Salah satu naskah sastra Sunda kuna, bahkan bisa
dibilang salah satu naskah yang terpenting, adalah perjalanan Bujangga Manik
menyusuri Pulau Jawa dan Bali. Naskah ini ditulis dalam larik-larik delapan
suku kata—bentuk terikat dalam puisi cerita Sunda kuno, yang ditulis di atas
daun palem yang tersimpan di perpustakaan Bodleian di Oxford (Inggris) sejak
1627 atau 1629.
Bujangga
Manik adalah seorang bangsawan Kerajaan Sunda (Pakuan Pajajaran) yang memilih
menjadi rahib Hindu-Sunda yang berkelana ke beberapa tempat suci
untuk mencari tempat untuk masa akhir hidupnya. Dalam naskah (baris
663-667) yang tertuang di buku Tiga Pesona Sunda Kuna karya J.
Noorduyn (Direktur KITLV yang pensiun pada 1991) dan A. Teeuw (Profesor
Emeritus bidang Bahasa dan Sastera Melayu dan Indonesia di Universitas Leiden)
tertulis:
“Nyiar
lemah pamasaran/ nyiar tasik panghanyutan/ pigeusaneun aing paéh/ pigeusaneun
nunda raga.”
“Mencari
tempat untuk pekuburan/ mencari telaga untuk tenggelam/ tempat untuk
kematianku/ tempat untuk meninggalkan badan.”
Bujangga
Manik melakukan perjalanannya sebanyak dua kali. Yang pertama dari Pakancilan
di Pakuan Pajajaran sampai ke Pamalang di Jawa bagian tengah. Ia pulang karena
rindu kepada ibunya. Perjalanan kedua dilakukan dari Pakancilan melewati Jawa
bagian tengah, Jawa bagian timur, sampai Bali. Lalu kembali ke Jawa bagian
barat dan berhenti di Gunung Ratu, tak jauh dari kaki Gunung Patuha, dan tak
pernah kembali lagi. Ia wafat di sana.
Dalam Bujangga
Manik dan Studi Sunda, A. Teeuw memperkirakan bahwa kisah perjalanan
Bujangga Manik berlangsung atau ditulis pada masa Kesultanan Malaka masih
menguasai jalur perniagaan Nusantara, sebelum jatuh ke tangan Portugis pada
1511.
Kenapa
Bujangga Manik memilih menjadi rahib dan meninggalkan kehidupan istana?
Dalam Suluk Abdul Jalil Volume 4 diterangkan bahwa kondisi
Dayeuh Pakuan Pajajaran waktu itu ibarat surga. Kemakmuran dan kemuliaan
tersuguh di ibu kota kerajaan Sunda itu. Namun, hal tersebut hanya dinikmati
segelintir kalangan saja yang dekat dengan pusat kekuasaan. Sementara mayoritas
masyarakat adalah para kawula dengan status budak belian yang setiap saat bisa
diperjualbelikan. Hal itulah yang membuat Bujangga Manik memilih berkelana
meninggalkan pusat kekuasaan.
Pada
perjalanannya yang kedua, ada satu dorongan tambahan yang membuat Bujangga
Manik segera meninggalkan ibunya dan kehidupan di lingkungan istana: dia
dilamar seorang perempuan cantik dan ibunya menyarankan untuk menerima lamaran
tersebut. Seorang kurir yang bernama Jompong Larang disuruh perempuan yang
melamar Bujangga Manik untuk menyampaikan maksudnya, sembari membawa
sirih-pinang yang ditata di atas baki, ditutup dengan sapu tangan, dan tersusun
begitu rapi, dan rupa-rupa pemberian lainnya.
Ibunya
berkata pada baris 535-545:
“Anaking,
haja lancanan/ karunya ku na tohaan/ sugan sia hamo nyaho/ tohaan geulis
warangan/ rampés rua rampés ruah/ teher geulis undahagi/ hapitan karawaléa/
buuk ragi hideung teuleum/ ceta hamo diajaran/ na geulis bawa ngajadi/ na éndah
sabot ti pangpang/ hanteu papahianana.”
“Ananda,
layanilah dengan serius/ kasihan terhadap puteri/ barangkali ananda tidak tahu/
puteri cantik pantas diperisteri/ cantik rupa baik perilaku/ bahkan
berperawakan indah semampai/ gadis pingitan juga setia/ rambut hitam bagai
dicelup/ terampil tanpa harus diajari/ cantik bawaan semenjak lahir/ jelita
saat masih dikandung/ tiada yang menandingi.”
Mendengar
perkataan ibunya, Bujangga Manik bukannya menurut dan menerima lamaran, ia
malah menyuruh untuk mengembalikan semua pemberian perempuan yang melamarnya.
Ia menganggap bahwa kata-kata ibunya terlalu berlebihan, terlampau memuji, dan
hal itu menurutnya adalah perbuatan terlarang. Pada baris 553-562 Bujangga
manik berkata:
“Leumpang
bawa pulang deui/ leumpang reujeung si Jompong/ ka dalem ka na tohaan/
seupaheun ta bawa deui/ buah reumbeuy bawa deui/ piburateun pihiaseun/ éta bawa
pulang deui/ pikaéneun pisabukeun/ kalawan keris maléla/ leumpang bawa pulang
deui.”
“Pergi
dan bawalah kembali/ sekalian pulangkanlah bersama si Jompong/ ke istana kepada
tuan puteri/ sirih-pinang itu bawa kembali/ berbagai persembahan bawa kembali/
bahan obat-obatan dan bahan perhiasan/ itu semua kembalikan lagi/ bahan pakaian
dan bahan selendang/ termasuk keris baja/ bawalah pulang kembali.”
Setelah
itu Bujangga Manik mengungkapkan isi hatinya kepada sang ibu. Ia mengutarakan
bahwa apa yang disarankan ibunya untuk menerima lamaran tersebut adalah jalan
yang salah, jalan menuju tempat kematian, jalan ke kuburan, dan menyebarkan
kejelekan. Ia merasa tak nyaman, dan ibunya dianggap telah tersesat. Kemudian
ia pamit untuk yang penghabisan sebelum kembali melakukan perjalanan. Pada
baris 642-650 Bujangga Manik berucap:
“Ambuing
karah sumanger/ pawekas pajeueung beungeut/ ambu kita deung awaking/ sapoé
ayeuna ini/ pajeueung beungeut deung aing/ mau nyorang picarék deui/ mau ma ti
na pangimpian/ pajeueung beungeut di bulan/ patempuh awak di angin.”
“Karena
itu, bunda selamat tinggal/ untuk yang terakhir bertatap muka/ kita, bunda
bersama denganku/ hanya sehari inilah/ bertatap muka denganku/ tak kan pernah
berbincang lagi/ kecuali hanya dalam mimpi/ saling tatap muka di bulan/
bersentuh tubuh di angin.”
Setelah
bertahun-tahun menjelajah daerah-daerah di Pulau Jawa dan Bali, Bujangga Manik
atau Ameng Layaran kemudian menetapkan tempatnya yang terakhir, tempat untuk
berpisahnya raga dan sukma. Pada baris 1396-1407 ia menulis:
“Sadiri
aing ti inya/ sacunduk ka Gunung Ratu/ Sanghiang Karang Caréngcang/ éta huluna
Cisokan/ landeuhan bukit Patuha/ heuleut-heuleut Lingga Payung/ nu awas ka
Kreti Haji/ Momogana teka waya/ neumu lemah kabuyutan/ na lemah ngalingga
manik/ teherna dek sri mangliput/ ser manggung ngalingga payung.”
"Sepergiku
dari sana/ sampai ke Gunung Ratu/ Sanghiang Karang Carengcang/ itulah hulu
sungai Cisokan/ di kaki Gunung Patuha/ batas antara Lingga Payung/ yang bisa
memandang jelas ke Kreti Haji/ berharap semoga terbukti menemukan tanah yang
suci/ tempat yang menyerupai tiang permata/ lalu akan kutudungi/ mengembang ke
atas bagaikan payung bertiang.”
Lalu
ia mendeskripsikan kematiannya. Hal ini yang kemudian menimbulkan pelbagai
pertanyaan terhadap naskah ini yang dinilai banyak mengandung masalah
kepengarangan. Di luar hal tersebut, berikut bunyi tentang kematian itu pada baris
1443-1452:
“Pati
aing hanteu gering/ hilang tanpa sangkan lara/ mecat sakéng kamoksahan/ diri na
aci wisésa/ mangkat na sarira ageung/ ngaloglog anggeus nu poroc/ atma mecat ti
pasambung/ aci mecat ti na atma/ pahi masah kaleumpangan.”
"Kematianku
tanpa sakit/ meninggal bukan karena derita/ melesat menuju kebebasan/ kepergian
sang sukma/ keluar dari raga kasar/ copot sesudah yang terakhir/ sukma lepas
dari ikatan/ ruh lepas dari sukma/ sama-sama lepas dan pergi.”
Yang
menonjol dari naskah ini adalah banyaknya nama tempat yang disebutkan selama
perjalanan. J. Noorduyn dalam Perjalanan Bujangga Manik Menyusuri Tanah
Jawa: Data Topografis dari Sumber Sunda Kuno terjemahan Iskandar
Wassid, menemukan sedikitnya 450 nama tempat, dan sebagian besar bersesuaian
dengan topografi Pulau Jawa. Ia pun kemudian membuat peta topografi Pulau Jawa
berdasarkan naskah tersebut.
“Pemaparan ini
terutama ditekankan pada penyebutan nama-nama tempat, daerah, sungai, dan
gunung yang terletak pada rute atau dekat rute yang disusuri,” tulis J.
Noorduyn.
Selain itu, Hawe
Setiawan dalam Bujangga Manik dan Studi Sunda memaparkan bahwa
naskah ini mempersembahkan sebentuk ungkapan estetis berupa puisi prosais atau
prosa puitis dari penghayatan dan pengalaman religius seorang asketis.
“Sebagaimana yang
diteliti oleh Teeuw, dalam naskah ini kita mendapatkan idiom, metafora, dan
pola persajakan yang menawan,” lanjut Hawe.
Namun demikian,
naskah ini bukan berarti tanpa kekurangan. Hawe Setiawan mencatat setidaknya
ada empat poin kekurangan dari kisah perjalanan Bujangga Manik tersebut: “(1)
Masalah kepengarangan: apakah tokoh yang bernama Bujangga Manik alias Ameng
Layaran adalah penggubah naskah ini ataukah semata-mata tokoh cerita? (2)
Masalah representasi: apakah kisah dan deskripsi yang terdapat dalam naskah ini
merupakan representasi pengalaman ataukah semata-mata merupakan hasil imajinasi?
(3) Masalah sudut pandang: mengapa dalam naskah ini berkali-kali terjadi
semacam pertukaran sudut pandang penceritaan, yakni dari sudut pandang orang
pertama ke sudut pandang orang ketiga dan sebaliknya? (4) Masalah fungsi dan
pretensi teks: adakah relasi yang signifikan antara deskripsi latar yang secara
topografis sedemikian terperinci dan nilai-nilai spiritualitas yang terkandung
dalam naskah ini?” tulis Hawe.
Sementara dalam
buku Empat Sastrawan Sunda Lama karya Edi S. Ekadjati, dkk.,
diterangkan bahwa berdasarkan penelusurannya, sebelum abad ke-17 nama pengarang
naskah Sunda hanya dikenal seorang, yaitu bernama Buyut Ini Dawit. Ia seorang
pengarang perempuan dari kalangan pertapa di pertapaan Ini Teja Puru di Gunung
Kumbang. Karangannya berjudul Sewaka Darma yang ditulis dalam
bahasa dan aksara Sunda Kuno dalam bentuk puisi.
“Dalam pada itu,
Bujangga Manik menyebut dirinya sebagai penyusun cerita perjalanannya
mengelilingi Pulau Jawa dan Pulau Bali dalam bentuk puisi. Dapat diperkirakan
dia adalah seorang laki-laki dari kalangan keraton Sunda di Pakuan Pajajaran
yang memilih kegiatan agama sebagai jalan hidupnya. Namun masih dipertanyakan,
apakah Bujangga Manik itu nama dirinya atau nama julukan semata?” tulisnya.
Terkait beberapa
masalah kepengarangan, Hawe Setiawan kemudian memaparkan bahwa masalah-masalah
seperti itu perlu dibahas dengan tetap memperhatikan konteks historis dan
sosiologis yang melingkupi naskah, setidaknya uraian mengenai masalah-masalah
tersebut dapat mendorong pembaca untuk memperhatikan keadaan zaman dan
masyarakat yang melahirkan naskah tersebut. (tirto.id - irf/zen)
Tayang pertama kali di tirto.id
tanggal 27 Mei 2017
No comments:
Post a Comment