yaitu cara untuk para pegiat Komunitas Aleut belajar bercerita secara tertulis.
Dan terakhir kerja literasi terberat yang tengah kami jalani
adalah menyusun “Ensiklopedi Sejarah Bandung”. Sepenuh sadar kami akui bahwa
ini adalah proyek nekad. Kami hanya berbekal buku sebagai sumber tertulis dan
semangat berkarya yang terus menyala di kalangan para pegiat Komunitas Aleut.
Kami yang semuanya tidak memiliki latar pendidikan sejarah, waktu yang terbatas,
bekerja dengan sistem relawan, “tergoda” untuk membuat sebuah karya yang cukup
besar. Karya yang seseungguhnya amat erat kaitannya dengan apa yang kami
kerjakan secara rutin selama kurang lebih sepuluh tahun terakhir ini.
Proyek besar ini telah berjalan kira-kira satu bulan, dan meskipun
kami susun timeline kerja, namun
entah kapan kiranya karya ini akan lahir secara atau mendekati utuh. Satu
kepastian bahwa kami tetap mengerjakannya.
Di penghujung jejalin paragraph, kami hendak menekankan sekali
lagi bahwa apa yang sidang pembaca hadapi dan hadiri hari ini--baik hamparan teks
maupun rangkaian acara, adalah dua batu tapal kami untuk mempublikasikan secara
serentak apa-apa yang telah, tengah, dan akan kami kerjakan. Bagaimana cara
kami merespon kegiatan kota dan membibit kembali gerakan literasi di Kota
Bandung, kiranya menjadi salah satu penanda bahwa kami ada dan tetap mengada
bagi kota tercinta ini. Salam. [irf]
--Ditulis sebagai pengantar di acara soft launching buku "Pernik KAA 2015" di Braga Punya Cerita (Minggu, 24 April 2016)
No comments:
Post a Comment