08 June 2017

Kisah Klasik Catatan Perjalanan Bujangga Manik



Salah satu naskah sastra Sunda kuna, bahkan bisa dibilang salah satu naskah yang terpenting, adalah perjalanan Bujangga Manik menyusuri Pulau Jawa dan Bali. Naskah ini ditulis dalam larik-larik delapan suku kata—bentuk terikat dalam puisi cerita Sunda kuno, yang ditulis di atas daun palem yang tersimpan di perpustakaan Bodleian di Oxford (Inggris) sejak 1627 atau 1629.

Bujangga Manik adalah seorang bangsawan Kerajaan Sunda (Pakuan Pajajaran) yang memilih menjadi rahib Hindu-Sunda yang berkelana ke beberapa tempat suci untuk mencari tempat untuk masa akhir hidupnya. Dalam naskah (baris 663-667) yang tertuang di buku Tiga Pesona Sunda Kuna karya J. Noorduyn (Direktur KITLV yang pensiun pada 1991) dan A. Teeuw (Profesor Emeritus bidang Bahasa dan Sastera Melayu dan Indonesia di Universitas Leiden) tertulis:

“Nyiar lemah pamasaran/ nyiar tasik panghanyutan/ pigeusaneun aing paéh/ pigeusaneun nunda raga.”

“Mencari tempat untuk pekuburan/ mencari telaga untuk tenggelam/ tempat untuk kematianku/ tempat untuk meninggalkan badan.”

Bujangga Manik melakukan perjalanannya sebanyak dua kali. Yang pertama dari Pakancilan di Pakuan Pajajaran sampai ke Pamalang di Jawa bagian tengah. Ia pulang karena rindu kepada ibunya. Perjalanan kedua dilakukan dari Pakancilan melewati Jawa bagian tengah, Jawa bagian timur, sampai Bali. Lalu kembali ke Jawa bagian barat dan berhenti di Gunung Ratu, tak jauh dari kaki Gunung Patuha, dan tak pernah kembali lagi. Ia wafat di sana.

Dalam Bujangga Manik dan Studi Sunda, A. Teeuw memperkirakan bahwa kisah perjalanan Bujangga Manik berlangsung atau ditulis pada masa Kesultanan Malaka masih menguasai jalur perniagaan Nusantara, sebelum jatuh ke tangan Portugis pada 1511.

Kenapa Bujangga Manik memilih menjadi rahib dan meninggalkan kehidupan istana? Dalam Suluk Abdul Jalil Volume 4 diterangkan bahwa kondisi Dayeuh Pakuan Pajajaran waktu itu ibarat surga. Kemakmuran dan kemuliaan tersuguh di ibu kota kerajaan Sunda itu. Namun, hal tersebut hanya dinikmati segelintir kalangan saja yang dekat dengan pusat kekuasaan. Sementara mayoritas masyarakat adalah para kawula dengan status budak belian yang setiap saat bisa diperjualbelikan. Hal itulah yang membuat Bujangga Manik memilih berkelana meninggalkan pusat kekuasaan.

Pada perjalanannya yang kedua, ada satu dorongan tambahan yang membuat Bujangga Manik segera meninggalkan ibunya dan kehidupan di lingkungan istana: dia dilamar seorang perempuan cantik dan ibunya menyarankan untuk menerima lamaran tersebut. Seorang kurir yang bernama Jompong Larang disuruh perempuan yang melamar Bujangga Manik untuk menyampaikan maksudnya, sembari membawa sirih-pinang yang ditata di atas baki, ditutup dengan sapu tangan, dan tersusun begitu rapi, dan rupa-rupa pemberian lainnya. 

Ibunya berkata pada baris 535-545:

“Anaking, haja lancanan/ karunya ku na tohaan/ sugan sia hamo nyaho/ tohaan geulis warangan/ rampés rua rampés ruah/ teher geulis undahagi/ hapitan karawaléa/ buuk ragi hideung teuleum/ ceta hamo diajaran/ na geulis bawa ngajadi/ na éndah sabot ti pangpang/ hanteu papahianana.”   

“Ananda, layanilah dengan serius/ kasihan terhadap puteri/ barangkali ananda tidak tahu/ puteri cantik pantas diperisteri/ cantik rupa baik perilaku/ bahkan berperawakan indah semampai/ gadis pingitan juga setia/ rambut hitam bagai dicelup/ terampil tanpa harus diajari/ cantik bawaan semenjak lahir/ jelita saat masih dikandung/ tiada yang menandingi.”

Mendengar perkataan ibunya, Bujangga Manik bukannya menurut dan menerima lamaran, ia malah menyuruh untuk mengembalikan semua pemberian perempuan yang melamarnya. Ia menganggap bahwa kata-kata ibunya terlalu berlebihan, terlampau memuji, dan hal itu menurutnya adalah perbuatan terlarang. Pada baris 553-562 Bujangga manik berkata:

“Leumpang bawa pulang deui/ leumpang reujeung si Jompong/ ka dalem ka na tohaan/ seupaheun ta bawa deui/ buah reumbeuy bawa deui/ piburateun pihiaseun/ éta bawa pulang deui/ pikaéneun pisabukeun/ kalawan keris maléla/ leumpang bawa pulang deui.”

“Pergi dan bawalah kembali/ sekalian pulangkanlah bersama si Jompong/ ke istana kepada tuan puteri/ sirih-pinang itu bawa kembali/ berbagai persembahan bawa kembali/ bahan obat-obatan dan bahan perhiasan/ itu semua kembalikan lagi/ bahan pakaian dan bahan selendang/ termasuk keris baja/ bawalah pulang kembali.”

Setelah itu Bujangga Manik mengungkapkan isi hatinya kepada sang ibu. Ia mengutarakan bahwa apa yang disarankan ibunya untuk menerima lamaran tersebut adalah jalan yang salah, jalan menuju tempat kematian, jalan ke kuburan, dan menyebarkan kejelekan. Ia merasa tak nyaman, dan ibunya dianggap telah tersesat. Kemudian ia pamit untuk yang penghabisan sebelum kembali melakukan perjalanan. Pada baris 642-650 Bujangga Manik berucap:

“Ambuing karah sumanger/ pawekas pajeueung beungeut/ ambu kita deung awaking/ sapoé ayeuna ini/ pajeueung beungeut deung aing/ mau nyorang picarék deui/ mau ma ti na pangimpian/ pajeueung beungeut di bulan/ patempuh awak di angin.”

“Karena itu, bunda selamat tinggal/ untuk yang terakhir bertatap muka/ kita, bunda bersama denganku/ hanya sehari inilah/ bertatap muka denganku/ tak kan pernah berbincang lagi/ kecuali hanya dalam mimpi/ saling tatap muka di bulan/ bersentuh tubuh di angin.”

Setelah bertahun-tahun menjelajah daerah-daerah di Pulau Jawa dan Bali, Bujangga Manik atau Ameng Layaran kemudian menetapkan tempatnya yang terakhir, tempat untuk berpisahnya raga dan sukma. Pada baris 1396-1407 ia menulis:

“Sadiri aing ti inya/ sacunduk ka Gunung Ratu/ Sanghiang Karang Caréngcang/ éta huluna Cisokan/ landeuhan bukit Patuha/ heuleut-heuleut Lingga Payung/ nu awas ka Kreti Haji/ Momogana teka waya/ neumu lemah kabuyutan/ na lemah ngalingga manik/ teherna dek sri mangliput/ ser manggung ngalingga payung.”

"Sepergiku dari sana/ sampai ke Gunung Ratu/ Sanghiang Karang Carengcang/ itulah hulu sungai Cisokan/ di kaki Gunung Patuha/ batas antara Lingga Payung/ yang bisa memandang jelas ke Kreti Haji/ berharap semoga terbukti menemukan tanah yang suci/ tempat yang menyerupai tiang permata/ lalu akan kutudungi/ mengembang ke atas bagaikan payung bertiang.”

Lalu ia mendeskripsikan kematiannya. Hal ini yang kemudian menimbulkan pelbagai pertanyaan terhadap naskah ini yang dinilai banyak mengandung masalah kepengarangan. Di luar hal tersebut, berikut bunyi tentang kematian itu pada baris 1443-1452:

“Pati aing hanteu gering/ hilang tanpa sangkan lara/ mecat sakéng kamoksahan/ diri na aci wisésa/ mangkat na sarira ageung/ ngaloglog anggeus nu poroc/ atma mecat ti pasambung/ aci mecat ti na atma/ pahi masah kaleumpangan.”

"Kematianku tanpa sakit/ meninggal bukan karena derita/ melesat menuju kebebasan/ kepergian sang sukma/ keluar dari raga kasar/ copot sesudah yang terakhir/ sukma lepas dari ikatan/ ruh lepas dari sukma/ sama-sama lepas dan pergi.”

Yang menonjol dari naskah ini adalah banyaknya nama tempat yang disebutkan selama perjalanan. J. Noorduyn dalam Perjalanan Bujangga Manik Menyusuri Tanah Jawa: Data Topografis dari Sumber Sunda Kuno terjemahan Iskandar Wassid, menemukan sedikitnya 450 nama tempat, dan sebagian besar bersesuaian dengan topografi Pulau Jawa. Ia pun kemudian membuat peta topografi Pulau Jawa berdasarkan naskah tersebut.

“Pemaparan ini terutama ditekankan pada penyebutan nama-nama tempat, daerah, sungai, dan gunung yang terletak pada rute atau dekat rute yang disusuri,” tulis J. Noorduyn.

Selain itu, Hawe Setiawan dalam Bujangga Manik dan Studi Sunda memaparkan bahwa naskah ini mempersembahkan sebentuk ungkapan estetis berupa puisi prosais atau prosa puitis dari penghayatan dan pengalaman religius seorang asketis.

“Sebagaimana yang diteliti oleh Teeuw, dalam naskah ini kita mendapatkan idiom, metafora, dan pola persajakan yang menawan,” lanjut Hawe.

Namun demikian, naskah ini bukan berarti tanpa kekurangan. Hawe Setiawan mencatat setidaknya ada empat poin kekurangan dari kisah perjalanan Bujangga Manik tersebut: “(1) Masalah kepengarangan: apakah tokoh yang bernama Bujangga Manik alias Ameng Layaran adalah penggubah naskah ini ataukah semata-mata tokoh cerita? (2) Masalah representasi: apakah kisah dan deskripsi yang terdapat dalam naskah ini merupakan representasi pengalaman ataukah semata-mata merupakan hasil imajinasi? (3) Masalah sudut pandang: mengapa dalam naskah ini berkali-kali terjadi semacam pertukaran sudut pandang penceritaan, yakni dari sudut pandang orang pertama ke sudut pandang orang ketiga dan sebaliknya? (4) Masalah fungsi dan pretensi teks: adakah relasi yang signifikan antara deskripsi latar yang secara topografis sedemikian terperinci dan nilai-nilai spiritualitas yang terkandung dalam naskah ini?” tulis Hawe.

Sementara dalam buku Empat Sastrawan Sunda Lama karya Edi S. Ekadjati, dkk., diterangkan bahwa berdasarkan penelusurannya, sebelum abad ke-17 nama pengarang naskah Sunda hanya dikenal seorang, yaitu bernama Buyut Ini Dawit. Ia seorang pengarang perempuan dari kalangan pertapa di pertapaan Ini Teja Puru di Gunung Kumbang. Karangannya berjudul Sewaka Darma yang ditulis dalam bahasa dan aksara Sunda Kuno dalam bentuk puisi.

“Dalam pada itu, Bujangga Manik menyebut dirinya sebagai penyusun cerita perjalanannya mengelilingi Pulau Jawa dan Pulau Bali dalam bentuk puisi. Dapat diperkirakan dia adalah seorang laki-laki dari kalangan keraton Sunda di Pakuan Pajajaran yang memilih kegiatan agama sebagai jalan hidupnya. Namun masih dipertanyakan, apakah Bujangga Manik itu nama dirinya atau nama julukan semata?” tulisnya.

Terkait beberapa masalah kepengarangan, Hawe Setiawan kemudian memaparkan bahwa masalah-masalah seperti itu perlu dibahas dengan tetap memperhatikan konteks historis dan sosiologis yang melingkupi naskah, setidaknya uraian mengenai masalah-masalah tersebut dapat mendorong pembaca untuk memperhatikan keadaan zaman dan masyarakat yang melahirkan naskah tersebut. (tirto.id - irf/zen)

Tayang pertama kali di tirto.id  

tanggal 27 Mei 2017 

No comments: