(Dengan permintaan maaf kepada Alan Lightman)
***
Bayangkan jika misalnya dunia berakhir pada tahun 2047, dan seluruh warga Jakarta mengetahuinya.
Setahun sebelum kiamat, DPR RI dibubarkan. Orang-orang yang selama
ini mengatasnamakan wakil rakyat antri di studio tv menunggu giliran.
Bukan untuk menghadiri kuis kebangsaan, melainkan hendak mengakui segala
dosa-dosanya kepada rakyat. Seluruh harta hasil menjarah mereka
kembalikan ke kas negara, dan mereka pergi ke desa-desa tepi hutan untuk
berladang, sebagian lagi menjadi penyapu jalan, takmir mesjid,
kondektur bus kota, mengajar di sekolah-sekolah terpencil, penjaga
toilet terminal, dan ada juga yang menjadi pengantar koran.
Dosa-dosa personal diselesaikan di rumah. Di depan istri dan
anak-anaknya, mereka mengakui pernah berselingkuh dengan penyanyi
dangdut, sekretaris pribadi, bintang film, atau dengan sosialita kurang
ternama. Mereka pasrah, tapi tak berani untuk harakiri. Sebelum
pengakuan itu, pisau dapur dan obeng kembang sengaja disembunyikan.
Mereka menangis, sujud di depan anak-istrinya yang tengah bingung untuk
membedakan; ini sinetron atau kehidupan nyata.
Para pengembang perumahan dan apartemen tidak lagi beriklan “sebelum
harga naik”. Kerjasama dengan Fenny Rose telah dihentikan. Tak ada lagi
ambisi untuk membangun hunian-hunian tepi pantai yang indah, atau di
sekitar segitiga emas Jakarta yang potensial. Mereka hanya membangun
panti asuhan dan panti wreda. Kesadaran mencuat dalam benak, bahwa dunia
akan segera berakhir, dan segalanya akan kembali ke pemilik Agung Alam
Semesta.
Sebulan sebelum kiamat, orang-orang hilang korban penculikan
ditemukan kuburnya. Para penculik dengan rasa sesal yang sangat besar
membeberkan semuanya. Detail peristiwa dan kronologisnya mereka tulis
dalam sebuah buku tebal. Di dalam buku itu, selain nama-nama korban,
ditulis juga siapa saja yang menjadi dalang penculikan. Misteri
keberadaan Wiji Thukul dan pembunuhan Munir perlahan terkuak, dan
kemudian menjadi jelas. Para pegiat HAM yang mengikuti peristiwa
tersebut sedikit saja, rupanya menjelang kiamat para pegiat palsu telah
bertobat dari kemunafikan, dan memilih untuk tidak ikut-ikutan.
KPU dibubarkan, sebab sudah tidak akan ada lagi pemilu yang memakan
biaya besar. Partai politik berubah menjadi majelis-majelis keagamaan,
kemudian “diakuisisi” oleh para ustadz, kiai, pendeta, dan habib. Ruang
publik bersih dari polusi visual. Gambar-gambar caleg menghilang dari
pohon, tiang listrik, tembok gang, gapura, wc umum, tong sampah, dan
jembatan penyeberangan. Semuanya sebenar bersih.
Supporter sepakbola tidak lagi bermusuhan. Mereka berkumpul di GBK.
Dari Bandung, Malang, Surabaya, Medan, Makassar, Solo, Yogyakarta,
Samarinda, Tangerang, Papua, Lamongan, Kediri, Padang, Pekanbaru, dan
daerah-daerah lainnya, semuanya hadir mengikuti semacam rekonsiliasi
nasional. Sebagai tuan rumah, tentu suporter Jakarta ikut hadir juga.
Mereka menangis dan saling berpelukan. Segala dendam dan kebencian
luruh, yang tersisa hanya kata maaf. Memaafkan bekas musuh dan diri
sendiri; betapa permusuhan itu telah mereka dijalani selama
berpuluh-puluh tahun. Di titik ini kesadaran menggetarkan kemanusiaan.
Acara dipungkas dengan bersama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya. Itu
adalah anthem terakhir di stadion kebanggaan sebelum kiamat datang.
Langit pucat mendengarkan deru syahdu lagu.
Acara tv, tidak lagi menayangkan humor-humor stereoform. Acara musik
pagi pun sudah dihapuskan. Anak-anak alay berkumpul di Monas dan membuat
lingkaran-lingkaran kecil. Di satu lingkaran ada yang bergantian
membacakan puisi Rendra, Chairil Anwar, Acep zamzam Noor, Sapardi Djoko
Damono, Joko Pinurbo, Ajip Rosidi, Taufik Ismail, Sutardji, dan Sitor
Situmorang. Seseorang telah memfotocopy naskah-naskah puisi itu, dan
mereka mencoba menghayatinya.
Sementara di lingkaran yang lain ada seorang perempuan cantik yang
memainkan gitar sambil menyanyikan lagu-lagu Payung Teduh, Float, Banda
Neira, Frau, The Monophones, dan Mocca. Alay-alay tak satu pun yang tahu
liriknya, mereka sebagaimana biasanya, hanya bergoyang pelan dan
menepuk-nepukkan tangan. Lagu yang hinggap di pendengarannya begitu
asing, tak pernah mereka jumpai di studio televisi.
Sungai Ciliwung dibersihkan. Warga yang hidup di bantaran turun ke
sungai yang kotor dan memunguti sampah. Sementara pabrik-pabrik yang
selalu menggelontorkan limbah pembuangan ke sungai telah ditutup. Sungai
merdeka dari kebodohan manusia justru ketika kiamat akan segera datang.
Di Jakarta sudah tidak dijumpai tukang kerak telor dan mie rebus.
Para penjualnya telah pulang ke Garut dan Kuningan. Penjual sate pun
demikian, mereka tidak lagi mudik, melainkan pulang permanen ke arah
barat Sumatera dan timur Jawa. Yang paling banyak tersedia hanya nasi
uduk pindang tongkol, hampir di setiap gang, pagi dan petang, ibu-ibu
setengah baya masih menjualnya, termasuk mpok Hindun dekat kontrakan
saya. Selebihnya tak dapat diharapkan; warung nasi Padang yang masih
buka hanya tinggal di Senen, Kebayoran Lama, dan Mataraman. Restoran,
café, dan hotel telah tutup.
Dua minggu sebelum kiamat, jalanan tertib, meskipun tanpa kehadiran
polisi. Tak ada lagi suara klakson bersahut-sahutan dan umpatan khas
kebun binatang. Pengendara mobil dan motor, ketika lampu merah, tidak
melewati zebra cross. Ketika para pejalan kaki lewat, mereka melambaikan tangan, saling menyapa, dan tersenyum.
Sekolah dibubarkan, dan warnet ditutup. Anak-anak sekolah tidak ada lagi yang tawuran dan main game online.
Mereka bermain bola sepuasnya. Ada pula yang bersepeda keliling kota
tanpa takut diserempet mobil yang sopirnya ugal-ugalan dan setengah
mabuk. Anak-anak perempuan menanam dan merawat bunga di rumahnya
masing-masing. Buku-buku di perpustakaan dipindahkan ke taman-taman
kota, dan tukang becak dengan malu-malu mulai membacanya.
Tak ada lagi yang bekerja lembur, sebab semua perusahaan telah
ditutup. Dua minggu terakhir dalam kehidupannya, para pegawai, karyawan,
buruh, kuli (kasta yang sebetulnya sama) menghabiskan waktu di rumah
bersama keluarganya. Mereka memasak bersama, bercanda dengan
anak-anaknya, membersihkan rumah, memutar lagu-lagu favorit, dan
melepaskan burung-burung yang selama ini mereka pelihara dalam sangkar.
Kasih sayang dan perhatian kepada sesama anggota keluarga tumbuh subur
di dua minggu terakhir riwayat kehidupan.
Patung yang ada Pancoran, Bundaran Senayan, dan lapangan Banteng,
tiba-tiba hidup dan mereka pergi menuju bundaran HI. Patung Selamat
Datang pun turun dari singgasananya. Mereka kemudian duduk melingkar di
tepi kolam itu, berbincang tentang Presiden Indonesia, Gubernur Jakarta,
serta banjir dan macet yang sudah bosan mereka lihat. Ada yang
mengidolakan Bang Ali Sadikin, ada pula yang mengkritik sanjung puja
warga terhadap Jokowi, yang menurut mereka terlalu berlebihan.
Sehari menjelang kiamat, Jakarta sunyi dan semua warga terdiam,
kecuali satu orang. Dia adalah wak Haji yang dikelilingi tujuh orang
pemuda. Mereka duduk di tengah jalan Suprapto, Cempaka Putih. Beliau
membacakan sebuah sabda yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad :
Sekiranya hari kiamat hendak terjadi, sedangkan di tangan salah seorang di antara kalian ada bibit kurma, maka apabila dia mampu menanamnya sebelum terjadinya kiamat, maka hendaklah dia menanamnya. [ ]
No comments:
Post a Comment