23 April 2014

Warung Kami Roboh Sendiri(an)

Bu haji, begitu para tetangga memanggilnya, adalah induk semang saya. Saya dan beberapa orang kawan ngontrak deretan kamar miliknya di lantai dua. Gemar berkomentar, begitu kesan saya selama hampir lima tahun tinggal di rumah kontrakannya. Sekali waktu, kawan saya pulang membeli deterjen dari warung sebelah, bu haji berkomentar juga, “Beli deterjen mah mending di Al****rt, belinya sekalian yang banyak, jatohnya jadi lebih murah.” Mulanya kawan saya diam saja, tapi akhirnya dia menjawab, “Ah, bu haji, belanja mah mending di tetangga atuh, kasihan, kalau bukan kita siapa lagi yang akan beli? Kan mereka juga butuh buat makan sehari-hari, dan buat biaya sekolah anaknya. Mahal sedikit mah wajar aja bu haji.”

***

Ada masa, pada beberapa waktu ke belakang, di mana mini market menjadi penunjuk jalan bagi orang-orang yang mencari alamat rumah saudara atau kawannya. “Nah, dari mini market itu, belok kiri, nanti ada rumah berpagar cat hijau. Itu rumahku.” Navigasi semacam itu dulu banyak terjadi. Sekarang ketika mini market jaringannya menggurita, orang-orang mulai agak ragu untuk menggunakannya sebagai penanda. Kini hampir di setiap jalan bermunculan warung-warung modern, minimal dua, karena adanya “persaingan abadi” dua raksasa retail yang warna khasnya hampir sama.

Selain pergeseran sebagai penanda, kini masyarakat pun mulai meninggalkan kebiasaan berbelanja di warung-warung tradisional tetangganya, mereka beralih ke mini market-mini market modern itu dengan beberapa alasan; barangnya lebih lengkap, tempatnya lebih bersih, dan pelayanannya yang ter-standar sesuai SOP. Bahkan sekarang beredar sebuah joke ; jika ingin di sambut ucapan “selamat pagi” datanglah ke mini market.

Ibu-ibu rumah tangga dan para mahasiswa yang biasa melakukan belanja bulanan, yang mulanya hanya datang ke warung-warung tetangga yang cukup besar, kini hampir sudah beralih semua. Tidak ada yang bisa disalahkan dari perilaku konsumen tersebut, sebab pada dasarnya konsumen menginginkan pelayanan yang prima, dan cenderung ingin mengalami berbelanja dengan memilih barang sendiri (swa-layan).  Ada kepuasan di sana. Ada waktu yang cukup untuk menimbang sebelum akhirnya memutuskan membeli barang.

Bandingkan jika berbelanja di warung tradisional yang hampir semua barang diambil oleh di pemilik warung. Kesempatan untuk menimbang, ragu-ragu, antara membeli dan tidak, waktunya sangat pendek, sebab si pemilik warung biasanya menunjukkan air muka yang kurang menyenangkan. Apalagi kalau pemilik warung itu sikapnya “menyebalkan.” Hal ini hampir mustahil ditemui di mini market modern.

Distribusi pun mereka kuasai. Jangankan mengalahkan warung tradisional, bahkan membuat mati perlahan mini market di luar jaringan mereka pun adalah hal yang mudah. Di dekat kontrakan saya di daerah Sumur Batu, ada mini market Badai namanya, para pelayannya sering mengeluh akbat suplai barang yang kerap terlambat, karena para pemasok barang lebih mengutamakan mini market-mini market gurita itu. Belum lagi rayuan-rayuan diskon dan promosi yang seringkali menarik calon konsumen untuk datang lagi berbelanja. Gerakan gurita mini market modern ini dengan cepat merobohkan daya tahan warung-warung tradisional, tak hanya di perkotaan, namun juga merembet sampai jauh ke pedesaan.

Bila dicermati, warung tradisional memang tidak bisa bersaing. Bayangkan sebuah warung yang ditunggui oleh sepasang suami istri. Jika istrinya sedang sibuk dengan urusan domestik rumahtangga; misalnya memasak, mengurus anak, belanja ke pasar, dan mencuci pakaian, tinggal suaminya saja yang melayani para pembeli. Ini sangat darurat dan minimalis. Kalau pun mereka sanggup mempekerjakan satu atau dua karyawan, tentu pelayanannya pun tidak akan sama dengan mini market modern. Belum lagi keterbatasan barang yang dijual. Di titik ini warung tradisional roboh dengan sendirinya karena secara head to head kalah dalam persaingan.

Di sisi lain, jika mengharapkan kebijakan pemerintah untuk membatasi semakin gencarnya serangan mini market modern, ini pun cukup riskan. Kebijakan yang berlaku sekarang, samar-samar, konon membatasi mini market modern hanya di jalan-jalan besar saja. Namun kenyataannya pertumbuhan mini market sangat massif, gencar, bahkan sampai menembus desa-desa. Terlepas dari kebijakan tersebut, gaya hidup masyarakat yang tercermin dalam perilaku berbelanja adalah juga “racun” yang sangat ampuh membunuh warung-warung tradisional. Terlebih sekarang, ketika mini market modern tak hanya menjadi tempat berbelanja, namun juga telah berfungsi sebagai tempat nongkrong sebagai sebuah kebutuhan sosial dan aktualisasi diri, maka dari sudut pandang ini warung-warung tradisional roboh sendirian. Dia telah menjadi anak tiri kebijakan pemerintah dan gaya hidup.

Sebuah pembelaan dengan argumentasi lemah kerap dilontarkan pihak pemilik mini market-mini market modern. Katanya, dengan semakin banyaknya gerai yang dibuka maka akan semakin mengurangi beban pemerintah dalam mengatasi pengangguran. Padahal yang sesungguhnya terjadi adalah mereka membuka gerai tersebut karena kondisi perekonomian masyarakat telah mampu untuk “menghidupi” gerai mereka. Perekonomian rakyat yang berdeyut dan tercermin dari transaksi jual-beli di warung-warung tradisional perlahan mereka terkam dengan rasa keadilan yang tawar.

Kita, termasuk saya, memang tidak bisa lepas dari arus ekonomi dan gaya hidup seperti ini. Namun minimal bisa mengolah rasa dan sebisa-bisa berlaku adil. Mungkin ada barang-barang yang tidak bisa kita dapatkan di warung-warung tradisional milik tetangga, tapi alangkah naïf jika sekadar membeli kecap dan obat sakit perut mesti pergi ke mini market yang mungkin jaraknya lebih jauh dari warung tetangga. Sebab di balik warung tetangga yang lusuh dan kurang penerangan itu, pemilik warung bisa jadi tengah memikul beban biaya anaknya yang sedang sekolah atau sakit. Ada hak tetangga yang harus kita tunaikan, yaitu saling menolong.

Ada kecemasan yang melebihi dari soal rejeki; rasa sosial kita yang perlahan mulai terabaikan. Teringat saya pada sebuah malam waktu pulang ke kampung di pedalaman Sukabumi. Ketika sedang ngopi di warung bersama kawan-kawan lama, seorang remaja lewat dan ditanya oleh kawan saya, “mau pergi ke mana?,” dia menjawab, “mau beli obat nyamuk di In****ret!” [ ]

No comments: