29 March 2016

Iwang



Hari masih pagi dan jalan Solontongan belum terlalu ramai. Iwang tengah duduk di depan tempat bimbingan belajar sambil menikmati segelas kopi sachet. “Ngopi dulu,” katanya sambil mengangkat gelas. Saya hanya mengangkat jempol sambil berlalu menuju kios penjual rokok.

Sehari-hari Iwang tinggal di tempat bimbingan belajar, dia bekerja di sana. Bukan sebagai pengajar, tapi tukang bersih-bersih, sesekali disuruh membeli ini-itu, dan sekaligus menjadi tenaga keamanan. Rumah peninggalan orangtuanya berada di Margacinta, kini dikontrakkan kepada orang lain seharga empat juta rupiah per tahun.     

Ia dua bersaudara. Adiknya sudah menikah dan punya dua anak, kerja di dealer mobil di bilangan Soekarno-Hatta, dan tinggal di daerah Kiaracondong. Sesekali adiknya datang menengok, sekadar memberinya uang jajan. “Ya, namanya juga dengan saudara, meskipun jarang ketemu tapi masih ingatlah,” ujarnya.

Di sebelah utara tempat Iwang tinggal, terhalang satu ruko, ada Kedai Preanger; kedai yang menjual sajian kopi dan teh sebagai menu utamanya. Lantai bawah adalah tempat konsumen duduk menikmati sajian dan membaca buku, sementara lantai dua dipakai untuk menyimpan beberapa buku yang tidak tertampung di bawah, juga sebagai tempat tidur. Di kedai inilah saya tinggal.

Selain menjual beberapa sajian minuman dan camilan, Kedai Preanger adalah juga sekretariat atau basecamp Komunitas Aleut; sebuah komunitas peminat sejarah, khususnya sejarah Kota Bandung, dan saya salah satu anggotanya.

Karena bertetangga, kami setiap hari bertemu. Iwang tak terlalu pandai main catur, namun tak pernah gentar menerima setiap tantangan siapa saja yang hendak mengasah otak. Seingat saya, skor kami 8-2. Namun pertandingan yang tak diingat lebih banyak lagi, dan saya selalu dominan. “Anjir, teuas euy (Anjing, keras euy),” begitu ungkapnya pada satu malam waktu raja dia saya skakmat. “Keras” di sini artinya--bagi dia, saya sulit dikalahkan.

Kalau baru terima gaji, sehari dia bisa minum 4 sampai 5 gelas kopi plus krimer yang ia beli di kios tak jauh dari tempat kerjanya. Minum kopi dan merokok, dan saya sangat jarang melihatnya membeli makan di siang hari.

Pagi ketika saya melihatnya sedang minum kopi di awal hari, barangkali itu adalah gelas yang pertama.  

***

Sudah hampir tiga tahun Iwang bekerja di tempat bimbingan belajar sebagai office boy merangkap satpam. Sebelumnya ia lama menganggur. Pendidikan terakhirnya SMA. Lulus 23 tahun yang lalu. Sempat juga bekerja di perusahaan listrik sebagai semacam tenaga pemasaran. Tugasnya mendatangi rumah-rumah yang belum dialiri listrik agar bisa mendaftar dengan cepat dan pencahayaan rumahnya ditangani perusahaan listrik. Pekerjaan itu dijalaninya selama dua tahun. Ia dikeluarkan karena terbukti menilep uang setoran. “Karena senior-senior saya banyak yang jadi tikus, saya juga lama-lama ikut-ikutan menjadi tikus,” ujarnya.

Sebelum ketahuan kantor, setiap hari minimal ia bisa mendapatkan uang sebesar 300 ribu rupiah yang berasal dari mark-up harga kepada calon pelanggan perusahaan listrik. Dompetnya tebal, berisi uang ratusan ribu. Waktu ibunya membutuhkan dana untuk belanja, sementara Iwang baru terbangun dari tidur siang, ia mempersilahkan ibunya mengambil sendiri uang yang dibutuhkan dari dompetnya. Ibunya kaget melihat uang sebanyak itu. “Duit dari mana ini? Sebanyak ini?!” begitu ia menirukan ucapan ibunya. Ia hanya menjawabnya bahwa itu adalah gaji dari tempatnya bekerja.

Setelah masa itu lewat, Iwang kemudian menganggur lama. Sangat lama. Sekali waktu dalam kondisi menganggur akut, saat ia rajin main ke tempat pamannya di daerah Buah Batu, seseorang bertanya, “Kamu ga kerja?” Kemudian ia ditawari untuk kerja di tempat bimbingan belajar yang ia jalani sampai sekarang.

Iwang lahir 42 tahun yang lalu, dan sampai sekarang belum berumah tangga. Seringkali di penghujung senja kami ngobrol. Membicarakan banyak hal, salah satunya tentang keluarga. Pandangannya kerap menerawang ketika bercerita tentang ibu bapaknya. Keduanya telah meninggal. Adiknya telah menikah dan punya anak. Sementara ia masih merindu kekasih dan keluarga. Pacarnya tinggal di Ciamis, dan sudah sangat jarang bertemu. Terakhir bertatap muka dua tahun lalu waktu pacarnya masih kerja di Bandung. Jarak begitu berkhianat.

Kalau laptop kawan-kawan Komunitas Aleut ada yang nganggur, Iwang kerap meminjamnya untuk sekadar membuka facebook dan membuat banyak puisi untuk kekasihnya. Komunikasi terjadi di dunia maya. “Kapan kita ngaleut ke Ciamis?” tanyanya sekali waktu. “Sekalian ngantar saya...”, lanjutnya. Sampai sekarang pertanyaannya belum terjawab, dan ia masih menunggu sampai waktu entah.

Setiap Sabtu tempat bimbingan belajar hanya buka setengah hari. Sementara di Kedai Preanger kawan-kawan Komunitas Aleut rutin mengadakan resensi buku secara lisan, dan saya yang paling sering menjadi semacam moderatornya. Iwang beberapakali ikut dalam riungan, menyimak apa yang dibicarakan kawan-kawan. Ia juga pernah sekali meresensi buku “Rasiah nu Goreng Patut”, sebuah novel berbahasa Sunda yang dulu pernah dibuat sinetron. Buku itu menceritakan Karnadi, seorang pemuda miskin dan buruk rupa namun punya kecerdasan yang nakal. Dengan kelihaiannya ia berhasil mendapatkan Eulis Awang, seorang gadis cantik dan anak orang kaya.

Dengan agak terbata Iwang memungkas resensinya dengan sebuah kesimpulan, “Jadi tak perlulah ganteng dan kaya untuk mendapatkan perempuan semacam Eulis Awang itu, yang penting pakai akal,” ungkapnya yang langsung disambut tawa dan tepuk tangan kawan-kawan yang lain.

Hari Minggu libur, dan ia ikut ngaleut. Tugasnya membawa spanduk komunitas untuk disertakan dalam foto bersama di penghujung ngaleut. “Ya, kan hari Minggu mah bimbel tutup, saya ga ada kegiatan, jadi ikut ngaleut aja. Lumayan selain jalan-jalan olah raga, juga dapet pengetahuan dan teman-teman baru,” tuturnya.

Setiap Minggu siang, tepatnya setelah ngaleut selesai, sekira mulai dari pukul dua siang sampai malam, Iwang selalu nongkrong di Kedai Preanger; ngobrol, ngopi, merokok, dan main catur. Kalau pegawai kedai tengah libur, ia rajin membantu kawan-kawan Komunitas Aleut, baik melayani konsumen atau pun sekadar mencuci piring dan gelas kotor. “Sebetulnya saya pengen belajar juga membuat hidangan, seperti membuat kopi dan minuman lain, agar bisa bantu-bantulah. Ya, namanya juga dengan teman, apalagi kita bertetangga. Ga usah dikasih apa-apa, saya mah ikhlas,” ungkapnya dengan nada tulus.

***

Setelah menyelesaikan sekolah di SMA Negeri 1 Buah Batu (sekarang menjadi SMA Negeri 25 Bandung), Iwang aktif berkegiatan di Karang Taruna tingkat RW. “Waktu awal ikut, ada pelatihan dulu di Tanjungsari, Sumedang. Rombongan peserta menggunakan bis sewaan, sementara panitia mah pakai mobil yang lebih kecil. Materinya semacam dididik untuk jadi pemimpin,” ujarnya bercerita. Di Karang Taruna Iwang kerap berposisi di bagian logistik dan humas. Delapan tahun ia aktif berkegiatan dan menghidupkan lingkungan RW-nya.

Cerita Iwang tentang masa aktifnya di organisasi terbukti ketika ia mulai ikut Komunitas Aleut; tak terlihat canggung dalam bergaul dengan orang-orang baru, dan sadar akan tugas dan tanggungjawabnya. Begitu pula di tempat kerja, Iwang amat paham dengan kewajibannya. Meski jarak antara tempat dia kerja dengan Kerja Preanger hanya lima meter, dan misalnya dia tengah santai, namun Iwang selalu menolak jika ada yang mengajaknya bermain catur. “Hampura euy moal waka, keur gawé (Maaf, ga akan main catur dulu, lagi kerja),” ujarnya.

Sekali waktu, saya dan seorang kawan (Kobo) punya ide untuk mengadakan semacam malam puisi di Kedai Preanger. Tapi niat itu kemudian dirintangi oleh kenyataan bahwa mayoritas kawan-kawan Komunitas Aleut sepertinya kurang begitu berminat pada puisi. Saya lalu teringat Iwang dan puisi-puisinya yang sering ia unggah di facebook. “Kita ‘angkat’ mang Iwang aja, Bo, gimana?” Dia tidak menjawab, malah melonjak girang.

Saya membayangkan bagaimana Iwang, seseorang yang berjarak dengan kekasih dan keluarganya, membacakan isi hatinya lewat puisi-puisi. Atau beberapa penyesalan yang tidak pernah diungkapkan, tentang usia remaja atau mungkin dosa-dosa. Saya tak tahu pedalaman hatinya. Namun barangkali dengan begitu, ia bisa sedikit mengungkapkan kerinduannya yang selama ini diperam. 

Ketika hujan turun begitu deras, saya melihat Iwang tengah melamun di depan tempat kerjanya, dengan sebatang rokok dan segelas kopi tentu saja. Hari masih pagi dan jalan Solontongan belum terlalu ramai. [ ]  

1 comment:

Amincun said...

Pahit, manis dan nikmat. Layaknya kopi.
Hanjakal sachet. Hahaha

Bravo iwang!!