Sampai
penyelenggaraannya yang ke-12 di tahun 2010, JIFFest tetap menarik minak
banyak penonton. Sempat terhenti di tahun 2011 dan 2012 karena masalah
dana, JIFFest akhirnya berhasil diselenggarakan kembali di tahun 2013
dengan penambahan format yang lebih “merakyat”, yaitu dengan
diadakannya open air cinema alias misbar (gerimis bubar), alias layar tancap yang diadakan di silang Monas.
Dari 20 film yang diputar, empat film di antaranya, yakni; Metro Manila, Korean Surprise Movie, National Security, dan Rurouni Kenshin, terpilih sebagai film yang diputar di silang Monas. Masyarakat yang hadir tidak hanya orang-orang yang "melek" film dan para moviegoer, namun juga para penjual makanan dan minuman, penjual mainan anak,
dan para pedagang kaki lima lainnya yang mangkal di sekitar Monas, juga
ikut menyaksikan pemutaran film.
Setelah lebih dari sepuluh tahun hanya bisa dinikmati kalangan
menengah-atas, pemutaran di silang Monas seperti sebuah keinsyafan,
bahwa sesungguhnya selalu ada jalan bagi festival film yang bertitel
‘Internasional’ untuk bisa diakses oleh kalangan yang lebih luas. Karena
seperti kata Riri Riza, “Sinema adalah medium yang dapat dengan efektif
menangkap kegelisahan-kegelisahan manusia.”
Maka pertanyaannya, apakah
kegelisahan-kegelisahan itu hanya bersarang di kelas menengah-atas
saja? Tentu tidak. Semua lapisan masyarakat, dalam hidupnya, tentu
mengalami yang namanya kegelisahan tentang banyak hal yang mengitari
riwayat hidupnya.
Tapi selain hal-hal “berat” tentang kegelisahan, dalam semangat
Jakarta terkini, yang tecermin pada semakin banyaknya taman-taman
kecil, trotoar yang diperbaiki, waduk yang direvitalisasi, acara-acara
hiburan yang menghadirkan kemesraan sosial, kegembiraan dalam film juga
layak untuk dihadirkan.
Jika open air cinema ini semangatnya
adalah agar masyarakat luas bisa menikmati dan ikut bergembira, maka
hemat saya, hal ini justru kurang tergarap dengan baik dalam misbar ini.
Dari empat film yang diputar, semuanya bukan film berbahasa
Indonesia. Para penonton tradisional JIFFest yang rata-rata—dalam
pengamatan saya—berpendidikan formal tinggi, ekonomi bagus, dan
wawasannya luas, tentu tidak kesulitan melahap film apapun yang
disajikan penyelenggara. Namun untuk kalangan tertentu (yang ada di
Monas, yang telah disebutkan sebelumnya), hal ini bisa terjadi
sebaliknya.
Dengan kebijakan untuk setiap film asing yang berbahasa
Inggris tidak ada terjemahnya, dan untuk film asing lainnya terjemahnya
hanya memakai bahasa Inggris, tentu akan cukup menyulitkan masyarakat
awam untuk bisa memahami film secara utuh. Alih-alih bisa tertawa dalam
setiap dialog yang lucu, mereka justru mengkerutkan kening karena
bingung dengan artinya.
Selain masalah bahasa, cerita film pun kurang begitu sesuai
menghadirkan kegembiraan masyarakat luas, dan cenderung berat. Namun
jika sudut pandangnya menyetujui bahwa berpikir adalah sebuah
kegembiraan, maka beberapa film cukup berhasil.
Film National Security
misalnya, ini mirip dengan deskripsi penyiksaan para aktivis politik 98.
Dalam film Korea ini diceritakan, di tengah rezim diktator yang
berkuasa, seorang aktivis yang ditangkap dan kemudian mengalami
serangkaian penyiksaan. Film ini juga mengingatkan pada film Buenos Aires 1978,
yang juga menceritan sejumlah penangkapan dan penyiksaan.
Narasi
tentang penyiksaan sudah pasti menghadirkan visual kekerasan yang sulit
untuk disensor, di titik ini film membutuhkan batasan usia, sedangkan di
tempat terbuka seperti silang Monas bahkan anak kecil pun hadir, yang
sedikit banyaknya tentu melihat adegan-adegan kekerasan tersebut.
Beberapa kali saya bilang sama seorang panitia yang kebetulan duduk di
sebelah, “Gak salah pilih film nih, Bung?”
Isu kekerasan politik memang pernah terjadi juga di sini, namun
kurang dekat dengan keseharian masyarakat pada umumnya. Ada sebuah film
yang tidak diputar di Monas, namun termasuk dari 20 film yang diputar di
JIFFest, yang sebenarnya lebih dekat dengan keseharian masyarakat pada
umumnya, yakni film Mangga Golek Matang di Pohon.
Film ini
bercerita tentang kehidupan para waria yang teguh memilih jalan hidupnya
sebagai kaum minoritas, lengkap dengan kisah stigma dan penerimaan
setengah hati dari masyarakat.
Satu hal lagi, ada stand yang menyediakan cemilan gratis bagi
para penonton, namun dengan syarat penonton yang hendak mengambil
cemilan tersebut harus memperlihatkan akun twitter, dan memastikan telah
menjadi follower akun JIFFest.
Pertanyaannya adalah apakah masyarakat
luas yang “disasar” di misbar ini semuanya mempunyai akun twitter? Bukan maksud saya hendak mempermasalahkan hal “sepele” seperti ini,
namuan kenyataannya para pedagang kakilima tak seorang pun datang ke stand tersebut.
Mungkin karena memang mereka tidak tahu, dan bahkan tidak mengerti
jejaring sosial dunia maya yang bagi sebagian kalangan telah menjadi
makanan sehari-hari.
Dari beberapa hal tersebut, jelaslah bahwa penyelenggaraan misbar
yang mulanya mungkin hendak menghadirkan kemesraan sosial yang lebih
romantik, namun pada eksekusinya masih kurang tepat sasaran. JIFFest
masih terlampau memanjakan kelas menengah-atas yang melek dengan urusan-urusan yang kurang dipahami oleh masyarakat awam.
Namun demikian, apresiasi tetap patut diberikan kepada penyelenggara
dan para relawan yang bekerja keras mewujudkan acara ini. Menghadirkan
sebuah festival film internasional tentu tidak semudah yang dibayangkan,
terbukti dengan sempat terhentinya hajatan (rutin) ini pada dua tahun
sebelumnya. Begitu pula dengan ide misbar, yang merupakan sebuah
gagasan segar sebagai bentuk usaha untuk “membumikan” film di tengah
masyarakat yang beragam latar pendidikan, budaya, dan ekonominya.
Setelah film usai, semua penonton bertepuk tangan dan barangkali
berharap hajatan ini kembali terulang di tahun depan. Seperti yang
tertulis di brosur; “JIFFest is Back!” Saya pun berharap
festival film ini akan kembali datang pada tahun-tahun berikutnya, dan
setia menghadirkan kemesraan sosial di tengah kehidupan Jakarta yang
terkadang bersumbu pendek. [irf]
No comments:
Post a Comment