23 April 2014

Ngopi (di) Jakarta


 Kurang atau lebih, setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi. ~ Joko Pinurbo

Bahkan ketika malam telah sempurna menelan siang, dan suhu udara sudah mulai turun, Jakarta adalah tempat di mana kopi harus bergelas-gelas dituangkan jika kita taat kepada sepenggal puisi Joko Pinurbo di atas. Kalau mau jujur, rezeki bukan sekadar yang ditakar di penghujung hari, penghujung bulan, atau penghujung apa pun yang menandai masuknya uang ke kantong kita sebagai pendapatan. Rezeki lebih dari sekadar alat tukar yang berada di genggaman.

Dalam timbangan agama muncul kata “syukur” yang menunjuk kepada rasa terimakasih terhadap apa pun yang membuat kita bahagia, senang (sudah gajian,  misalnya), atau bernafas lega. Lebih dari itu, “syukur” adalah penanda, semacam garis demarkasi vertical antara “Yang Maha (Kuasa)” dan “yang biasa (lemah)”.

Pada kelahiran anak, hutang yang terbayar, istri yang cantik, selamat dari kecelakaan lalu-lintas, bergoyang dalam irama dangdut, timnas U19 juara Piala AFF, sarapan lontong sayur, punya pacar yang pengertian, sembuh dari sakit, kenaikan gaji, dagangan laris-manis, dan hal-hal lain yang mampu menenteramkan ego; biasanya kata “syukur” punya tempat tersendiri yang  terhormat. Dalam pengertian yang luas, hal-hal demikian adalah rezeki juga.

Maka dari sepenggal puisi Joko Pinurbo itu dapat kita ambil dua kata; “rezeki” dan “kopi”. Di Jakarta, dua kata ini—di antara umpat dan serapah mengutuk kebusukan kota—mestinya bisa berjejalin; mereda dalam hening, mengendap, lalu mencuat sebagai kesadaran yang pada akhirnya mengalir pada dua arah (personal dan sosial), namun bertemu dalam satu muara yang sama (damai dan lega, meskipun tidak sepenuhnya).

***

Dalam pemahaman yang sederhana, kerja dalam balutan profesi, sebagai sebuah contoh menuju mendapatkan rezeki, bisa diibaratkan sebagai gerak personal, individual, kalau pun pada kenyataannya selalu dan mesti ada interaksi sosial dalam prosesnya. Namun kerja (apalagi di jaman yang kompetitif seperti sekarang) sesungguhnya adalah himpunan gerak tiap individu yang masing-masing mempunyai ambisi, target, dan cita-cita sendiri. Di titik ini kita bisa menyadari kenapa ada saja rekan kerja yang saling jegal, bersaing tidak sehat, dan aksi vulgar dengan saling lempar tuduhan di jejaring sosial, misalnya. Pedagang pun sama; saling banting harga, serobot pelanggan, atau menyebar fitnah-fitnah yang menyerang saingan. Tidak jarang kita pun mendengar kabar tentang pertumpahan darah akibat rebutan lahan parkir.

Menuju mendapatkan rejeki seringkali membutuhkan proses yang tidak gampang. Di sana ada keringat, kecewa, tangis, perjuangan, amarah, teriak, kesabaran, urat-urat menegang, dan stress.

Sebagai contoh, siapa yang tidak merasakan debar jantung, dan ketegangan yang sangat ketika adu pinalti antara Indonesia melawan Vietnam di final Piala AFF baru-baru ini?. Menuju juara, menuju rezeki yang membahagiakan itu, kita mesti melewati segala rupa gelombang emosional yang bukan main-main. Tetangga saya sampai berteriak-teriak setiap kali algojo-algojo Indonesia berhasil merobek gawang lawan. Dan sebaliknya, dia hening komat-kamit memanjatkan do’a, berharap agar pemain-pemain lawan gagal mengeksekusi. Stress dari penendang ke penendang.

Sakit menuju sembuh, menuju rejeki yang menyenangkan itu, juga harus melewati fase yang tidak mudah. Di sana ada keluh, rintih, bahkan mungkin tangis, asa untuk sembuh ditakar di tengah kesal dan kesabaran.

Buruh yang berdemo demi kenaikan gaji adalah contoh yang terlalu jelas, di mana kosa-kata perjuangan mendapatkan marwahnya yang paling populer.

Begitulah, proses menuju mendapatkan rezeki, yang sebagian di antaranya sebagai laku personal; kerap menegangkan urat syaraf, meledakkan emosi, dan mengundang tangis. Dia adalah kobar api yang belum reda.

***

Api menjadi bara, kemudian berganti abu adalah keniscayaan. Serupa siklus hidup dan mati. Tapi sebagaimana hidup yang bisa kembali bersarang pada jiwa yang berbeda, api pun bisa kembali berkobar pada benda lain yang dia bakar. Di sini, kopi dan semangat, pada “menjelang-proses-menuju-mendapatkan” rezeki kita tempatkan dengan rendah hati.

Memang tidak semua orang, mungkin hanya hampir, bahwa pada beberapa kesempatan selepas laku mencari rezeki, kopi adalah pilihan terbaik untuk melepas lelah dan penat. (Biasanya) sambil merokok, orang-orang menyesap kopi. Pelan-pelan, penuh perasaan, sementara keringat mulai kering, dan urat-urat kembali mengendur. Kobar seharian perlahan mereda dan menjadi bara; menyala di dalam.

Dalam keseharian kita, kopi begitu kental dengan simbol-simbol kebersaman, kehidupan sosial yang cair, sersan (serius tapi santai). Ini tentu tidak bisa lepas dari peran warung kopi yang mewadahi hal-hal tersebut. Kita masih ingat grup lawak legendaris; Dono, Kasino, Indro, mereka mulanya muncul dari sebuah acara di radio yang bertajuk Obrolan Santai di warung Kopi. Warung kopi, di beberapa daerah di Indonesia, memang menjadi tempat berinteraksi yang menarik. Semacam lab sosial tempat orang-orang mencurahkan segala hal, terutama keruwetan hidup.

Dalam literasi fiksi—saya sebut fiksi sebab terbuhul dalam bentuk novel, ada referensi menarik mengenai kehidupan sosial di warung kopi. Kita bisa membuka lagi karya Andrea Hirata; “Padang Bulan” dan “Cinta di dalam Gelas”. Meskipun pendadaran cerita ditulis dari sudut pandang orang pertama, dan deskripsinya hanya “sekadar” hasil pengamatan, namun kurang lebih bisa memberi gambaran mengenai fungsi warung kopi di kehidupan sosial.

Dalam satu paragraph, Andrea menulis begini; “Mereka yang menghirup kopi pahit umumnya bernasib sepahit kopinya. Makin pahit kopinya, makin berlika-liku petualangannya. Hidup mereka penuh intaian mara bahaya. Cinta? Berantakan. Istri? Pada minggat. Kekasih? Berkhianat di atas tempat tidur mereka sendiri! Bayangkan itu. Bisnis? Mereka kena tipu. Namun, mereka tetap mencoba dan mencipta. Mereka naik panggung dan dipermalukan. Mereka menang dengan gilang-gemilang lalu kalah tersuruk-suruk. Mereka jatuh, bangun, jatuh, dan bangun lagi. Dalam dunia pergaulan zaman modern ini mereka disebut para player.”

Pengamatan Andrea sedikit banyak menunjukkan bahwa warung kopi dihuni oleh mereka yang telah kenyang berjibaku di medan kehidupan. Mereka tegang, stress, kecewa, lalu mencoba berdamai di warung kopi. Di titik ini warung kopi menjadi “ruang publik” yang ideal di tengah kehidupan yang dinamis (untuk tidak menyebut keras), tempat orang-orang membuang sauh, untuk sekadar melemaskan ketegangan, meredakan bara yang menyala seharian, juga berbagi cerita. Dan Jakarta adalah medan laga yang sempurna untuk mempunyai banyak warung kopi. Pejuang-pejuang kehidupan di ibu kota yang lelah, atau bahkan mungkin kalah, perlu ditadah oleh wadah yang tidak perlu istimewa, tapi bisa merawat “luka” agar tidak terlalu parah.

Kenyataan hari ini, Jakarta telah berlaksa rupa menjadi jalan-jalan yang di kuasai mini market cum tempat nongkrong. Orang-orang, terutama anak muda betah berlama-lama di sana. Warung kopi konvensional yang sederhana, yang tempatnya lumayan gerah sebab tempat duduk berdekatan dengan kompor tempat memanaskan air, meskipun kurang tepat memakai kata–mulai ditinggalkan.

Dari sisi tempat, warung kopi telah mempunyai perluasan makna, dari sekadar tempat yang sederhana dan menu sederhana, menjadi mini market dengan standar yang menyesuaikan dengan tuntutan jaman. Tapi poinnya bukan terletak pada revolusi tempat, namun pada interaksi sosial di dalamnya. Sebab di warung kopi biasa atau pun di mini market cum tempat nongkrong, keduanya adalah tempat membuang sauh orang-orang yang hendak menghela nafas.

Maka di muara jejalin paragraph ini, “Ngopi (di) Jakarta” dapatlah dikatakan sebagai sebuah usaha untuk melarung remah-remah rasa lelah dan kalah, perayaan mendapatkan rezeki, merekam cerita-cerita yang terjadi di Jakarta, atau apa pun yang tidak punya definisi namun masih bica diingat untuk kemudian dicatat. Tentu himpunan catatan yang lahir kemudian bukan merupakan sebuah parade tentang canda-tawa semata, tapi lebih beragam, selaras dengan gejolak kehidupan sehari-hari.

Seperti juga kopi, sebagaimana ditulis Dewi Lestari : “Sesempurna apapun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan.” Demikian juga hidup di Jakarta ini. [ ]

No comments: