Saya menyukai aroma tanah sehabis hujan, saat bola-bola air masih
menggantung di kabel telepon dan pucuk daun. Itu saat yang tepat bagi
dua ekor burung untuk terbang menyobek pemandangan awan. Beberapa waktu
sebelumnya, angin berhembus kencang, lalu air berebut mencium bumi,
melepaskan rindunya. Hari-hari belakangan ini, kerinduan air tumpah juga
di Jakarta. Langit kelabu hampir sepanjang waktu. Jalanan becek, dan
orang-orang mulai pandai mengumpat.
Arsiran hujan samar-samar terlihat dari jendela kantor yang dikuasai
hawa gigil dari pendingin ruangan. Suara klakson dan derum mobil
terdengar bersahutan dari jalan raya yang ditawan kemacetan. “Tanabang,
Tanabang, Tanabang!,” kondektur bus kota berteriak lantang merayu calon
penumpang. Pejalan kaki yang tanpa payung bergerak tergesa. Para
pencopet mungkin tengah bersiap melancarkan aksinya. Berlima, berenam,
atau bahkan bertujuh; mereka siap memangsa penumpang bus yang kurang
waspada.
Adzan ashar hampir dua jam telah lewat, dan hujan membawa kelam yang
datang lebih cepat. Komputer sudah dimatikan, tapi kerja belum selesai,
dia menagih jatah lagi esok hari. “Pulang Bung, sudah sore,” kawan
sebelah hanya mengangkat jempol, pandangannya masih tertuju pada rumus
excel. Ada pula suara Benyamin dan Ida Royani dari speaker meja
yang lain. Yang punya meja masih sibuk menghitung biaya kuli bongkar
muat yang laporannya baru sampai dari kantor cabang. Lamat-lamat memang,
tapi saya hafal betul liriknya.
Waktu sampai di lobi, rintik hujan masih turun. Saya menerobosnya
sampai masuk ke mikrolet yang hendak berangkat ke Kota. “Mangga Dua,
Mangga Dua!. Ayo bu, geser-geser bu!.” Tak sampai lima menit mikrolet
telah penuh, lalu meluncur.
Percakapan memenuhi ruang kecil angkutan umum itu. Seorang ibu
memulai, “ujan mulu ye mpok, cucian kemarin aje belom pada kering!,”
Yang diajak bicara menyahut, “iye, padahal mah udah dikasih Molto, tau
tuh, masih wangi apa kagak, soalnye cuma kena angin doang, ga ada
mataharinye.” Obrolan ibu-ibu terus berlanjut. Yang duduk di pojok,
berhadap-hadapan, dua orang anak baru pulang dari sekolah sore,
membicarakan acara live musik pagi. Mereka khawatir hujan turun
pas hari H, lalu mengutuknya. Persis di sebelah saya, seorang perempuan
muda, berbicara dengan seseorang, lewat ponsel, lawan bicaranya entah di
mana. “Halo, masih di Pulo Mas, hujan sayaaang, macetnya jadi parah.”
Saya hanya diam, tak ada orang yang hendak diajak dan mengajak
bicara. Seolah-olah saya pendengar setia ragam percapakan mereka. Duduk
di belakang sopir menghadirkan pemandangan pinggir jalan yang kurang
sempurna, sebab sebagian terhalangi orang yang duduk di dekat pintu,
yang menghadap ke belakang. Tapi masih bisa saya lihat sepanjang jalan
itu, rahmat hujan mendekap mesra tukang gorengan yang dikerubungi
pembeli yang kedinginan. Dingin menghujam, perut segera mengisyaratkan
rasa lapar. Gorengan menjadi sasaran. Uap air tampak mengepul dari
gerobak tukang mie ayam. Penjual sibuk melayani pembeli yang mulai
antri. Penjual sate Padang gesit menjaga bara api yang tengah bekerja
menghangatkan potongan daging yang agak keras.
Di tengah gerimis yang masih berkuasa, denyut ekonomi para pedagang
makanan itu menemui saatnya. Bagi mereka, hujan bukan untuk dirayakan
dengan keluhan, sebab justru ketika pasukan air menyerang, penghasilan
mereka cukup menggembirakan. Di titik ini hujan seolah ambigu; diratapi
atau disyukuri. Namun barangkali hujan tidak pernah bermuka dua, hanya
manusia saja yang menyikapinya berbeda. Di Jakarta, setiap orang seperti
selalu membutuhkan kanal untuk mengalirkan keluhan. Dan hujan, seperti
juga kemacetan, adalah objek yang tepat untuk dijadikan sasaran segala
hamburan kekesalan.
Sebagian penghuni kota ini seolah lupa pada salah satu tokoh kesenian
yang namanya diabadikan menjadi nama jalan. Memanjang dari Kemayoran
sampai tembus ke Ancol, ya Jalan Benyamin Sueb. Benyamin bersama Ida
Royani, pernah dengan riang menyanyikan lagu Hujan Gerimis yang
tadi sempat saya dengar di kantor sebelum pulang. Kata “hujan” meskipun
hanya sebagai pembuka pantun, namun dapat kita tangkap keriangan itu.
Dirayakan dengan gembira.
E ujan gerimis aje, ikan teri diasinin… e jangan menangis aje, yang pergi jangan dipikirin…
E ujan gerimis aje, ikan lele ada kumisnye… e jangan menangis aje, kalo boleh cari gantinye…
Lirik yang sederhana, namun bila mau meresapinya, ini sesungguhnya
sama dengan keseharian kita. Pada “yang pergi” adalah juga tentang
jemuran yang ditinggalkan rahmat cahaya matahari, tentang jadwal acara
musik yang ditinggalkan kepastian cuaca yang cerah, juga tentang jalanan
yang ditinggalkan lancar jaya sebab genangan air menghambat laju roda.
“Jangan dipikirin”, lanjutnya. Ikhlaskan, lepaskan semua kekacauan hati.
Sebab setelahnya, ketika hati telah bisa menerima, selalu ada
kesempatan lain yang terhampar menunggu; “kalo boleh cari gantinye.”
Pun demikian dengan hari-hari belakangan ini. Toh dalam
seminggu, hujan tidak turun selamanya, adakalanya dua atau tiga hari
dalam sepekan matahari bersinar cukup garang. Bersama air yang turun,
segala yang “meninggalkan” mestinya ikut luruh, lalu mengalir. Tak ada
yang benar-benar hilang dari kehidupan kita, pengganti akan selalu hadir
meski dalam wujudnya yang berbeda. Atau jika pengganti pun tidak
kunjung datang, ke-ikhlasan sudah lebih dari cukup untuk menambal
kehilangan yang sempat disesali.
Di jalan, waktu pulang kerja atau sekolah, ketika fisik dan pikiran
telah lelah sempurna, memang tak gampang mengelola emosi. Apalagi kalau
hujan. Tapi apakah energi yang mulai menipis itu harus pula digadaikan
demi mengalirkan kekesalan?. Ihwal menyikapi hujan, kita bisa belajar
dari siapa saja, selain dari lagu tadi, barangkali bisa juga memulainya
dari para pedagang makanan kaki lima, yang mencium hujan sebagai wangi
yang mengantarkan rejeki. [ ]
No comments:
Post a Comment