Bahkan ketika malam telah sempurna menelan siang, dan suhu udara
sudah mulai turun, Jakarta adalah tempat di mana kopi harus
bergelas-gelas dituangkan jika kita taat kepada sepenggal puisi Joko
Pinurbo di atas. Kalau mau jujur, rezeki bukan sekadar yang ditakar di
penghujung hari, penghujung bulan, atau penghujung apa pun yang menandai
masuknya uang ke kantong kita sebagai pendapatan. Rezeki lebih dari
sekadar alat tukar yang berada di genggaman.
Dalam timbangan agama muncul kata “syukur” yang menunjuk kepada rasa
terimakasih terhadap apa pun yang membuat kita bahagia, senang (sudah
gajian, misalnya), atau bernafas lega. Lebih dari itu, “syukur” adalah
penanda, semacam garis demarkasi vertical antara “Yang Maha (Kuasa)” dan
“yang biasa (lemah)”.
Pada kelahiran anak, hutang yang terbayar, istri yang cantik, selamat
dari kecelakaan lalu-lintas, bergoyang dalam irama dangdut, timnas U19
juara Piala AFF, sarapan lontong sayur, punya pacar yang pengertian,
sembuh dari sakit, kenaikan gaji, dagangan laris-manis, dan hal-hal lain
yang mampu menenteramkan ego; biasanya kata “syukur” punya tempat
tersendiri yang terhormat. Dalam pengertian yang luas, hal-hal demikian
adalah rezeki juga.
Maka dari sepenggal puisi Joko Pinurbo itu dapat kita ambil dua kata;
“rezeki” dan “kopi”. Di Jakarta, dua kata ini—di antara umpat dan
serapah mengutuk kebusukan kota—mestinya bisa berjejalin; mereda dalam
hening, mengendap, lalu mencuat sebagai kesadaran yang pada akhirnya
mengalir pada dua arah (personal dan sosial), namun bertemu dalam satu
muara yang sama (damai dan lega, meskipun tidak sepenuhnya).
***
Dalam pemahaman yang sederhana, kerja dalam balutan profesi, sebagai
sebuah contoh menuju mendapatkan rezeki, bisa diibaratkan sebagai gerak
personal, individual, kalau pun pada kenyataannya selalu dan mesti ada
interaksi sosial dalam prosesnya. Namun kerja (apalagi di jaman yang
kompetitif seperti sekarang) sesungguhnya adalah himpunan gerak tiap
individu yang masing-masing mempunyai ambisi, target, dan cita-cita
sendiri. Di titik ini kita bisa menyadari kenapa ada saja rekan kerja
yang saling jegal, bersaing tidak sehat, dan aksi vulgar dengan saling
lempar tuduhan di jejaring sosial, misalnya. Pedagang pun sama; saling
banting harga, serobot pelanggan, atau menyebar fitnah-fitnah yang
menyerang saingan. Tidak jarang kita pun mendengar kabar tentang
pertumpahan darah akibat rebutan lahan parkir.
Menuju mendapatkan rejeki seringkali membutuhkan proses yang tidak
gampang. Di sana ada keringat, kecewa, tangis, perjuangan, amarah,
teriak, kesabaran, urat-urat menegang, dan stress.
Sebagai contoh, siapa yang tidak merasakan debar jantung, dan
ketegangan yang sangat ketika adu pinalti antara Indonesia melawan
Vietnam di final Piala AFF baru-baru ini?. Menuju juara, menuju rezeki
yang membahagiakan itu, kita mesti melewati segala rupa gelombang
emosional yang bukan main-main. Tetangga saya sampai berteriak-teriak
setiap kali algojo-algojo Indonesia berhasil merobek gawang lawan. Dan
sebaliknya, dia hening komat-kamit memanjatkan do’a, berharap agar
pemain-pemain lawan gagal mengeksekusi. Stress dari penendang ke
penendang.
Sakit menuju sembuh, menuju rejeki yang menyenangkan itu, juga harus
melewati fase yang tidak mudah. Di sana ada keluh, rintih, bahkan
mungkin tangis, asa untuk sembuh ditakar di tengah kesal dan kesabaran.
Buruh yang berdemo demi kenaikan gaji adalah contoh yang terlalu
jelas, di mana kosa-kata perjuangan mendapatkan marwahnya yang paling
populer.
Begitulah, proses menuju mendapatkan rezeki, yang sebagian di
antaranya sebagai laku personal; kerap menegangkan urat syaraf,
meledakkan emosi, dan mengundang tangis. Dia adalah kobar api yang belum
reda.
***
Api menjadi bara, kemudian berganti abu adalah keniscayaan. Serupa
siklus hidup dan mati. Tapi sebagaimana hidup yang bisa kembali
bersarang pada jiwa yang berbeda, api pun bisa kembali berkobar pada
benda lain yang dia bakar. Di sini, kopi dan semangat, pada
“menjelang-proses-menuju-mendapatkan” rezeki kita tempatkan dengan
rendah hati.
Memang tidak semua orang, mungkin hanya hampir, bahwa pada beberapa
kesempatan selepas laku mencari rezeki, kopi adalah pilihan terbaik
untuk melepas lelah dan penat. (Biasanya) sambil merokok, orang-orang
menyesap kopi. Pelan-pelan, penuh perasaan, sementara keringat mulai
kering, dan urat-urat kembali mengendur. Kobar seharian perlahan mereda
dan menjadi bara; menyala di dalam.
Dalam keseharian kita, kopi begitu kental dengan simbol-simbol
kebersaman, kehidupan sosial yang cair, sersan (serius tapi santai). Ini
tentu tidak bisa lepas dari peran warung kopi yang mewadahi hal-hal
tersebut. Kita masih ingat grup lawak legendaris; Dono, Kasino, Indro,
mereka mulanya muncul dari sebuah acara di radio yang bertajuk Obrolan Santai di warung Kopi. Warung
kopi, di beberapa daerah di Indonesia, memang menjadi tempat
berinteraksi yang menarik. Semacam lab sosial tempat orang-orang
mencurahkan segala hal, terutama keruwetan hidup.
Dalam literasi fiksi—saya sebut fiksi sebab terbuhul dalam bentuk
novel, ada referensi menarik mengenai kehidupan sosial di warung kopi.
Kita bisa membuka lagi karya Andrea Hirata; “Padang Bulan” dan “Cinta di
dalam Gelas”. Meskipun pendadaran cerita ditulis dari sudut pandang
orang pertama, dan deskripsinya hanya “sekadar” hasil pengamatan, namun
kurang lebih bisa memberi gambaran mengenai fungsi warung kopi di
kehidupan sosial.
Dalam satu paragraph, Andrea menulis begini; “Mereka yang
menghirup kopi pahit umumnya bernasib sepahit kopinya. Makin pahit
kopinya, makin berlika-liku petualangannya. Hidup mereka penuh intaian
mara bahaya. Cinta? Berantakan. Istri? Pada minggat. Kekasih? Berkhianat
di atas tempat tidur mereka sendiri! Bayangkan itu. Bisnis? Mereka kena
tipu. Namun, mereka tetap mencoba dan mencipta. Mereka naik panggung
dan dipermalukan. Mereka menang dengan gilang-gemilang lalu kalah
tersuruk-suruk. Mereka jatuh, bangun, jatuh, dan bangun lagi. Dalam
dunia pergaulan zaman modern ini mereka disebut para player.”
Pengamatan Andrea sedikit banyak menunjukkan bahwa warung kopi dihuni
oleh mereka yang telah kenyang berjibaku di medan kehidupan. Mereka
tegang, stress, kecewa, lalu mencoba berdamai di warung kopi. Di titik
ini warung kopi menjadi “ruang publik” yang ideal di tengah kehidupan
yang dinamis (untuk tidak menyebut keras), tempat orang-orang membuang
sauh, untuk sekadar melemaskan ketegangan, meredakan bara yang menyala
seharian, juga berbagi cerita. Dan Jakarta adalah medan laga yang
sempurna untuk mempunyai banyak warung kopi. Pejuang-pejuang kehidupan
di ibu kota yang lelah, atau bahkan mungkin kalah, perlu ditadah oleh
wadah yang tidak perlu istimewa, tapi bisa merawat “luka” agar tidak
terlalu parah.
Kenyataan hari ini, Jakarta telah berlaksa rupa menjadi jalan-jalan
yang di kuasai mini market cum tempat nongkrong. Orang-orang, terutama
anak muda betah berlama-lama di sana. Warung kopi konvensional yang
sederhana, yang tempatnya lumayan gerah sebab tempat duduk berdekatan
dengan kompor tempat memanaskan air, meskipun kurang tepat memakai
kata–mulai ditinggalkan.
Dari sisi tempat, warung kopi telah mempunyai perluasan makna, dari
sekadar tempat yang sederhana dan menu sederhana, menjadi mini market
dengan standar yang menyesuaikan dengan tuntutan jaman. Tapi poinnya
bukan terletak pada revolusi tempat, namun pada interaksi sosial di
dalamnya. Sebab di warung kopi biasa atau pun di mini market cum tempat
nongkrong, keduanya adalah tempat membuang sauh orang-orang yang hendak
menghela nafas.
Maka di muara jejalin paragraph ini, “Ngopi (di) Jakarta” dapatlah
dikatakan sebagai sebuah usaha untuk melarung remah-remah rasa lelah dan
kalah, perayaan mendapatkan rezeki, merekam cerita-cerita yang terjadi
di Jakarta, atau apa pun yang tidak punya definisi namun masih bica
diingat untuk kemudian dicatat. Tentu himpunan catatan yang lahir
kemudian bukan merupakan sebuah parade tentang canda-tawa semata, tapi
lebih beragam, selaras dengan gejolak kehidupan sehari-hari.
Seperti juga kopi, sebagaimana ditulis Dewi Lestari : “Sesempurna apapun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan.” Demikian juga hidup di Jakarta ini. [ ]
No comments:
Post a Comment