“Saya gila bola, meski payah dalam memainkannya,” tulis Franklin Foer, jurnalis politik majalah New Republic asal Amerika Serikat. Di Piala Dunia edisi ke-15 tahun 1994, negeri Paman Sam baru menjadi tuan rumah. Sementara kasta liga tertinggi, Major League Soccer, baru digelar setahun sebelumnya, hampir seusia dengan Liga Indonesia yang konon profesional. Anggap saja kita abaikan fakta-fakta itu, namun seorang Amerika menulis tentang sepak bola tetap akan dianggap sebuah lelucon yang kelewat banal.
Tapi sebagaimana Indonesia yang kerap
melahirkan para pandit dan cerdik cendekia penulis sepak bola, kiranya Franklin
Foer adalah salah satu pengecualian dari negeri yang lebih menggilai football “sungguhan” (lempar, tendang, bawa
lari, pegang erat), dan bola basket, daripada sepak bola.
Sebelum menjelentrehkan hasil liputannya di
beberapa negara yang menggilai sepak bola, di bagian prolog ia berkisah tentang
betapa menyedihkannya menjadi pencinta sepak bola di negara yang amat muda usia
dalam menggeluti si kulit bundar.
“Karena saya
takkan pernah jago dalam bermain bola itu sendiri, saya bisa melakukan hal terbaik
berikutnya: memahami sepak bola sedalam-dalamnya laiknya seorang maniak. Dan
bagi seorang Amerika hal ini tidaklah mudah,” tulisnya.
Waktu ia kecil, televisi hanya sesekali
menayangkan siaran ulang dari Jerman dan Italia pada jam-jam kebaktian di hari
Minggu pagi. Selama empat tahun selang Piala Dunia, pemirsa hanya disuguhi
cuplikan-cuplikan pertandingan, dan harus puas hanya dengan itu.
Praktis sejak kecil Franklin dihantam dua
kondisi sekaligus: suka bola tapi tak becus dalam bermain, dan mau menggilai
bola tapi negaranya tak doyan permainan yang digagas orang-orang Inggris
tersebut. Ia bisa saja menyerah dan melupakan sepak bola, tapi yang terjadi
sebaliknya. Ketika usianya menginjak 27 tahun, Franklin mulai membuat
“pembalasan” yang menyenangkan.
Mulai musim gugur 2001, selama delapan bulan
ia cuti dari kantornya dan mulai menggarap buku ini. Franklin mendatangi banyak
negara, menonton pertandingan, mencermati sesi latihan, dan mewawancarai para
jagoan lapangan hijau, juga orang-orang yang berkelindan di balik olah raga
yang paling populer di kolong jagat ini. Ia mendatangi Serbia, Skotlandia,
Italia, Brazil, Inggris, Ukraina, dll.
Penelusuran dan ketajaman penanya
menghasilkan kajian sepak bola yang menarik tentang irisannya dengan isu
sosial, politik, agama, dan budaya. Ia bertemu dengan para begundal Red Star
Belgrade, menyigi bagaimana kelompok pendukung sepak bola berjabat erat dengan
politik, dan menjadi kombatan sekaligus tukang bantai di Perang Balkan yang
memecah belah Yugoslavia.
Sementara di Britania Raya, ia menyaksikan
derbi Old Firm yang selalu panas dan mendatangi para
pentolannya. “Lutut kami berkubang darah Feni,” teriak para pendukung Glasgow
Rangers. Kemudian disusul, “Kalau kau benci bangsat-bangsat Feni tepuk
tanganlah!”
Feni yang dimaksud adalah para pendukung
Glasgow Celtic. Permusuhan yang dilandasi konflik agama berkepanjangan antara
Rangers yang Protestan dan Celtic yang Katolik hidup di sepakbola Skotlandia.
Permusuhan ini diwarnai juga oleh kebencian terhadap orang-orang Irlandia yang
Katolik, atau sanjungan kepada paramiliter Protestan di Irlandia Utara.
Agama,
seperti halnya di palagan politik, adalah juga barang dagangan yang terus
dirawat di kancah sepak bola.
Franklin seorang pendukung FC Barcelona. Ia
menyukai semangat klub Catalan yang meskipun selalu memosisikan diri sebagai
seteru abadi Real Madrid yang secara sejarah menindas, namun menurutnya di kota
yang mengoleksi lukisan Salvador Dali dan Joan Miro tersebut, patriotisme dan
kosmopolitanisme saling mengisi dengan sempurna. Seperti pada umumnya para
pendukung sepak bola di seluruh dunia, Fans Barca juga terjangkiti
irasionalitas yang dalam, seperti misalnya mereka-reka konspirasi, membayangkan
diri selalu dikorbankan, dll. Namun menurutnya mereka tak pernah memperlakukan
pendukung klub lain sebagai bukan manusia.
Ketika Johan Cruyff yang orang Belanda
menamai anaknya Jordi, dan Hristo Stocihkov yang Bulgaria kerap mengobarkan
semangat Catalan, itulah contoh tentang Barcelona yang kosmopolitan. Jauh
sebelum itu, jika menilik sejarah, klub yang mempunyai moto mas que un club atau “lebih dari sekadar klub”
tersebut didirikan pada tahun 1899 oleh Joan Gamper, seorang pengusaha Swiss
yang bergabung bersama para ekspat Inggris.
Tulisan Franklin yang berjudul Pesona Nasionalisme Borjuis,
selain membedah ihwal klub dukungannya, juga diperkaya dengan sejarah rezim
Franco dalam “mengelola” Barcelona. Di masa kepemimpinannya, Camp Nou, stadion
kebanggaan bangsa Catalan tak pernah dilumatkan. Stadion itu dibiarkan dipenuhi
cacian dan makian kepada rezimnya. Hal tersebut bukannya tanpa sebab, Franklin
menulis, “Tujuannya cukup jelas: agar rakyat Catalunya bisa menyalurkan energi
politik mereka ke dalam acara pengisi waktu luang yang tak membahayakan.”
Di tulisan-tulisan yang lain, dengan amat
lugas Franklin merangsek dengan kisah bangsa Yahudi di dunia sepak bola:
lengkap dengan sejarah kebencian, tim sepak bola tua yang telah tutup usia,
serta asal usul beberapa klub yang diidentikkan dengan Yahudi seperti Tottenham
Hotspur dan Ajax Amsterdam. Di Inggris, ia bertemu dengan orang pertama,
pendukung Chelsea, yang mula-mula melahirkan aksi-aksi hooligan. Lalu ada
cerita tentang bagaimana Eropa Timur memperlakukan para pesepakbola dari Benua
Hitam. Isu korupsi para mafia dan bajingan sepak bola, juga represi rezim
terhadap penikmat sepak bola, khususnya perempuan tak luput diwedarkan.
Sepuluh biji tulisan Franklin yang lintas
tema, sebagaimana yang ia maksudkan, menyoroti persoalan sosial politik
globalisasi di dunia sepakbola.
“Bukan maksud saya untuk mengais-ngais kritik
kuno Marxis tentang kapitalisme korporasi. Masalah utama buku ini lebih
bersifat kultural ketimbang ekonomi,” tulisnya.
Di bagian epilog, ini juga sayang untuk
dilewatkan, Franklin mencoba menelusuri dan mengkaji para jagoan Piala Dunia
berdasarkan sistem pemerintahan negaranya. Menurutnya, komunisme, fasis, dan
junta militer adalah sistem yang berhasil melahirkan tim sepak bola yang kuat
dan disegani. Di luar itu, ia tak menyangkal ada yang namanya hukum besi,
seperti Brazil, misalnya. Bagaimanapun realitas politik yang tengah berjalan di
negaranya, tim Samba hampir selalu bisa menggondol Piala Jules Rimet.
Untuk para pembaca yang tekun dan kebetulan
gila bola, ia tak pelit berbagi referensi bacaan yang mewarnai sekujur
tulisannya. Setidaknya ada 28 rujukan yang terdiri dari buku, esai, dan tautan
internet seperti tulisan Ivan Colovic tentang pendukung sepak bola Serbia dan
Perang Balkan, Bill Murray tentang Old Firm atau perseteruan Rangers dan Celtic,
Houchang Chehabi yang menulis dunia sepak bola Iran, John Burzl dan Otto Bahr
tentang Hakoah (tim sepak bola Yahudi), dll.
Sepak bola, menurutnya, tidaklah sama dengan
musik Bach atau agama Budha, namun kerap membangkitkan penghayatan yang
melebihi agama. Di negeri Bobby Moore dan Geoff Hurst, keduanya legenda timnas
Inggris dan West Ham United, olahraga yang dilahirkan kelas buruh ini kerap
menjadi semacam penawar dari kemurungan kota.
“Di kota-kota industri Inggris seperti
Coventry dan Derby, klub-klub bola turut merekatkan kota-kota kecil tersebut di
tengah kesuraman yang mencekam,” tulisnya. [irf]
Tayang pertama kali di pocer.co tanggal 10 Juni 2017
No comments:
Post a Comment