Kau pun tahu, di saat hujan rajin mengguyur Jakarta akhir-akhir ini,
frekuensi saya pergi ke warung kopi menjadi meningkat. Tidak melulu
minum kopi memang, adakalanya memesan mie rebus atau bubur kacang ijo.
Namun apa pun menunya, selalu saja ada orang yang bisa diajak bicara;
entah itu si Ijong (penjual kopi), tukang ojek, mahasiswa berkantong
pas-pasan, tukang judi bola, pengangguran, atau sekali waktu pernah juga
ngobrol dengan seorang perempuan cantik. Masih muda, umurnya sekira
terpaut empat tahun di bawah saya. Tak sempat bertanya tentang nama,
pekerjaan dan rumahnya, karena pembicaraan dengan cepat bergulir.
Mula-mula saya terpikat dengan kecantikannya, namun selain itu dia
juga punya selera musik yang bagus. Darinya saya kemudian tahu kalo Jaya
Suprana, seorang tua yang kerap terlihat berat dan ringkih rupanya
pernah belajar piano di Jerman. Waktu beliau masih muda, seorang
mahapianis Friderich Gulda pernah berkomentar bahwa pianis dari
Indonesia ini memiliki bakat musik dan pianistik “extraordinaire”.
Dalam usianya yang sudah lebih dari 60 tahun, kini Jaya Suprana, seperti kata perempuan cantik itu, “mendayagunakan perbendaharaan teknik pianistik termasuk teknik olah warna bunyi, dan belaian jari-jemari ‘extraordinaire’ pada gamitan pianoforte untuk menafsirkan dan menjabarkan mahakarya-mahakarya penggubah lagu Indonesia yang namanya diabadikan dalam sebuah taman pusat kesenian di Jakarta; Ismail Marzuki.”
Dalam usianya yang sudah lebih dari 60 tahun, kini Jaya Suprana, seperti kata perempuan cantik itu, “mendayagunakan perbendaharaan teknik pianistik termasuk teknik olah warna bunyi, dan belaian jari-jemari ‘extraordinaire’ pada gamitan pianoforte untuk menafsirkan dan menjabarkan mahakarya-mahakarya penggubah lagu Indonesia yang namanya diabadikan dalam sebuah taman pusat kesenian di Jakarta; Ismail Marzuki.”
Ketika hujan mulai reda, dan malam beranjak, perempuan itu
mengeluarkan sebuah CD musik. “Kau cobalah dengar ini, semoga suka.
Minggu depan kita ketemu lagi di sini.” Kemudian dia pamit tanpa sempat
saya dapatkan nomor ponsel atau PIN BB-nya.
Di kamar kontrakan, sambil rebahan di kasur, saya coba putar CD musik
itu. Sementara pikiran melayang ke perempuan cantik tadi. Sebentar saya
sempat menebak-nebak ihwal nama, pekerjaan dan alamat rumahnya, namun
kantuk sudah tiba di pelupuk mata. Dan saya terbang entah ke mana…
***
Saya
setengah tak percaya, perempuan cantik itu tengah duduk di bangku
kereta. “Hai”, lambaian tangannya mengantarkan saya untuk mendekatinya.
“Kamu dari mana?” hanya senyuman, tak ada jawaban. Ya, senyum yang
gilang-gemilang, tak jemu dipandangnya, seperti bintang timur yang
sedang mengembang. Dia kemudian mengulurkan tangan, “Aryati.” Hampir
saja tangannya saya cium, namun siapa yang berani melakukannya pada
seorang seni pujaan seperti dia. Dan pembicaraan mengalir seiring kereta
yang terus melaju. Tak terasa kereta telah tiba di station Jatinegara,
kami harus berpisah. Sebelum turun, dia menyelipkan secarik kertas ke
saku kemeja; sebuah alamat rumah.
Maka sudah dapat ditebak kelanjutannya. Kamar kontrakan tiba-tiba
sesak oleh rindu. Wajah yang seperti lukisan menerbitkan imajinasi
tentang kumbang dan bulan. Ada perasaan terlampau jauh untuk
menjangkaunya. Seorang penggubah lagu menulisnya begini, “mungkinkah
bulan merindukan kumbang, dapatkan kumbang mencapai rembulan.”
Namun ditakdirkan terlahir sebagai laki-laki tak ada alasan untuk
mundur sebelum bertempur. Esok harinya, ketika hari sedang libur, saya
meluncur ke alamat yang tertulis di kertas yang diselipkan Aryati. Dalam
perjalanan, sepasang mata bola seperti tengah memperhatikan. Barangkali
pemilik sepasang mata bola itu bertanya-tanya, “hendak pergi ke mana
kau anak muda?” Ikuti saja, kau pun akan tahu siapa yang akan menyambut
di pintu rumah itu. Dengan menunaikan kerinduan ini, saya adalah
pahlawan bagi diri saya sendiri.
Hujan titik-titik turun. Sekira dua puluh meter dari gang tempat saya
masuk, seseorang tengah melindungi dirinya dengan payung. Resam
tubuhnya begitu memesona. Dari perempuan dan payung itu lahirlah
fantasi, dan bertubi-tubi sehimpunan pertanyaan; Siapa gerangan?, apakah
bidadari dari surga atau burung kenari?. Siapa gerangan?, cendrawasih
dari bulan ataukah si bintang siang?.
Saya mempercepat langkah hendak mengejarnya. Tepat di depan sebuah
rumah, dia membuka pintu pagar. Lalu wajah yang sedari tadi tersembunyi
tiba-tiba menampakkan cantiknya. “Aryati!” Senyuman mengembang, dan di
beranda rumahnya kami membicarakan banyak hal. Salahsatu yang saya
ingat, kami membicarakan kiprah para srikandi bangsa di masalalu. Waktu
Jakarta dikuasai Belanda dan sekutu, di tapal batas Bekasi sebagai basis
tentara republik, banyak remaja putri yang bahu-membahu membantu para
pemuda. Mereka mengangkat senjata, merawat korban pertempuran, dan sibuk
di dapur pusat logistik. Dengan simpati yang dalam, Aryati menyebutnya
“Melati di Tapal Batas”.
Namun yang paling saya ingat adalah sedikit perdebatan tentang
gender. Saya berjejak pada pendapat bahwa pria ditakdirkan berkuasa atas
wanita, dan wanita kerap dijajah pria dari dulu, begitu kenyataannya.
Siapa yang bisa menyangkal jika wanita adalah perhiasan sangkar madu?.
Aryati tak sepenuhnya setuju. Paras cantiknya kemerah-merahan ketika dia
mengungkapkan pendapatnya. Di penghujung kuasa katanya, dia berucap,
“Benar wanitu itu lemah, lembut, dan manja. Namun adakalanya pria tak
berdaya, dia bisa tekuk lutut di sudut kerling wanita.” Jleb!. Begitu
menghujam.
Kemudian hari menjadi sore setelah itu. Saya pamit hendak pulang.
Aryati mengantar sampai ke pintu pagar. Setengah berbisik dia berkata,
“Besok aku hendak pulang ke Bandung Selatan. Entah kapan kita bisa
bertemu lagi, bawalah ini sebagai kenang-kenangan,” dia memberikan
sebuah sapu tangan. Hujan pertanyaan begitu deras di kepala. Namun
sebelum satu pun terjawab, Aryati telah kembali ke dalam rumah.
Sayap ini terasa patah. Jalan pun berat. Bagaimana caranya
mendefinisikan perasaan yang baru kuncup, lalu tiba-tiba layu sebelum
benar-benar berkembang. Aryati hendak pergi, dan jarak geografis yang
membentang telah menghadang di depan. Hujan kembali turun, sekali ini
begitu deras. Pandangan kabur. Pada sebuah belokan yang licin kaki
terpeleset, dan tubuh menghantam bumi.
***
Setengah sadar saya mengerang memegangi kepala yang membentur tembok
kamar. Rupanya tadi saya bermimpi. Sementara laptop masih memutar
denting piano Jaya Suprana memainkan lagu-lagu gubahan Ismail Marzuki. [
]
No comments:
Post a Comment