23 April 2014

Denting Piano untuk Sebuah Fragmen

Kau pun tahu, di saat hujan rajin mengguyur Jakarta akhir-akhir ini, frekuensi saya pergi ke warung kopi menjadi meningkat. Tidak melulu minum kopi memang, adakalanya memesan mie rebus atau bubur kacang ijo. Namun apa pun menunya, selalu saja ada orang yang bisa diajak bicara; entah itu si Ijong (penjual kopi), tukang ojek, mahasiswa berkantong pas-pasan, tukang judi bola, pengangguran, atau sekali waktu pernah juga ngobrol dengan seorang perempuan cantik. Masih muda, umurnya sekira terpaut empat tahun di bawah saya. Tak sempat bertanya tentang nama, pekerjaan dan rumahnya, karena pembicaraan dengan cepat bergulir.

Mula-mula saya terpikat dengan kecantikannya, namun selain itu dia juga punya selera musik yang bagus. Darinya saya kemudian tahu kalo Jaya Suprana, seorang tua yang kerap terlihat berat dan ringkih rupanya pernah belajar piano di Jerman. Waktu beliau masih muda, seorang mahapianis Friderich Gulda pernah berkomentar bahwa pianis dari Indonesia ini memiliki bakat musik dan pianistik “extraordinaire”.

Dalam usianya yang sudah lebih dari 60 tahun, kini Jaya Suprana, seperti kata perempuan cantik itu, “mendayagunakan perbendaharaan teknik pianistik termasuk teknik olah warna bunyi, dan belaian jari-jemari ‘extraordinaire’ pada gamitan pianoforte untuk menafsirkan dan menjabarkan mahakarya-mahakarya penggubah lagu Indonesia yang namanya diabadikan dalam sebuah taman pusat kesenian di Jakarta; Ismail Marzuki.”

Ketika hujan mulai reda, dan malam beranjak, perempuan itu mengeluarkan sebuah CD musik. “Kau cobalah dengar ini, semoga suka. Minggu depan kita ketemu lagi di sini.” Kemudian dia pamit tanpa sempat saya dapatkan nomor ponsel atau PIN BB-nya.

Di kamar kontrakan, sambil rebahan di kasur, saya coba putar CD musik itu. Sementara pikiran melayang ke perempuan cantik tadi. Sebentar saya sempat menebak-nebak ihwal nama, pekerjaan dan alamat rumahnya, namun kantuk sudah tiba di pelupuk mata. Dan saya terbang entah ke mana…

***

Saya setengah tak percaya, perempuan cantik itu tengah duduk di bangku kereta. “Hai”, lambaian tangannya mengantarkan saya untuk mendekatinya. “Kamu dari mana?” hanya senyuman, tak ada jawaban. Ya, senyum yang gilang-gemilang, tak jemu dipandangnya, seperti bintang timur yang sedang mengembang. Dia kemudian mengulurkan tangan, “Aryati.” Hampir saja tangannya saya cium, namun siapa yang berani melakukannya pada seorang seni pujaan seperti dia. Dan pembicaraan mengalir seiring kereta yang terus melaju. Tak terasa kereta telah tiba di station Jatinegara, kami harus berpisah. Sebelum turun, dia menyelipkan secarik kertas ke saku kemeja; sebuah alamat rumah.

Maka sudah dapat ditebak kelanjutannya. Kamar kontrakan tiba-tiba sesak oleh rindu. Wajah yang seperti lukisan menerbitkan imajinasi tentang kumbang dan bulan. Ada perasaan terlampau jauh untuk menjangkaunya. Seorang penggubah lagu menulisnya begini, “mungkinkah bulan merindukan kumbang, dapatkan kumbang mencapai rembulan.”

Namun ditakdirkan terlahir sebagai laki-laki tak ada alasan untuk mundur sebelum bertempur. Esok harinya, ketika hari sedang libur, saya meluncur ke alamat yang tertulis di kertas yang diselipkan Aryati. Dalam perjalanan, sepasang mata bola seperti tengah memperhatikan. Barangkali pemilik sepasang mata bola itu bertanya-tanya, “hendak pergi ke mana kau anak muda?” Ikuti saja, kau pun akan tahu siapa yang akan menyambut di pintu rumah itu. Dengan menunaikan kerinduan ini, saya adalah pahlawan bagi diri saya sendiri.

Hujan titik-titik turun. Sekira dua puluh meter dari gang tempat saya masuk, seseorang tengah melindungi dirinya dengan payung. Resam tubuhnya begitu memesona. Dari perempuan dan payung itu lahirlah fantasi, dan bertubi-tubi sehimpunan pertanyaan; Siapa gerangan?, apakah bidadari dari surga atau burung kenari?. Siapa gerangan?, cendrawasih dari bulan ataukah si bintang siang?.

Saya mempercepat langkah hendak mengejarnya. Tepat di depan sebuah rumah, dia membuka pintu pagar. Lalu wajah yang sedari tadi tersembunyi tiba-tiba menampakkan cantiknya. “Aryati!” Senyuman mengembang, dan di beranda rumahnya kami membicarakan banyak hal. Salahsatu yang saya ingat, kami membicarakan kiprah para srikandi bangsa di masalalu. Waktu Jakarta dikuasai Belanda dan sekutu, di tapal batas Bekasi sebagai basis tentara republik, banyak remaja putri yang bahu-membahu membantu para pemuda. Mereka mengangkat senjata, merawat korban pertempuran, dan sibuk di dapur pusat logistik. Dengan simpati yang dalam, Aryati menyebutnya “Melati di Tapal Batas”.

Namun yang paling saya ingat adalah sedikit perdebatan tentang gender. Saya berjejak pada pendapat bahwa pria ditakdirkan berkuasa atas wanita, dan wanita kerap dijajah pria dari dulu, begitu kenyataannya. Siapa yang bisa menyangkal jika wanita adalah perhiasan sangkar madu?. Aryati tak sepenuhnya setuju. Paras cantiknya kemerah-merahan ketika dia mengungkapkan pendapatnya. Di penghujung kuasa katanya, dia berucap, “Benar wanitu itu lemah, lembut, dan manja. Namun adakalanya pria tak berdaya, dia bisa tekuk lutut di sudut kerling wanita.” Jleb!. Begitu menghujam.

Kemudian hari menjadi sore setelah itu. Saya pamit hendak pulang. Aryati mengantar sampai ke pintu pagar. Setengah berbisik dia berkata, “Besok aku hendak pulang ke Bandung Selatan. Entah kapan kita bisa bertemu lagi, bawalah ini sebagai kenang-kenangan,” dia memberikan sebuah sapu tangan. Hujan pertanyaan begitu deras di kepala. Namun sebelum satu pun terjawab, Aryati telah kembali ke dalam rumah.

Sayap ini terasa patah. Jalan pun berat. Bagaimana caranya mendefinisikan perasaan yang baru kuncup, lalu tiba-tiba layu sebelum benar-benar berkembang. Aryati hendak pergi, dan jarak geografis yang membentang telah menghadang di depan. Hujan kembali turun, sekali ini begitu deras. Pandangan kabur. Pada sebuah belokan yang licin kaki terpeleset, dan tubuh menghantam bumi.

***

Setengah sadar saya mengerang memegangi kepala yang membentur tembok kamar. Rupanya tadi saya bermimpi. Sementara laptop masih memutar denting piano Jaya Suprana memainkan lagu-lagu gubahan Ismail Marzuki. [ ]

No comments: