Beberapa saat sebelum meninggal, Lena berpesan kepada Amiru,
anaknya, agar ia dimakamkan dekat Sabari dan di pusaranya minta dituliskan
“Purnama kedua belas”. Sabari telah meninggal duluan, dan sepanjang hidupnya ia
tak percaya cinta. Cinta baginya adalah kata asing: racun penuh tipu muslihat,
serupa burung merpati dalam topi pesulap, tempat yang jauh, sangat jauh, dan
urusan konyol orang dewasa. Hal itu kemudian goyah dan berbalik pada sebuah
ujian masuk SMA; di detik-detik akhir waktu ujian, seorang anak perempuan
merebut lembar jawabannya dan setelahnya memberikan sebatang pensil sebagai
ucapan terimakasih. Anak perempuan itu bernama Marlena atau Lena, sedetik
setelah itu Sabari kemudian percaya kepada cinta yang ia dekap sampai mati.
Sabari yang malang. Lena tak sedetik pun menaruh hati
padanya. Ia malah menyebutnya sebagai lelaki bertelinga wajan dan bergigi
tupai, tapi Sabari bergeming. Setelah keduanya lulus dari SMA, Lena hidup
dengan berganti-ganti pasangan. Sekali waktu rahimnya tak bisa menolak, ia
mengandung, dan lahirlah Amiru. Ketika perutnya berisi dan semakin membesar,
tak seorang lelaki pun yang mau bertanggungjawab. Di tengah kondisi seperti itu
Sabari menawarkan diri, mereka lalu menikah dan tanpa sekali pun berhubungan
badan. Amiru kecil diurus oleh Sabari sepenuh kasih, sementara ibunya
menghilang entah kemana.
Orang-orang tak mengerti jalan pikiran Sabari, mereka telah
menganggapnya gila. Seorang kawannya bilang, “Ri, sikapmu itu merupakan
kombinasi antara gizi buruk dan terlalu banyak membaca novel, berbahaya, bisa
berlarut-larut. Untuk menyelesaikannya harus ditempuh satu cara yang ekstrem,
yaitu berkenalan dengan perempuan lain.”
Sabari hanya tersenyum dan tak menanggapinya. Ia hanya ingat
pesan ayahnya bahwa “Tuhan selalu menghitung, dan suatu ketika, Tuhan akan
berhenti menghitung.” Petuah ini kemudian sampai juga kepada Amiru, anak Lena
dari lelaki entah itu. “Malaikat-malaikat turun untuk melihat niat yang baik,”
begitu Amiru mengingat pesan ayahnya.
Berulang-ulang Sabari dikecewakan, disakiti, dan puncaknya
ketika Amiru--yang ia rawat dengan curahan kasih sudah agak besar, Lena
merebutnya dengan cara paksa. Ketika kemudian Amiru sudah masuk usia remaja dan
ia bisa bertemu lagi dengan Sabari, anak Lena itu sering bertanya kepadanya
ihwal mengapa ia tak mencari lagi istri selain ibunya. “Dalam hidup ini
semuanya terjadi tiga kali. Pertama aku mencintai ibumu, kedua aku mencintai
ibumu, ketiga aku mencintai ibumu,” begitu jawab Sabari.
Sikap Sabari yang luar biasa itu akhirnya membuat Lena
luluh, namun justru ketika ajal sudah hampir sampai di tenggorokan dan Sabari
sudah tiada. “Purnama kedua belas” adalah panggilan sayang Sabari kepada Lena
sebagai metafor atas sorot mata istrinya itu.
Sementara Ikal jatuh cinta kepada Aling melalui kuku jari
yang indah. Ia melihatnya ketika disuruh membeli kapur di warung seorang
Tionghoa. Mereka kemudian saling berkirim surat, bertemu di acara sembahyang
rebut, naik komedi putar, dan berpisah karena berbeda keyakinan dan salah
paham. Ketika mereka telah dewasa, Ikal berhasil meyakinkan ayahnya ihwal
perbedaan keyakinan dan menjernihkan salah paham lewat verifikasi pengalaman
yang mendebarkan. Di tengah lapang waktu mereka bertemu kembali, hujan turun.
Ikal menengadah dan berkata kepada langit: “Inilah aku! Putra bapakku! Berikan
padaku sesuatu yang besar untuk kutaklukkan! Beri aku mimpi-mimpi yang tak
mungkin, karena aku belum menyerah! Tak kan pernah menyerah! Tak kan pernah!”
Arai, saudaranya Ikal, berjuang mendapatkan Zakiah Nurmala
dengan ikhtiar yang tidak kalah berani. Ia dicampakkan sedari awal. Namun
berkali disiakan, berkali juga Arai memutar otak untuk usaha yang lain.
Puncaknya ia mendatangi rumah Zakiah Nurmala, malam-malam, membawa gitar, dan
menyanyikan lagu “Fatwa Pujangga” di bawah jendela kamar perempuan itu.
Kesudahan kisah mereka tidak terlampu menantang imajinasi, mereka saling lebur.
Saya bukan Ikal, Arai, apalagi Sabari. Bukan, saya bukan
tokoh-tokoh komikal yang dicintai pembaca itu. Saya hanya berdiri di depan
piagam penghargaan, membawa selembar foto, dijadikan pembatas sesuatu, dan mengembalikannya
lagi untuk sebuah alasan. Waktu menyimpan lagi foto itu ke tempat semula—persis
seperti Sabari kehilangan Amiru karena direbut Lena: saya merasa semua orang telah pergi naik
kapal Nabi Nuh, saya ditinggal sendiri, tak diajak. Yang tertinggal hanya dua,
saya dan sepi.
Absurd? Memang. Tapi konon kata orang, cinta itu memahami
bukan menjelaskan.
Saya teringat Amir Hamzah, dia sempat menulis
“Bertukar Tangkap dalam Lepas”. Ini malah sudah lepas sebelum tertangkap. Juga
teringat Chairil Anwar yang pernah menulis “Tak Sepadan”. Entah kenapa saat itu
saya teringat puisi-puisi mereka, apakah karena puisi adalah salah satu temuan
manusia yang paling indah? Maka dengan sedikit kurang ajar saya menulis juga:
Aku kira
begini nanti jadinya
kau berbahagia di
kebon teh
atau mungkin pergi ke
Belanda
sedang aku bikin
pathdaily aja gagal
dan ditertawakan
orang-orang
Saya tertawa kekuda-kudaan, alasannya selain karena hidup
ini senda gurau belaka, juga pernah dinasehati Pramoedya Ananta Toer. “Kau
lelaki dan bukan seorang kriminal. Jangan lari, hadapi dan selesaikan persoalanmu dengan baik!” begitu katanya. Sementara dalam kisah Sabari tadi, ia
kerap mendengarkan hujan yang menghantam atap seng. Lambat laun bunyi itu
membentuk irama, dan sabari menikmatinya. Ayahnya menyebut laku Sabari itu
sebagai seni menyenangi hal-hal yang biasa saja. Masih kata ayahnya, pada titik
tertentu, seni ini dapat membuat orang menertawakan kesusahan.
Dalam satu jenak waktu, beberapa hal harus diistirahatkan. Dan meski tak mudah, bara pun terpaksa mesti dipadamkan. Bukan karena bergradasi dan akhirnya pudar, tapi saya kira menjadi orang harus sportif. Harus menghormati keputusan yang telah diambil. Persis seperti Inggit melepas Sukarno dengan kata-kata perpisahan, "Selamat jalan. Semoga selamat sampai tujuan." Doa dilayarkan bersama bahtera yang telah jelas arahnya. Soal akan mengabadi atau tidak, biar waktu yang mengujinya.
Lalu tiba-tiba, jelang subuh ini, saya mendapati diri tengah
duduk di jendela sambil menghabiskan batang terakhir. Di luar hanya atap dan
gelap. Saya membayangkan tengah memegang botol dan sebuah pesan di dalamnya,
serta gelap itu adalah laut. Saya hendak melarung cerita. Akan sampai ke siapa
botol itu, waktu kelak yang akan menjawab. Ketika saya mulai ngantuk dan hampir
saja tikusruk, lagi-lagi saya teringat Sabari. Ia pernah berkata bahwa “hidup
ini memang dipenuhi orang-orang yang kita inginkan, tetapi tak menginginkan
kita, dan sebaliknya.” Wilujeng. [irf]
Postscript :
Semua cuplikan kisah dan beberapa kutipan di
atas diambil dari beberapa buku karya Andrea Hirata.
No comments:
Post a Comment