Yang kau jerat adalah riwayat
Tidak punah, jadi sejarah
(Efek Rumah Kaca)
***
Bukan karena kami
pernah sama-sama minum kopi dalam gelas bekas botol air mineral yang dipotong
dan menyisakan ujung yang bergerigi
Bukan pula karena kami
pernah berbagi Djarum Super yang tinggal satu batang di sepertiga malam untuk
mengasapi diskusi yang tak jelas dan hangus dibakar waktu
Bukan, bukan karena
itu aku mencatat ini semua
Tapi untuk melawan
lupa
Kelak, anak-anakku
tidak boleh memutuskan tali silaturahim
Mereka harus tahu dan
menyusuri jejak riwayat, bahwa aku pernah mempunyai seorang kawan yang mencintai buku, membaca, dan menulis
Untuk para penerusku
kelak, jejalin kisah ini aku catatkan….
##
Catatan ini aku tulis dalam dua masa transisi. Pertama, waktu
aku tercecer di kampusku di Bandung. Aku tertinggal, kalah berkompetisi dengan
kawan-kawanku yang lebih dulu lulus dan diwisuda. Kedua, ketika aku baru saja
lulus di kampusku di Depok, sambil menimbang-nimbang; apakah sebaiknya melanjutkan
ke S2 atau terjun ke dunia kerja.
Di dua
masa transisi ini waktu cukup banyak untuk kuisi dengan mencatat. Ihwal aku
suka mencatat ini mulanya adalah pergaulanku dengan buku. Dan kawanku yang
menyeret aku untuk belajar mencintai buku dan mencintai menulis adalah Joni.
Dia adalah seorang yang terjerembab ke dalam lembah kecintaan buku dan menulis,
dan lembah itu sangat dalam, akhirnya dia tak bisa keluar. Maka catatan ini
adalah penggalan-penggalan riwayatnya, riwayat kawanku, riwayat Joni.
##
“Kalian boleh maju
dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi
tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pintar.” (Pramoedya
Ananta Toer)
Cinta hadir bukan untuk membuktikan sesuatu, tapi makanan
bagi jiwa agar tidak mati. Maka cinta pada dasarnya tidak bisa ditukar dengan
pamrih. Dan cinta bagi Joni adalah buku dan menulis, terutama yang berhubungan
dengan sastra.
Apa definisi sastra? Bagi Joni tidak penting. Dia tidak mau
berdebat tentang definisi, yang dia tahu; novel, puisi, catatan perjalanan,
cerpen, dan roman adalah sesuatu yang indah, sesuatu yang selalu membuat
dirinya merasa hidup. Dia tidak pernah tahu apa maksud Helvy Tiana Rosa: “Karena Sastra yang Merenggutku dari Pasrah”.
Ketidaktahuan itu tidak pernah menyurutkan
kecintaannya pada sastra. Dia bisa berlama-lama di dalam kamar, terasing dari
kehidupan luar, untuk membaca beberapa buku puisi hanya dengan diawali oleh
sepenggal puisi Joko Pinurbo: “Puisi
telah memilihku / dibiarkannya aku tetap redup dan remang.”
Dia bisa lupa
waktu, telat makan dan malas mandi, untuk membaca Tetralogi Buru hanya dengan
diawali oleh sebuah pamafrasa: “Kau
boleh pintar setinggi langit, tapi jika tidak membaca sastra kau hanyalah hewan
yang pintar.”
Begitupun dengan menulis: jadwal nongkrong, dan jalan bersama
kawan-kawannya seringkali direbut oleh minatnya pada menulis cerpen hanya
karena pernah membaca sebuah kutipan: “Scripta
manent verba Volant, yang tertulis akan mengabadi yang terucap akan berlalu
bersama angin.”
Uang yang seharusnya dia tabung untuk hal-hal mendesak di
masa depan, atau kawan-kawannya menyebut “untuk kehidupan di masa yang akan
datang”, dia habiskan untuk belanja buku. Maka harta bendanya yang paling
banyak adalah buku, yang lain hanya sekadarnya.
Handpone, makhluk
kesayangan hasil perkawinan dunia komunikasi dan life style, adalah salah satu
benda yang baginya sekunder. Hp-nya hanya NOKIA gererasi Fir’aun yang
sudah sangat lecek, nge-drop dan sering error. Kamarnya seumpama kuburan tua di
pinggir kampung yang tak terurus dan dipercaya banyak dedemit; sunyi dari ingar-bingar suara benda-benda elektronik.
Meskipun tidak berpenghasilan tinggi, tapi kalau berniat,
Joni sebenarnya bisa membeli BB atau tv layar datar 21 inc. Tapi Joni terlanjur
jatuh cinta kepada aksara, kepada kata-kata yang tertulis. Bahkan di sebuah
persimpangan hidupnya, Joni berhasil melewati teror perasaan yang dilakukan
seorang perempuan yang sangat dia cintainya. Ya, perempuan mana yang mau hidup
dengan seorang laki-laki madesu, tak jelas juntrungannya, dan beresiko
terjerumus ke dalam jurang kemiskinan yang mengerikan.
Ya, Joni sangat
menyadari itu. Tapi ketakutan harus diatasi bukan dirayakan. Dan cinta kepada
buku dan tulisanlah yang berhasil mengatasinya. Maka di kamarnya yang sunyi dia
mengucapkan “Selamat Jalan” kepada perempuan yang sangat dicintainya itu.
Perpisahan dilakukannya sendirian, sebab perempuan yang takut itu telah mundur
teratur tanpa pamit, tanpa sedikit pun kata-kata yang menandai bahwa perpisahan
telah terjadi. Sakit memang, kecewa iya, tapi perasaan tidak boleh menjadi
raja, dia tidak boleh mengendap lalu berjelaga.
Dia harus menyingkir, tidak
boleh dipaksakan, sebab cinta hadir bukan untuk menciptakan ketakutan. Bahkan
kalaupun perempuan itu mencoba berargumen, Joni telah siap untuk membakar
setiap alasannya. Dalam buku catatannya dia menulis: “Pergilah dengan
ketakutanmu itu. Cinta tidak akan pernah mengkhianati para pelakunya yang
tulus.”
***
Kalau ditarik garis ke belakang, ke waktu yang telah
berlalu, Joni dibesarkan di rumah yang rajin berlangganan koran.
Bertahun-tahun, bahkan sebelum dia masuk sekolah dasar, bapaknya telah
berlangganan harian Pikiran Rakyat. Dia belajar membaca di harian yang sangat
kuat pengaruhnya di Jawa Barat, bukan di buku-buku yang font-nya raksasa dan
dikuasai kata-kata “INI BUDI, INI
WATI, INI IBU BUDI, INI BAPAK WATI”.
Beberapa minggu sebelum masuk sekolah
dasar dia sudah lancar membaca, maka di kelasnya yang mula-mula, di kelas satu
SD, dia merajai belajar membaca yang dipenuhi kawan-kawannya yang masih
tertatih-tatih merangkai huruf menjadi kata.
Mungkin karena bosan atau ingin
sesuatu yang baru, setelah bertahun-tahun berlangganan Pikiran Rakyat, bapaknya
pindah ke harian Republika yang kelahirannya disebut-sebut dibidani oleh ICMI.
Dan Joni pun melahap Republika. Resonansi adalah rubrik favoritnya.
Dia tidak
sepenuhnya mengerti apa yang ditulis di rubrik Renonansi itu, tapi dia merasa
menikmati setiap kata yang tersaji di rubrik yang sering diisi oleh
tulisan-tulisan Miranda Risang Ayu, Parni Hadi, Zaim Uchrowi, Farid Gaban, dan Zaim Saidi
itu.
Perpisahan dengan Republika terjadi waktu dia akhirnya harus
meneruskan sekolah ke SMU. Di kampungnya SMU memang ada, tapi kata bapaknya
belajar bukan hanya duduk di bangku dan menghadap meja, maka dia dikirim ke SMU
yang berada jauh di luar kampungnya. Dia mulai merantau, meninggalkan Republika
yang masih setia datang ke rumah.
Di tempatnya yang baru, di sebuah kost-kostan
yang sederhana, dia jarang sekali membaca koran, sebab hanya disangoni untuk
makan dan transportasi saja, tidak ada jatah untuk membeli koran. Joni tak
habis akal, perpustakaan sekolahnya ternyata berlangganan Pikiran Rakyat, maka
dia bertemu kembali dengan “guru” membacanya yang mula-mula.
Setiap istirahat
sekolah, dia pasti mengendap di perpustakaan untuk menemui “guru”nya. Penjaga
perpustakaan sampai bosan melihatnya, tapi dia tak peduli, penjaga perpustakaan
digaji untuk melayani para pengunjung perpustakaan bukan merasa bosan, begitu
pikirnya.
Kalau Pikiran Rakyat sudah selesai dilahap, dan waktu istirahat masih
tersisa, dia kadang-kadang mendekati rak buku-buku sastra dan mulai berkenalan
dengan Nh. Dini, Sori Siregar, Achdiat Kartamiharja, HAMKA, Marah Rusli, Ahmad
Tohari, Taufik Ismail, dan Chairil Anwar yang salah satu penggalan puisinya dia
sukai: “berselempang semangat yang tak
bisa mati”.
Koran tak terbeli, apalagi buku, kecuali buku-buku
pelajaran, sebab itu termasuk biaya pendidikan yang akan disangoni bapaknya.
Maka bertambah bosanlah penjaga perpustakaan waktu Joni akhirnya bukan hanya
membaca Pikiran Rakyat, tapi juga keranjingan membaca buku-buku novel, cerpen,
dan puisi. Saat kulit wajah penjaga perpustakaan berkerut semakin cepat karena
bosan, Joni mulai jatuh cinta. Dia mulai mencintai novel.
Semesta cerita yang
tersusun dalam novel dengan berbagai konflik, romansa, dan pesan yang tersirat
di dalamnya membuat pikiran dan perasaan Joni seringkali bergemuruh. Waktu
membaca Atheis karya Achdiat Kartamiharja, dia ikut prihatin dengan akhir
kehidupan Hasan yang mati ditembak tentara Jepang, terlebih dengan revolusi
keyakinan Hasan yang berbalik cepat setelah bergaul dengan Rusli, Kartini, dan
orang-orang beraliran kiri lainnya. Pada Ibu untuk Ayahku yang ditulis oleh
Sori Siregar, Joni ikut merasa kesepian seperti ayahnya Hamdi yang tak bisa
menemukan pengganti ibunya yang telah meninggal.
Joni sempat menitikkan airmata
waktu menyelesaikan Di Bawah Lindungan Ka’bah. Dia bersimpati dengan
penderitaan Hamid dan Jenab, cinta mereka tak sampai di pelaminan. HAMKA lagi-lagi
berhasil membuatnya larut dalam kepedihan Zainudin dan Hayati, dan lagi-lagi
yang ini pun kasihnya tak sampai; dihadang adat istiadat, pertaruhan
kehormatan, dan tragedi meninggalnya Hayati waktu tenggelam dalam kapal Van Der
Wicjk.
Sebelas tahun kemudian Joni baru tahu bahwa HAMKA pernah diserang dengan
sangat keras dan bertubi-tubi di gelanggang sastra Indonesia oleh orang-orang
Lekra karena novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk yang ditulisnya dianggap
mencontek dan HAMKA didakwa plagiat. Buya yang satu ini ternyata pernah
“dihajar” para militan Lekra yang berkiprah di gelanggang sastra.
Waktu itu Joni belum bisa membaca buku-buku karangan
Pramoedya Ananta Toer, sebab Orde Baru masih berkuasa, dan karya orang-orang
yang mereka anggap komunis sangat dilarang beredar. Puisi-puisi Wiji Thukul pun
belum hadir sebab setiap orang yang vocal pasti dibabat, termasuk karyanya.
Selain Taufik Ismail dan Chairil Anwar, puisi-puisi karya penyair lain hanya
dia temui di buku pelajaran Bahasa Indonesia yang isinya sangat sedikit. Jangan
tanya Mustofa Bisri, Hamid Jabbar, dan Joko Pinurbo, sebab puisi-puisi mereka
tidak pernah hadir di buku pelajaran yang dipakai guru-gurunya.
Memasuki tahun kedua di SMU, Joni mulai bisa membeli dan
membaca majalah Sabili dan Tarbawi sebab dia tidak lagi ngekost, tapi tinggal
di sebuah ruangan yang menempel dengan mesjid sebuah yayasan pendidikan Islam
tanpa dipungut biaya alias gratis. Ruangan itu masih milik yayasan. Uang untuk
kost akhirnya tidak lagi dikirim, tapi bapaknya menambah sedikit uang saku.
Dari uang tambahan itulah Joni bisa membeli majalah Sabili yang rajin
mengangkat tema-tema aktual seputar dunia Islam. Sabili cenderung garang,
menghentak-hentak, dan penuh bara. Sedangkan di majalah Tarbawi dia menemukan
sebuah telaga kesejukan, tulisan-tulisan di majalah itu penuh dengan energi
ajakan untuk meningkatkan kebaikan.
Sesekali Joni mulai mencoba menulis cerpen, tapi tak pernah
selesai. Menulisnya di kertas bergaris buku catatan sekolah karena tidak punya
mesin tik, apalagi komputer, apalagi laptop. Cerpen yang tak pernah selesai
itu, yang prematur itu, berceceran di hampir semua buka tulisnya.
Di belakang
rumus-rumus matematika dan fisika ada cerpen, di bawah catatan pelajaran agama
ada cerpen, setelah catatan pelajaran biologi ada cerpen, setelah rumus kimia
ada cerpen, di antara catatan pelajaran bahasa Inggris ada cerpen, di mana-mana
ada cerpen. Hal ini membuat buku catatan pelajarannya seperti buku catatan
pelajaran bahasa Indonesia semua.
Adalah Rano, kawannya, yang pernah mengetahui
hal itu. Dia pernah membaca beberapa cerpen tak selesainya.
Memasuki tahun ketiga, Joni terdampar di kelas IPS. Dia
sebenarnya ingin masuk kelas bahasa, tapi di sekolahnya tidak tersedia. Ini
adalah sebuah pergeseran. Dulu waktu SD dan SMP, dia termasuk ke dalam jajaran
elite siswa yang selalu masuk tiga besar di kelasnya, dan angka-angka untuk
pelajaran eksak selalu tinggi dan tak pernah memalukan. Tapi sekarang, di level
pendidikan yang lebih tinggi, dia malah terseok-seok dengan semua pelajaran
eksak, angka-angka matematika, fisika, dan kimianya selalu hancur dan di bawah
rata-rata kelas.
Ini tak lepas dari alokasi belajar dan minat yang tidak
seimbang, waktunya lebih sering dihabiskan untuk membaca novel, majalah, dan
menulis cerpen. Ya, dia sudah terseret ke dalam kutub yang berseberangan dengan
pelajaran-pelajaran berhitung dan penuh rumus. Dia menjadi underdog di kelasnya.
Apalagi mindset
hampir semua gurunya selalu condong ke mata pelajaran eksak. Kalau mau jujur,
sebenarnya hampir di seluruh negeri ini semua guru berpikiran sama, bahwa anak
yang pintar adalah anak yang kemampuan matematika, fisika, dan kimianya
menonjol. Dan ini semakin sempurna dengan kehadiran Habibie sebagai icon
kecerdasan Indonesia, semua orang tahu Habibie adalah ahli di bidang
hitung-menghitung.
Maka anak-anak yang menempati kelas IPS adalah mereka yang
sering dipersepsikan sebagai anak-anak buangan, anak-anak yang tidak berhasil
menembus kelas IPA. Sejak pertama kali mengenal sistem pembagian kelas ini, Joni
sudah menyadari semuanya.
Pernah sekali waktu dia pulang kampung dan bertemu
dengan kawan-kawan SD dan SMP-nya, setelah mereka tahu bahwa Joni masuk kelas
IPS, semua kawan-kawannya tak ada yang percaya sambil bertanya heran, “Ah masa
Jon, kamu kan dulu termasuk anak pintar?!” Ya, ya, di batok kepala mereka anak
pintar adalah anak yang jago pelajaran berhitung. Tapi Joni tak peduli, dia
hanya menertawakan arus pikiran orang-orang kebanyakan.
***
Banyak orang mungkin punya buku favorit yang ditulis oleh para
penulis terkenal yang best seller dan
namanya telah malah melintang. Tak sedikit orang yang hidupnya dipengaruhi oleh
buku Menjadi Orang Besar atau Rich Dad Poor Dad-nya Robert T.
Kiyosaki. Atau mungkin oleh para
sastrawan terkenal seperti Ernest Hamingway, Leo Tolstoy, Carles Dickens, Pramoedya
Ananta Toer, Virgiana Wolf, William Shakespeare, Nikolai Gogol, Maxim Gorky,
Victor Hugo, atau Pyodor Dostoyevsky.
Buat Joni, buku yang berhasil
memengaruhi hidupnya adalah sebuah buku yang ditulis oleh seorang yang tidak
lulus di dua perguruan tinggi. Buku yang berjudul Aku, Buku, dan Sepotong
Sajak Cinta yang ditulis oleh seseorang yang sangat mencintai dunia perbukuan,
yang bernama Muhidin M. Dahlan telah berhasil membuatnya untuk berdiri kukuh di
rel membaca dan menulis. Dia tak mau menoleh kepada kemungkinan minat-minat
lain seperti misalnya olahraga atau komunitas pecinta otomotif. Muhidin
benar-benar telah membuatnya untuk total mencintai dunia membaca dan menulis.
Di
banyak halaman buku Muhidin itu dia banyak
menemui kata-kata bertegangan tinggi yang membuatnya semakin yakin dengan dunia
asing-senyap, dunia buku dan menulis. Di halaman 87 Muhidin menulis : “Aku
membereskan lagi buku-buku yang hampir muntah dari rak, inilah teman terbaikku
yang menemani di setiap tikungan gelap perjalanan hidup. Inilah hartaku yang
terbaik.”
***
Meskipun Joni menyukai novel dan puisi, tapi ternyata tidak
membuatnya memilih kuliah di Fakultas Sastra. Ini karena pengaruh lingkungan
keluarga. Mungkin hampir di setiap pikiran orangtua yang menyekolahkan anaknya
di bangku kuliah dengan dana pas-pasan; pasti berpikir bahwa anaknya harus
memilih jurusan yang lebih cepat diserap dunia kerja. Dan di Indonesia, di
negeri yang sesak oleh para koruptor ini, Fakultas Ekonomi menjadi salah satu
fakultas favorit para calon pekerja. Fakultas Sastra harus minggir. Persepsinya
sangat buruk jika dibenturkan dengan kesempatan kerja.
Orangtua berpikir :
sarjana sastra paling banter hanya menjadi guru honorer yang bertahun-tahun tak
bakalan diangkat karena bersaing ketat dengan lulusan ilmu keguruan. Maka
terdamparlah Joni si sebuah Politeknik dengan jurusan Administrasi. Tapi justru
di sinilah semuanya bermula. Di sinilah
keyakinannya kepada dunia membaca dan menulis, terutama sastra, semakin kuat
dan kokoh. Apa pasal? Bermula dari konflik dengan seorang dosen, Joni akhirnya
terasing di dunia buku yang sunyi senyap.
Pada sebuah acara seremonial penyambutan mahasiswa baru,
Joni memegang jabatan sebagai ketua pelaksana Ospek Jurusan. Dan hari-harinya
kemudian dipenuhi oleh rapat-rapat organisasi yang cukup panjang. Hal ini
membuat konsentrasinya kepada aktivitas kuliah sedikit buyar. Tapi Joni punya
keyakinan bahwa aktivitas kuliah tidak boleh mengganggu aktivitas organisasi,
hal ini di kemudian hari ternyata sejalan dengan keyakinan Muhidin M. Dahlan,
penulis yang mempengaruhi jalan hidupnya, begini katanya :
“Jangan sampai
aktivitas kuliah di kampus mengganggu aktivitas berorganisasi. Itulah prinsip
yang kupegang baik-baik. Dan aku tidak main-main dengan prinsip yang demikian
itu. Mungkin aneh. Tapi itu adalah keyakinan. Dan setiap keyakinan harus
dijalankan. Dan aku menjalankannya. Dan aku dikutuk oleh kawan-kawan yang
memiliki keyakinan yang berseberangan denganku itu. Dan aku tetap berjalan
dengan keyakinan itu.”
Ketika kawan-kawannya menghadiri kelas mata kuliah
Kewirausahaan, Joni malah membolos dan sibuk menyusun rencana kerja dengan
kawan-kawan organisasinya. Dosen mata kuliah Kewirausahaan mengembalikan semua
tugas dalam bentuk makalah yang pada pertemuan sebelumnya dikumpulkan oleh
seluruh penghuni kelas, termasuk Joni. Dosen itu menyuruh mahasiswa
merevisinya, “Perbaiki dan kumpulkan lagi besok!.” Karena Joni tidak hadir, maka makalahnya
dibawa lagi oleh dosen tersebut dan disimpan di meja kerjanya.
Seorang kawannya kemudian memberi informasi, di tengah rapat
di membisikkan sesuatu kepada Joni “Jon, makalah Kewirausahaan dikembalikan
euy, dititah direvisi, nu maneh masih di si Ibu Rina, gancang bawa di ruangannya, mumpung dia
belum pulang.”
Tapi rapat masih alot, dan kuliah termasuk dengan tugas-tugasnya
tidak boleh mengganggu aktivitas organisasi, maka Joni abaikan informasi itu.
Barulah setelah rapat selesai, ketika hari semakin sore dan bayangan telah
bergeser ke barat, Joni, dengan langkah malas, pergi ke ruangan dosen
Kewirausahaan.
Ruangan sepi, dosen sudah pada pulang, tapi pintu ruangan masih
terbuka dan belum dikunci. Dia melihat makalahnya tergeletak di atas meja dosen
itu. Ragu, antara masuk dan mengambil makalah dengan takut dianggap tidak sopan
karena masuk ruang dosen dan mengambil barang dari atas mejanya tanpa ijin.
Tapi karena berniat memperbaiki tugasnya
dan waktu sangat sempit sebab besok sudah harus dikumpulkan lagi, maka Joni memutuskan
masuk ke ruangan itu lalu mengambil makalahnya, tanpa ada seorang pun mata
manusia yang melihat gerakannya. Lalu keluar dan meluncur pulang. Dan bahaya
menghadang di depan.
***
“Anak ini Pak yang sudah mengacak-ngacak meja saya. Dia
masuk ruangan dosen tanpa ijin ketika di ruang itu tidak ada orang, lalu meja
saya berantakan dibuatnya!,” bu Rina mendakwa Joni dengan intonasi tinggi dan
mencecar seperti senapan mesin di depan Ketua Jurusan (Kajur)
“Ya sudah, tunda saja kelulusannya,” Pak Kajur menanggapinya
dengan santai, cool, seperti hal biasa
saja. Lalu Joni dibawa ke hadapan Ketua Program Study (Kaprog) dan diadukan
dengan kata-kata yang sama seperti waktu menghadap Kajur.
“Ya sudah, biar saya yang bereskan Bu,” jawaban Kaprog
seperti intimidasi seorang algojo di sebuah ladang pembantaian.
“Bereskan”,
kata itu dalam benak Joni selalu mengerikan, sebab dulu ketika Orde Baru masih
berkuasa, kata “bereskan” bisa diartikan sebagai kematian. Dia berpikir, di
gelanggang pendidikan kata itu bisa jadi dengan DO (Drop Out), akhir pahit
sebuah riwayat pendidikan formal.
Dan Joni cemas, tapi sebenarnya bukan
mencemaskan riwayat pendidikan, bagi dia ini adalah sebuah resiko sikap, tapi
efek dari vonis yang akan dijatuhkan terhadap keluarga dan relasi sosialnya.
Kalau misalnya saja dia akhirnya di DO, apa kabar dengan orangtuanya di
kampung? Orangtuanya akan dicap mempunyai anak yang badung, menyia-nyiakan
amanat, dan melawan dosen.
Melawan dosen, melawan guru, sedangkan orangtuanya
sediri seorang guru. Jelaga akan menggantung di langit rumahnya, organisasi
yang dia aktif di dalamnya akan menjadi kambing hitam jika dia akhirnya
benar-benar DO. Cemas. Joni duduk di depan Kaprog menunggu kata-kata
selanjutnya.
“Sekarang kamu pulang saja, saya sedang sibuk. Minggu depan
datang lagi ke sini jam 11.00, awas jangan sampai telat.”
Organisasi mahasiswa dalam ancaman. Ospek terancam gagal.
Nama baik Joni yang menjadi ketua pelaksana acara ospek jurusan di ujung
tanduk. Kajur, Kaprog dan beberapa dosen yang memangku birokrasi perijinan
acara kampus sedang menyorotinya sebagai mahasiswa yang bermasalah. Dalam
kondisi seperti ini Joni sigap mengambil langkah.
Dia sadar jalan ke depan bagi
acara ospek tidak akan mulus seperti rencana semula. Kondisi ini dia sampaikan
kepada Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan, dan kepada panitia yang lain yang
selama ini menjadi bawahannya. Setelah diadakan musyawarah akhirnya diambil
keputusan bahwa Joni sebagai Ketua Pelaksana harus diganti, dan Ketua baru
harus segera dipilih. Dan pemilihan Ketua baru segera dilaksanakan dengan
diwarnai oleh intrik politik para aktivis organisasi.
Ya, ya, organisasi
mahasiswa yang diisi anak-anak muda yang sedang larut dalam semangat dan gairah
itu selalu saja diwarnai oleh intrik-intrik politik kampus. Siapa bilang
politik hanya bersemayam di lingkaran partai-partai politik saja?
Ketua Pelaksana baru sudah terpilih, roda organisasi kembali
bergulir, Joni bergerak di pinggir, dia tetap aktif di organisasi dan acara
ospek tapi hanya menjadi anggota tim surveyor yang tugasnya mengurus segala macam
hal yang berhubungan dengan tempat di mana acara ospek akan dilaksanakan. Ya,
ini adalah tugas yang jauh dari hingar bingar sorot mata mahasiswa. Terlebih
karena para surveyor biasanya berangkat ke tempat pelaksanaa paling awal. Ya,
ini adalah tugas orang-orang terasing yang bekerja “membuka” jalan bagi rute
yang akan dilalui para peserta ospek. Joni bergerak di pinggir.
Sebagian
kawan-kawannnya yang tidak tahu dengan konflik antara Joni dan dosen
Kewirausahaan banyak yang bertanya-tanya, “Ada intrik politik macam apa
sehingga Ketua Pelaksana harus diganti dan dilempar ke tim surveyor yang
kerjanya di lapangan, penuh keringat, berdebu, dan kasar?”.
Atau petanyaan,
“kenapa bung Joni masih mau bergabung dan bekerja dalam kepanitian ospek
padahal posisi dia telah jatuh, telah terlempar dari lingkaran panitia inti dan
hanya menempati posisi yang kurang penting?”.
Mereka yang bertanya-tanya itu
tidak tahu bahwa Joni yang aku kenal, adalah dia yang mencintai organisasi
kampus. Dia bekerja bukan karena posisi, tapi karena kecintaannya pada
oraganisasi, tempat di mana dia belajar bersosialisasi, belajar
bertanggungjawab, belajar berbicara di depan orang ramai, dan
belajar---sedikit-sedikit---tentang politik.
Tapi di tengah kesibukannya di organisasi, Joni tetap tidak
bisa sepenuhnya menyembunyikan kecemasannya pada kasusnya dengan dosen
kewirausahaan, apalagi keputusan Kaprog belum jelas, dia masih harus menunggu.
Di tengah kecemasan menunggu itu dia tidak tenang, bayangan DO atau pending
(kelulusan yang ditunda satu tahun) terus menerornya. Tak seorang pun kawannya
yang bisa meredakan kecemasan itu. Suara musik di radio terdengar murung :
I don’t want to know
I don’t want to know
I don’t want to know
your opinion on me
I don’t need to be
I don’t need to be
I don’t need to be
what you want me to be
Just like gravity you
bring me down
Just like gravity you
kill my will…
(I novel – Zeke and The Popo)
***
Kawan satu kostnya sedang berada di titik toleransi yang
memuakkan karena dia sering terganggu oleh kedatangan kawan-kawan Joni yang
numpang rapat di kostannya. Setiap pulang dari kampus Joni selalu merasa energi
hitam kehidupannya mengurung langkahnya.
Tak mau terus menerus diteror hal
seperti itu, maka pada sebuah sore yang kelabu, ketika matahari petang yang
menampakkan dirinya, Joni melangkah gontai ke arah pangkalan angkot tidak jauh
dari kostannya. Dia mencoba mencari penghiburan kepada minat lamanya yang dulu
pernah dia rawat semenjak dari SD. Dia pergi ke toko buku Gramedia, barangkali
ada buku yang dapat memahami kecemasan dan kegelisahannya. Setelah berganti
angkot, mobil berjalan pelan ke arah Cihampelas yang macet, Wastukencana, lalu
berhenti di Purnawarman.
Waktu dia masuk, ribuan buku langsung menyambutnya.
Kecemasannya sedikit terobati. Di rak buku-buku sastra dia berhenti.
Pandangannya mencari buku yang mungkin dapat menjadi penawar “sakit”nya.
Beberapa buku Pramoedya Ananta Toer sempat dia baca narasi cover belakangnya,
menarik juga pikirnya, tapi dia letakkan lagi, sebab buku-buku Tetralogi Buru,
yang tebal-tebal itu, harganya tak dapat
dia jangkau.
Begitu pun dengan buku-buku Leo Tolstoy seperti Anna Karenina dan Tuhan Maha Tahu Tapi Dia Menunggu, harganya tidak bersahabat dengan
kantong mahasiswanya. Dia kurang tertarik dengan buku karangan Djenar Maesa Ayu,
dia sempat baca salah satu bukunya yang berjudul Cerita Pendek Tentang Cerita Cinta Pendek, kurang oke pikirnya,
maka meskipun harganya tidak terlampau mahal, buku Djenar yang bersampul merah
dia simpan lagi di rak dan dia tinggalkan.
Pandangan dan tangannya terus
berpindah dari satu buku ke buku yang lain. Tiba-tiba Joni melihat sebuah buku
bercover warna coklat muda bergambar seorang laki-laki gondrong sedang naik
sepeda kumbang dengan membawa banyak buku di kursi belakang sepeda itu. Yang
menarik perhatiannya, buku itu hanya tinggal satu, tak ada kawannya. Buku apa
ini?. Dia ambil buku itu yang kebetulan sudah tidak bersampul plastic dan di
beberapa sudutnya sudah terlihat sedikit lusuh. Seperti biasa Joni pasti
membaca tulisan di cover belakangnya.
Dan apa kata buku itu: Derita menjadi
tertanggungkan manakala dia menjadi cerita (Hannah Arend)
Derita tertanggungkan? Joni mendapat kata-kata yang
dicarinya. Kemudian dia membuka halaman pertama buku itu, dan tertulislah di
sana: “Scripta Manent Verba Volant. Yang tertulis akan mengabadi yang terucap
akan berlalu bersama angin”. Terus dia baca kata pengantar dari penerbit buku
itu. Luar biasa, kata pengantarnya saja telah membuatnya langsung mencintai
buku itu. Kata-kata telah membiusnya dan melupakan bayangan tentang masalah yang
tengah dihadapi. Cepat dia ambil buku tersebut dan langsung menuju kasir.
Dia sudah
tidak sempat memperhatikan wajah cantik kasir toko buku yang tersenyum ramah
dan berucap “terimakasih”, dia hanya ingin cepat pulang dan cepat sampai di kamarnya
untuk segera melahap buku bersampul coklat muda. Di luar toko buku, tepat
di depan sebuah pusat perbelanjaan dan pusat nongkrong, ABG-ABG Bandung menebar
pesona dengan semesta parfum dan deodorant, dengan baju seksi dan wajah cantik
menggemaskan, dengan duduk-duduk santai di restoran-restoran cepat saji. Joni
sempat melirik juga beberapa mojang cantik itu, tapi dia terus melangkah,
melaju ke arah pemberhentian angkot jurusan Kapala-Ledeng yang mangkal tidak
jauh dari lampu merah.
***
Muhidin. Ya, orang yang menulis sebagian riwayat hidupnya di
buku bersampul coklat yang berjudul Aku,
Buku, dan Sepotong Sajak Cinta, adalah dia yang sangat mencintai dunia buku
dan menulis, setidaknya begitu yang Joni baca dari kata-kata yang beserak di
beratus halaman buku tersebut.
Joni merasa banyak kesamaan dengan apa yang
dituturkan penulis. Bahwa dia juga mencintai buku, dan bahwa dia juga pernah
bahkan sering kere, kekurangan uang, dan sama-sama jauh dari orangtua. Muhidin
berhasil membuatnya melupakan masalah dan kecemasan tentang hari depan yang
sebagian misterinya masih berada di genggaman tangan Kaprog yang akan
menjatuhkan vonis untuk dirinya, “si pembuat masalah”.
Dia kini hanya larut
dalam jejalin kata-kata yang ditulis Muhidin. Joni lenyap dalam hening, dia
diterkam kesunyian buku. Dia berselancar di deretan aksara yang membuatnya
jiwanya menjadi kaya. Tak salah jika Muhidin menulis begini :
Sebuah buku laksana
teman dalam saku; adalah sebuah hiburan, tetirah, petualangan imajinasi dan
kecerdasan yang harus mendapat perhatian.
***
Tiga tahun akhirnya berlalu. Bagi Politeknik Gajah Duduk dan
semua perguruan tinggi dengan masa belajar tiga tahun, inilah saat yang tepat
untuk melepas para pengangguran baru, dikembalikan kepada orangtuanya
masing-masing setelah sekian lama terlindungi tembok kokoh nan tebal bernama
MAHASISWA.
Para wisudawan yang bekerja keras dan bernasib cukup baik biasanya
langsung diterima sebagai karyawan baru di perusahaan yang ketagihan jasa para
fresh graduate. Yang bekerja keras tapi masih nganggur harap sabar saja, sebab
mungkin jalan rejeki belum ada yang tepat. Yang malas dan masih nganggur
harap tidur lagi, sebab ini akan lebih mudah daripada malas dan terbangun,
pemalas juga manusia yang butuh makan dan ini akan merugikan cadangan sembako.
Waktu Joni lulus, aku masih duduk di semester tiga. Ya, kami memang terpaut dua
angkatan. Dia angkatan tua dan aku angkatan muda. Ya, dia memang sudah
tua.
Joni berada dalam kelompok penuh gradasi: rajin tidak,
malas juga tidak. Dia benar-benar berada di perbatasan. Kadang-kadang semangat
sekali mencari kerja, dari pagi sampai sore membanting tulang, singgah dari
walk interview ke walk interview yang lain, tapi adakalanya dia tidur seharian
seperti orang pingsan, atau hanya duduk saja di kamar kosant sambil menghabiskan
berbatang-batang rokok hasil ngutang dan membaca buku. Melihat Joni dalam
semesta dirinya yang dekil, berasap rokok, kurus, dan pengangguran, aku jadi
teringat lagu Iwan Fals :
Engkau sarjana muda
Lelah tak dapat kerja
Tak berguan ijazahmu
Empat tahun lamanya
bergelut dengan buku
Sia-sia semuanya
Kamarnya mengenaskan, berantakan, mirip medan kurusetra dua
kucing garong. Koran bekas mencari lowongan kerja tergeletak begitu saja di
lantai. Puntung rokok berdesakan di asbak buatan bekas air mineral berukiran
1,5 liter. Beberapa baju kotor menggantung di balik pintu, tempat yang nyaman
bagi nyamuk untuk mempersiapkan serangan kepada makhluk pengangguran bernama
Joni.
Sesekali dia datang ke kamarku untuk main Zuma Si Kodok Penembak, Bounce
Si Balon Doyan Pecah, atau permainan menyamakan Si Pantat Api. Semuanya memang
game abal-abal alias gampang sekali, tapi bagi Joni hal ini cukup menghiburnya
di tengah kecemasan menghadapi masadepan yang kelabu dan belum jelas.
Dia ingin
sekali membeli buku-buku novel yang tebal-tebal karangan para penulis terkenal,
tapi jangankan untuk membeli buku untuk makan sehari-hari saja dia harus sangat
sangat mengencangkan ikat pinggang. Dia hanya makan nasi sehari sekali,
kira-kira jam satu siang. Malam hari dia mengganjal perutnya yang keroncongan
dengan beberapa potong gorengan atau indomie. Subsidi dana dari kampung mulai
kurus sebab dia sudah bukan lagi mahasiswa.
***
“Bung tentu sudah membaca buku-buku karya Andrea Hirata,
Ahmad Fuadi, dan Donny Dirgantoro, bukan?. Nah, apa yang mereka tulis itu bukan
hanya untuk dibaca Bung, bukan hanya dijadikan status facebook hanya untuk
gagah-gagahan atau keren-kerenan, bukan cuma jadi bahan cicitan di twitter aja.
Tapi lebih dari itu Bung, kita harus bisa belajar untuk merealisasikannya!”
Aku diam tak meladeni omongannya.
“Hey Bung, listen to
me, kini saya sudah mendapatkan jurus yang paling manjur untuk bisa
bernafas panjang dalam menulis. Kita sebenarnya tidak usah pusing-pusing
berpikir, yang penting menulis saja. Tulis saja dengan hati, nanti setelah
selesai baru kita memeriksanya dengan pikiran.”
“Kayanya kata-kata itu pernah saya dengar?, di mana ya?. Ah,
ya..ya…itu kan kata-kata si William Forrester, Jon?!”
“Nah, itu Bung tahu. Kita ini Bung, terlalu banyak membaca,
terlalu banyak nonton film, tapi tak pernah mau belajar untuk menyerap dan
melaksanakannya pesan-pesan yang bertebaran di buku dan di film itu dalam
kehidupan sehari-sehari. Jadi sekarang otak kita penuh, pengetahuan kita luas,
pengalaman kita banyak, tapi tak pernah mau belajar untuk memperbaiki diri. Di
titik ini kita selalu kalah."
“Nah, Bung bacalah sendiri apa kata mereka itu!,” Joni
meletakkan selembar kertas yang sudah lusuh di meja dekat tv. Aku ambil dan di
kertas itu tertulis :
JONI MENGHORMATI PARA
PENULIS
- “Perasaan realistis sesungguhnya hanyalah pedal rem. Realistis seringkali berbading lurus dengan perasaan pesimis.” (Andrea Hirata)
- “Man Jadda Wajada. Siapa bersungguh-sungguh dia akan sukses.” (Ahmad Fuadi)
- “Yang bisa dilakukan makhluk bernama manusia terhadap mimpi-mimpinya adalah dia hanya tinggal mempercayainya.” (Donny Dirgantoro)
- “Kalau usiamu tak sepanjang dunia, maka perpanjanglah dengan tulisan.” (Pramoedya Ananta Toer)
- “Tahu kau Nak, kenapa kau kusayang melebihi yang lain?, karena kau menulis. Menulislah, selama engkau tak menulis kau akan hilang dari masyarakat dan dari pusaran sejarah.” (Pramoedya Ananta Toer)
- “Bacalah karya para penulis Rusia, lalu baca lagi, mereka tak kan pernah mengecewakanmu.” (Jhumpa Lahiri)
- “Pengalaman selalu menunjukkan bahwa hidup dengan usaha adalah mata yang ditutup untuk memilih buah-buahan dalam keranjang. Buah apa pun yang didapat kita tetap mendpat buah. Sedangkan hidup tanpa usaha adalah mata yang ditutup untuk mencari kucing hitam di dalam kamar gelap dan kucingnya tidak ada.” (Andrea Hirata)
***
Katanya naskah kumpulan cerpen yang dia tulis selama satu
tahun, yang dikasih judul Sebatang
Dululah, Bung! siap untuk diterbitkan. Penerbit itu bermarkas di
Yogyakarta, yang salah satu pengelolanya tak lain adalah kawannya Joni waktu
dulu kuliah di Bandung. Jadi semacam link perkawanan yang memuluskan naskah
Joni tersebut. Kawannya Joni tahu benar karakter tulisan Joni sehingga dia
berani menyodorkannya kepada editor.
Setelah mengalami banyak penolakan, naskah
yang berisi tiga puluh cerpen kisah tentang rokok dengan segala macam
romantika, ironi, dan tragedinya, kini siap untuk dilepas ke jalanan pembaca
yang terkadang sengit, tak berbelas, dan cerewet. Joni telah bersiap untuk
bergembira karena urusan finansial-nya akan terbantu. Kalau benar akhirnya
naskah ini diterbitkan menjadi buku, maka inilah anak rohani pertamanya yang
dilepas ke alam bebas untuk belajar bertemu banyak orang, untuk berani
bertarung dengan para pengkritik, untuk membuatnya menjadi lebih kuat.
“Jangan lupa Jon,
sepuluh persen disisihkan buat kawan kau ini, kata-kata ‘Sebatang Dululah,
Bung’ kan punya saya, ya semacam royaltilah Jon.”
“Hahaha…siap Bung, saya tak akan lupa hal itu. Santailah
macam di pantai, nanti kalo proyek ini sudah betul-betul oke, kita undang
sekalian Bung Erland si Penguasa Hutan Borneo untuk kita adakan semacam
syukuranlah...”
“Oh, gampang itu mah, bisa diatur.”
***
Seminggu setelah dialog pendek itu:
Waktu akan terus menggilas siapa saja yang tidak ingin
bergerak ke depan, termasuk Joni. Dia harus belajar melupakan kepahitan yang
menyerang tiba-tiba ketika rasa manis tinggal beberapa centi lagi akan hinggap.
Dia tidak boleh terus larut dalam kesedihan, dalam kekecewaan yang teramat
dalam. Dia harus terus bertumbuh, seperti pohon pisang yang tumbuh kembali setelah
batangnya ditebas. Begini mulanya :
Penerbit yang berencana mencetak kempulan cerpen Joni adalah
salahsatu penerbit yang berani membantu persalinan buku-buku “berani”. Banyak
buku yang membeberkan praktik korupsi, mafia hokum, mafia pajak, dan ideolegi
kiri, lahir dari penerbit ini. Bandit-bandit berdasi dan berduit sudah lama
mengincar penerbit ini untuk di bumi hanguskan. Mereka, para bandit di negara
yang katanya sudah reformasi, udah melek demokrasi, gemas dengan
orang-orang yang bekerja di penerbit sebab mereka tidak mempan hanya dengan
terror mental. Maka jalan membumihanguskan harus mereka lakukan untuk
melumpuhkan perputaran modal.
Penerbit yang dikelola oleh kawannya Joni dan beberapa
rekannya memang bukan penerbit dengan modal besar, mereka hanya bermarkas di
sebuah gang kecil di pinggiran kota Yogyakarta. Idealisme adalah nyawa yang
berhasil membuat mereka bertahan dari sengitnya persaingan di belantara bisnis
perbukuan dan dari serangan para bandit bermodal.
Maka di sebuah tengahan malam
ketika Yogyakarta diselimuti gelap, api tiba-tiba berkuasa di kantor penerbit
itu. Ganas, melahap apa saja yang ada di depannya, apalagi sebagian besar
penghuni ruangan itu adalah kertas-kertas yang lemah, yang musnah sekali jilat.
Pasukan pemadam kebakaran telat menjadi penyelamat dengan ala an akses jalan
yang sulit dilalui karena terlampau sempit, atau karana memang tabiatnya
seperti polisi India si jago telat?. Api terus berkobar-kobar, makhluk pemusnah
itu membunuh puluhan anak rohani yang siap diterbitkan termasuk naskah cerpen
Joni. Naskah cerpen Sebatang Dululah,
Bung! Semuanya hangus terbakar!!.
Aku masih ingat, ketika kawannya, malam itu juga langsung
menghubungi Joni untuk menginformasikan mengenai musibah kebakaran tersebut.
Sekira pukul 12.45, Joni sedang bernyanyi murung didiringi petikan gitar yang
aku mainkan :
Karena setiap lembarnya, mengalir berjuta cahaya
Karena setiap aksara membuka jendela dunia
Kata demi kata mengantarkan fantasi
Habis sudah, habis sudah
Bait demi bait pemicu anestesi
Hangus sudah, hangus sudah
Karena setiap abunya membangkitkan dendam yang reda
Karena setiap dendamnya menumbuhkan hasutan baka
(Jangan Bakar Buku – Efek Rumah Kaca)
Ini benar-benar musibah, sebab sehari sebelumnya naskah soft
copy yang disimpan di laptop punyaku hilang karena laptopnya digondol pencuri,
sedangkan soft copy yang disimpan di flashdisk Joni juga tak dapat diselamatkan
karena diserang virus goblog yang meminta flashdisk itu untuk diformat. Dan
satu-satunya cadangan adalah naskah yang sudah di-print out, itupun nasibnya
tidak jelas karena siang tadi tertinggal dan akhirnya hilang di bus kota
sewaktu Joni pergi ke tempat kawannya di Antapani. Mampus!! (irf)
No comments:
Post a Comment