Sekira jam 01.30 saya dengan seorang kawan masih ngobrol dan
tengah menghabiskan batang terakhir. Pintu Kedai Preanger belum ditutup. Di luar
tentu sudah sepi, hanya sesekali pemulung lewat mencari remah rezeki. Ketika kantuk
akhirnya hinggap, kami naik ke lantai dua untuk menunaikannya. Waktu terlentang
saya baru ingat bahwa lampu belum dimatikan, lantas mencari pistol mau meniru Mr.
Bean dengan mematikan lampu dengan cara menembak bolanya, tapi pistol tak ada,
maka terpaksa bangun dan membunuh cahaya lewat saklar.
AC dikecilkan, maksudnya jendela agak ditutup agar angin
malam tak terlampau semena-mena menggerayangi tubuh, lalu jatuh tertidur. Dalam
tidur, manusia tak punya kuasa senoktah pun. Paling keren hanya terhibur dengan
bunga tidur yang kadang paduan antara harapan-harapan yang kandas dan Tuhan
membuatnya seolah nyata. Maka begitulah, kami terlelap sampai pagi. Sampai adzan
subuh terdengar di telinga, seolah kami ini menyisakan sisi reliji yang kadung
remuk-redam.
Jam 8 pagi saya turun hendak membeli kopi jagung, namun
ketika membuka pintu ternyata susah sekali. Saya coba berulang-ulang, dan tetap
tak berhasil. Seseorang kemudian datang, saya membacanya dari derap kaki di
luar. Pada percobaan kesekian pintu akhirnya berhasil dibuka. “Wah, ini juga
sama digembok dari luar nih,” ujar orang itu sambil memperlihatkan gembok
besar. Lalu terdengar pembicaraan riuh di hari sepagi itu. Rupanya tadi malam
tetangga sebelah digasak maling. Beberapa unit komputer raib.
Saya bukan Detektif Conan, tapi mengira bahwa para
bromocorah itu beraksi tak lama setelah kami tumbang dirampok kantuk. Pelakunya
barangkali lebih dari dua orang, sekurangnya tiga. Tetangga kami yang jadi
korban itu usahanya adalah biro perjalanan umroh, dan belum terlalu lama
menggelar semacam syukuran atas dimulainya usaha tersebut: potong tumpeng yang
dibaluri oleh banyak sekali potongan ayam dan kentang balado, saya dan beberapa
kawan ikut makan. Sekadar menunaikan kewajiban manusia yang mesti menghormati
tetangganya, dan tentu saja didorong rasa lapar.
Sebelum pencurian tersebut, setiap malam ruko tetangga itu
tak pernah ditinggali, kecuali oleh makhluk non materi barangkali. Pengamanannya
hanya berlapis dua; kunci dalam dan gembok besar di luar. Pengamanan yang ternyata
dapat dengan mudah dijebol kawanan maling. Sebelum beraksi, mereka mencantelkan
dulu gembok-gembok tak terkunci di setiap ruko yang berjajar di sekitar
targetnya. Maka demikianlah, esoknya saya dan tetangga-tetangga yang lain
terisolasi di tempatnya masing-masing. Tetangga paling pojok pertamakali keluar
karena kawannya datang hendak menjemput untuk pergi entah kemana.
Dilihat dari pintu korban yang rapi, saya membayangkan mereka
beraksi dengan membawa mobil dan diparkirkan tepat di depan ruko tersebut. Kemudian
tugas dibagikan, seorang diam di balik kemudi sekaligus menjadi pengawas
situasi, seorang lagi mencantelkan gembok agar tidak ada pertolongan dari
tetangga yang lain sekaligus membantu sang eksekutor membobol dan mengangkut
barang curian. Durasi aksi kiranya tak terlalu lama, paling lambat berjalan
sekitar 30 menit. Lalu meninggalkan kecewa di hati si pemilik.
Esoknya waktu saya bertemu dengan si pemilik, di wajahnya
tergurat kemuraman yang lumayan temaram. “Sudah dilaporkan ke polisi, pak?”
Beliau hanya menggeleng, mungkin derajat kepercayaannya terhadap penegak hukum
itu tidak terlalu kokoh. Dan hari terus berganti.
Beberapa bulan berselang, di suatu pagi yang tidak terlalu
awal, saya hendak menyapu halaman kedai. Saya ambil sapu lidi dan mendapatinya
telah berganti. Masih tetap sapu lidi, namun kondisinya memprihatinkan: posturnya
pendek dan batang-batang lidinya kaku sehingga tak nyaman untuk diayunkan. Ini jelas
ada yang menukarnya, namun entah siapa. Saya tak berani menduga-duga.
Jauh sebelum kasus pencurian dan sapu lidi yang ditukar itu,
kaca yang menempel di roda nasi goreng pecah berhamburan. Dari keterangan
seorang kawan yang masih terjaga: pada satu malam yang mulai larut, waktu dia
terduduk di lantai satu dan pintu kedai sudah tertutup rapat, terdengar suara
motor mendekat dengan latar suara tawa bocah-bocah ingusan. Deru motor semakin
mendekat dan “praang!!” Kaca rerak berhamburan, sementara si pelaku langsung
kabur.
“Kemarin juga di ujung jalan ini ada beberapa kaca yang
hancur, salah satunya milik tukang batagor,” kata penjual rokok yang esoknya
baru mendengar kabar. Kalau kawan melihat ada spanduk merah menempel di roda
nasi goreng kedai, itu adalah saksi penghancuran.
Pada kasus pencurian, sapu lidi yang tertukar, dan
penghancuran kaca, meski fragmentaris dan tidak mewakili Jalan Solontongan
secara utuh, namun dalam benak saya berdasarkan pengalaman-pengalaman itu,
tergambar satu watak dari ruang atau tepatnya ruas jalan, bahwa Jalan
Solontongan—seperti juga jalan-jalan yang lain, mempunyai sisi rentan yang
sama. Ia dapat dengan mudah memiliki kehilangan. [irf]
No comments:
Post a Comment