Bu haji, begitu para tetangga memanggilnya, adalah induk semang saya.
Saya dan beberapa orang kawan ngontrak deretan kamar miliknya di lantai
dua. Gemar berkomentar, begitu kesan saya selama hampir lima tahun
tinggal di rumah kontrakannya. Sekali waktu, kawan saya pulang membeli
deterjen dari warung sebelah, bu haji berkomentar juga, “Beli deterjen mah mending di Al****rt, belinya sekalian yang banyak, jatohnya jadi lebih murah.” Mulanya kawan saya diam saja, tapi akhirnya dia menjawab, “Ah, bu haji, belanja mah mending di tetangga atuh,
kasihan, kalau bukan kita siapa lagi yang akan beli? Kan mereka juga
butuh buat makan sehari-hari, dan buat biaya sekolah anaknya. Mahal
sedikit mah wajar aja bu haji.”
***
Ada masa, pada beberapa waktu ke belakang, di mana mini market
menjadi penunjuk jalan bagi orang-orang yang mencari alamat rumah
saudara atau kawannya. “Nah, dari mini market itu, belok kiri, nanti ada
rumah berpagar cat hijau. Itu rumahku.” Navigasi semacam itu dulu
banyak terjadi. Sekarang ketika mini market jaringannya menggurita,
orang-orang mulai agak ragu untuk menggunakannya sebagai penanda. Kini
hampir di setiap jalan bermunculan warung-warung modern, minimal dua,
karena adanya “persaingan abadi” dua raksasa retail yang warna khasnya
hampir sama.
Selain pergeseran sebagai penanda, kini masyarakat pun mulai
meninggalkan kebiasaan berbelanja di warung-warung tradisional
tetangganya, mereka beralih ke mini market-mini market modern itu dengan
beberapa alasan; barangnya lebih lengkap, tempatnya lebih bersih, dan
pelayanannya yang ter-standar sesuai SOP. Bahkan sekarang beredar sebuah
joke ; jika ingin di sambut ucapan “selamat pagi” datanglah ke mini market.
Ibu-ibu rumah tangga dan para mahasiswa yang biasa melakukan belanja
bulanan, yang mulanya hanya datang ke warung-warung tetangga yang cukup
besar, kini hampir sudah beralih semua. Tidak ada yang bisa disalahkan
dari perilaku konsumen tersebut, sebab pada dasarnya konsumen
menginginkan pelayanan yang prima, dan cenderung ingin mengalami
berbelanja dengan memilih barang sendiri (swa-layan). Ada kepuasan di
sana. Ada waktu yang cukup untuk menimbang sebelum akhirnya memutuskan
membeli barang.
Bandingkan jika berbelanja di warung tradisional yang hampir semua
barang diambil oleh di pemilik warung. Kesempatan untuk menimbang,
ragu-ragu, antara membeli dan tidak, waktunya sangat pendek, sebab si
pemilik warung biasanya menunjukkan air muka yang kurang menyenangkan.
Apalagi kalau pemilik warung itu sikapnya “menyebalkan.” Hal ini hampir
mustahil ditemui di mini market modern.
Distribusi pun mereka kuasai. Jangankan mengalahkan warung
tradisional, bahkan membuat mati perlahan mini market di luar jaringan
mereka pun adalah hal yang mudah. Di dekat kontrakan saya di daerah
Sumur Batu, ada mini market Badai namanya, para pelayannya sering
mengeluh akbat suplai barang yang kerap terlambat, karena para pemasok
barang lebih mengutamakan mini market-mini market gurita itu. Belum lagi
rayuan-rayuan diskon dan promosi yang seringkali menarik calon konsumen
untuk datang lagi berbelanja. Gerakan gurita mini market modern ini
dengan cepat merobohkan daya tahan warung-warung tradisional, tak hanya
di perkotaan, namun juga merembet sampai jauh ke pedesaan.
Bila dicermati, warung tradisional memang tidak bisa bersaing.
Bayangkan sebuah warung yang ditunggui oleh sepasang suami istri. Jika
istrinya sedang sibuk dengan urusan domestik rumahtangga; misalnya
memasak, mengurus anak, belanja ke pasar, dan mencuci pakaian, tinggal
suaminya saja yang melayani para pembeli. Ini sangat darurat dan
minimalis. Kalau pun mereka sanggup mempekerjakan satu atau dua
karyawan, tentu pelayanannya pun tidak akan sama dengan mini market
modern. Belum lagi keterbatasan barang yang dijual. Di titik ini warung
tradisional roboh dengan sendirinya karena secara head to head kalah dalam persaingan.
Di sisi lain, jika mengharapkan kebijakan pemerintah untuk membatasi
semakin gencarnya serangan mini market modern, ini pun cukup riskan.
Kebijakan yang berlaku sekarang, samar-samar, konon membatasi mini
market modern hanya di jalan-jalan besar saja. Namun kenyataannya
pertumbuhan mini market sangat massif, gencar, bahkan sampai menembus
desa-desa. Terlepas dari kebijakan tersebut, gaya hidup masyarakat yang
tercermin dalam perilaku berbelanja adalah juga “racun” yang sangat
ampuh membunuh warung-warung tradisional. Terlebih sekarang, ketika mini
market modern tak hanya menjadi tempat berbelanja, namun juga telah
berfungsi sebagai tempat nongkrong sebagai sebuah kebutuhan sosial dan
aktualisasi diri, maka dari sudut pandang ini warung-warung tradisional
roboh sendirian. Dia telah menjadi anak tiri kebijakan pemerintah dan
gaya hidup.
Sebuah pembelaan dengan argumentasi lemah kerap dilontarkan pihak
pemilik mini market-mini market modern. Katanya, dengan semakin
banyaknya gerai yang dibuka maka akan semakin mengurangi beban
pemerintah dalam mengatasi pengangguran. Padahal yang sesungguhnya
terjadi adalah mereka membuka gerai tersebut karena kondisi perekonomian
masyarakat telah mampu untuk “menghidupi” gerai mereka. Perekonomian
rakyat yang berdeyut dan tercermin dari transaksi jual-beli di
warung-warung tradisional perlahan mereka terkam dengan rasa keadilan
yang tawar.
Kita, termasuk saya, memang tidak bisa lepas dari arus ekonomi dan
gaya hidup seperti ini. Namun minimal bisa mengolah rasa dan sebisa-bisa
berlaku adil. Mungkin ada barang-barang yang tidak bisa kita dapatkan
di warung-warung tradisional milik tetangga, tapi alangkah naïf jika
sekadar membeli kecap dan obat sakit perut mesti pergi ke mini market
yang mungkin jaraknya lebih jauh dari warung tetangga. Sebab di balik
warung tetangga yang lusuh dan kurang penerangan itu, pemilik warung
bisa jadi tengah memikul beban biaya anaknya yang sedang sekolah atau
sakit. Ada hak tetangga yang harus kita tunaikan, yaitu saling menolong.
Ada kecemasan yang melebihi dari soal rejeki; rasa sosial kita yang
perlahan mulai terabaikan. Teringat saya pada sebuah malam waktu pulang
ke kampung di pedalaman Sukabumi. Ketika sedang ngopi di warung bersama
kawan-kawan lama, seorang remaja lewat dan ditanya oleh kawan saya, “mau
pergi ke mana?,” dia menjawab, “mau beli obat nyamuk di In****ret!” [ ]
No comments:
Post a Comment