22 June 2016

Kehilangan di Solontongan

Sekira jam 01.30 saya dengan seorang kawan masih ngobrol dan tengah menghabiskan batang terakhir. Pintu Kedai Preanger belum ditutup. Di luar tentu sudah sepi, hanya sesekali pemulung lewat mencari remah rezeki. Ketika kantuk akhirnya hinggap, kami naik ke lantai dua untuk menunaikannya. Waktu terlentang saya baru ingat bahwa lampu belum dimatikan, lantas mencari pistol mau meniru Mr. Bean dengan mematikan lampu dengan cara menembak bolanya, tapi pistol tak ada, maka terpaksa bangun dan membunuh cahaya lewat saklar.

AC dikecilkan, maksudnya jendela agak ditutup agar angin malam tak terlampau semena-mena menggerayangi tubuh, lalu jatuh tertidur. Dalam tidur, manusia tak punya kuasa senoktah pun. Paling keren hanya terhibur dengan bunga tidur yang kadang paduan antara harapan-harapan yang kandas dan Tuhan membuatnya seolah nyata. Maka begitulah, kami terlelap sampai pagi. Sampai adzan subuh terdengar di telinga, seolah kami ini menyisakan sisi reliji yang kadung remuk-redam.

Jam 8 pagi saya turun hendak membeli kopi jagung, namun ketika membuka pintu ternyata susah sekali. Saya coba berulang-ulang, dan tetap tak berhasil. Seseorang kemudian datang, saya membacanya dari derap kaki di luar. Pada percobaan kesekian pintu akhirnya berhasil dibuka. “Wah, ini juga sama digembok dari luar nih,” ujar orang itu sambil memperlihatkan gembok besar. Lalu terdengar pembicaraan riuh di hari sepagi itu. Rupanya tadi malam tetangga sebelah digasak maling. Beberapa unit komputer raib.

Saya bukan Detektif Conan, tapi mengira bahwa para bromocorah itu beraksi tak lama setelah kami tumbang dirampok kantuk. Pelakunya barangkali lebih dari dua orang, sekurangnya tiga. Tetangga kami yang jadi korban itu usahanya adalah biro perjalanan umroh, dan belum terlalu lama menggelar semacam syukuran atas dimulainya usaha tersebut: potong tumpeng yang dibaluri oleh banyak sekali potongan ayam dan kentang balado, saya dan beberapa kawan ikut makan. Sekadar menunaikan kewajiban manusia yang mesti menghormati tetangganya, dan tentu saja didorong rasa lapar.

Sebelum pencurian tersebut, setiap malam ruko tetangga itu tak pernah ditinggali, kecuali oleh makhluk non materi barangkali. Pengamanannya hanya berlapis dua; kunci dalam dan gembok besar di luar. Pengamanan yang ternyata dapat dengan mudah dijebol kawanan maling. Sebelum beraksi, mereka mencantelkan dulu gembok-gembok tak terkunci di setiap ruko yang berjajar di sekitar targetnya. Maka demikianlah, esoknya saya dan tetangga-tetangga yang lain terisolasi di tempatnya masing-masing. Tetangga paling pojok pertamakali keluar karena kawannya datang hendak menjemput untuk pergi entah kemana.

Dilihat dari pintu korban yang rapi, saya membayangkan mereka beraksi dengan membawa mobil dan diparkirkan tepat di depan ruko tersebut. Kemudian tugas dibagikan, seorang diam di balik kemudi sekaligus menjadi pengawas situasi, seorang lagi mencantelkan gembok agar tidak ada pertolongan dari tetangga yang lain sekaligus membantu sang eksekutor membobol dan mengangkut barang curian. Durasi aksi kiranya tak terlalu lama, paling lambat berjalan sekitar 30 menit. Lalu meninggalkan kecewa di hati si pemilik.

Esoknya waktu saya bertemu dengan si pemilik, di wajahnya tergurat kemuraman yang lumayan temaram. “Sudah dilaporkan ke polisi, pak?” Beliau hanya menggeleng, mungkin derajat kepercayaannya terhadap penegak hukum itu tidak terlalu kokoh. Dan hari terus berganti.

Beberapa bulan berselang, di suatu pagi yang tidak terlalu awal, saya hendak menyapu halaman kedai. Saya ambil sapu lidi dan mendapatinya telah berganti. Masih tetap sapu lidi, namun kondisinya memprihatinkan: posturnya pendek dan batang-batang lidinya kaku sehingga tak nyaman untuk diayunkan. Ini jelas ada yang menukarnya, namun entah siapa. Saya tak berani menduga-duga.

Jauh sebelum kasus pencurian dan sapu lidi yang ditukar itu, kaca yang menempel di roda nasi goreng pecah berhamburan. Dari keterangan seorang kawan yang masih terjaga: pada satu malam yang mulai larut, waktu dia terduduk di lantai satu dan pintu kedai sudah tertutup rapat, terdengar suara motor mendekat dengan latar suara tawa bocah-bocah ingusan. Deru motor semakin mendekat dan “praang!!” Kaca rerak berhamburan, sementara si pelaku langsung kabur.

“Kemarin juga di ujung jalan ini ada beberapa kaca yang hancur, salah satunya milik tukang batagor,” kata penjual rokok yang esoknya baru mendengar kabar. Kalau kawan melihat ada spanduk merah menempel di roda nasi goreng kedai, itu adalah saksi penghancuran.

Pada kasus pencurian, sapu lidi yang tertukar, dan penghancuran kaca, meski fragmentaris dan tidak mewakili Jalan Solontongan secara utuh, namun dalam benak saya berdasarkan pengalaman-pengalaman itu, tergambar satu watak dari ruang atau tepatnya ruas jalan, bahwa Jalan Solontongan—seperti juga jalan-jalan yang lain, mempunyai sisi rentan yang sama. Ia dapat dengan mudah memiliki kehilangan. [irf]

No comments: