Duduk saya di warung kopi, tak jauh dari kali yang mengalir pelan, di dekat jalan Kodamar, Sumur Batu. Sekira pukul delapan malam waktu itu. Angin berhembus kencang pertanda akan segera turun hujan. Langit tak menyisakan bintang.
“Mama mau ke mana?,” itu suara anak kecil. “Tunggu bentar, mama mau
buang sampah!,” saya yakin itu suara ibu-ibu, pasti orangtua anak kecil
tadi.
Saya bertanya sama si Ijong, si penjual kopi, ihwal ibu yang hendak membuang sampah. “Bentar lagi hujan mas, ibu itu pasti buang sampahnya ke kali, biar sampahnya bisa langsung hanyut dan ga nyangkut-nyangkut, emang
udah biasa di sini mah.” Dia menambahkan, padahal tukang sampah
keliling yang biasa ngambil sampah ke rumah-rumah, setiap hari datang.
***
Masatsugu Hoshita (63 tahun), seperti ditulis harian Kompas edisi 3
November 2013, adalah seorang direktur di sebuah perusahaan manufaktur,
yang juga anggota Jakarta Osoji Club–sebuah komunitas yang digagas
ekspatriat asal Jepang yang sering memunguti sampah di sekitaran GBK.
“Pertama datang ke Jakarta, saya kaget sekali karena banyak sampah.
Padahal, Jakarta ini sebenarnya indah, banyak pohon. Sayang sekali kotor
oleh sampah di mana-mana.” Kata Masatsugu.
Setidaknya setiap minggu pagi, sekelompok orang Jepang (orang
Indonesia bergabung belakangan ini) rajin memunguti sampah yang
berserakan di sekitar Gelora Bung Karno. Ya, di sekitar stadion
sepakbola kebanggaan itu. Sering kita menangis haru dalam dekapan lagu
Indonesia Raya yang dinyanyikan puluhan ribu penonton sepakbola di dalam
stadion, tapi sampai pada membuang sampah sekalipun kita mesti belajar
dari orang Jepang. Kita entah menangisi apa.
Anggap saja sepakbola dan sampah tidak ada hubungannya, lagi pula
setiap selesai pertandingan pun stadion dipastikan menjadi lautan sampah
juga. Lalu, sudah tepatkah cara kita menimbang nasionalisme?. Rahmat
Abdullah pernah menulis dalam majalah Tarbawi di rubrik Asasiyat, “Sudah
berapa tahun bangsa Tuan merdeka?. Haruskah kembali menjejalkan kata
dewasa kepada bangsa yang masih belum bisa menurunkan penumpang dari
atas gerbong kereta, menjadikan sungai sebagai kloset, shelter-shelter
penuh vandalisme, dan wilayah niaga penuh licik dan dusta?.”
Frase “sungai sebagai kloset” siapa yang bisa menampik?. Di Jakarta
ini, barangkali hampir 99 persen sungai telah membusuk. Limbah industri
dan rumahtangga menjadi penghuni tetap aliran air yang mengalir membelah
kota. Pendidikan formal Anda tinggi?, tidak ada jaminan bahwa Anda akan
memperlakukan sungai sebagaimana mestinya, dengan minimal tidak
mengotorinya dengan sampah.
Jokowi, pada peringatan 100 hari kepemimpinannya di Jakarta, menerima
keluhan dari seorang warga. Pintu air di dekat rumahnya sering penuh
dengan tumpukan sampah. “Besok saya kirim orang dan alat berat untuk
membersihkan sampah itu, tapi tolong jangan membuang lagi sampah ke
sungai!,” kata Jokowi. Gubernur itu paham, bahwa persoalan sampah
sesungguhnya adalah masalah perilaku.
Tahun 2009, Kompas melakukan Ekspedisi Ciliwung. Hasil kegiatannya
kemudian ditulis dalam sehimpunan laporan jurnalistik. Sebuah benang
merah ditarik, bahwa Ciliwung yang mulanya sebagai mata air kini telah
berubah menjadi (sumber) air mata dengan bencana-bencana yang
ditimbulkannya. Bencana ini salahsatunya karena warga masih saja
menjadikan sungai sebagai keranjang sampah raksasa. Yuliana Rini
menulis, “limbah rumah tangga yang menjadi beban Ciliwung jumlahnya
mencapai 338 ribu ton per tahun. Dari seluruh sampah rumah tangga yang
dihasilkan masyarakat, sebagian besar, yakni 76 persen, berasal dari
berbagai pemukiman di wilayah DKI Jakarta.”
Jakarta yang sangat padat sudah tentu menghasilkan sampah yang luar
biasa banyak. Apalagi sekarang hampir setiap yang dijual selalu
menggunakan kemasan, dan kemasan itu tentu pada akhirnya akan menjadi
sampah. Jika persoalan kemasan itu sulit untuk ditekan, kenapa kita
tidak berusaha memulainya dari memperbaiki perilaku membuangnya?.
Pemimpin datang silih berganti, sebagian ada yang membawa solusi. Tapi
sehebat apa pun solusinya, selama perilaku membuang sampah tidak
diperbaiki semuanya hanya menjadi omong kosong. Telunjuk bisa diarahkan
ke mana saja sekehendak hati, ke arah pemimpin atau ke arah diri
sendiri.
Di titik ini kita, sebagaimana kata Farid Gaban, mungkin sudah bisa
untuk mulai ‘belajar tidak bicara’. Ini bukan frase untuk membungkam
aspirasi, namun lebih sebagai cermin.
Apa sesungguhnya sampah?. Bukankah segala sesuatu yang dirasa sudah
tidak ada manfaatnya?. Dari kemasan makanan, buku tulis yang sudah tidak
terpakai, sampai kulkas sekalipun jika manfaatnya sudah tidak ada
semuanya menjelma menjadi sampah. Pernah suatu kali saya juga melihat
kasur yang dibuang ke sungai. Jika dikaitkan dengan perilaku membuang
sampah sembarangan, bukankah semuanya bermula dari diri sendiri?. Kita
telah terlampau pandai mengkritik pemerintah atas kebijakan-kebijakan
pengelolaan sampah, namun jarang disadari bahwa sesungguhnya ibukota
sampah itu adalah diri kita sendiri. [ ]
No comments:
Post a Comment